19 September 2012

Film Raya: Percakapan Hati dan Pikiran Saya di Ruang Bioskop



Sungguh, saya kehilangan gairah menulis akhir-akhir ini dan undangan mas ToTo Raharjo menuntun saya kembali menulis meski diiringi kemalasan yang menggantung di kepala dan di tangan.
Baiknya saya segera mambahas Film Rayya saja tanpa basa basi.

Ide cerita sederhana soal perempuan bernama Rayya yang sedang bersinar karena popularitas sebagai bintang sedang di puncak-puncaknya. Di titik ini justru ia merasa gelap. Atmosfir yang ingin atau ia harapkan dirasakan setiap orang dimana pun ia berada. Rayya berharap gelap yang ada dalam dirinya terbaca. Ia berharap kegelisahan, kemarahan sekaligus kesedihan yang mulai mengerak jadi dendam dirasakan juga oleh semua orang sampai dalam suatu proyek ia bertemu dengan Arya, fotografer senior yang memiliki luka yang sama dengan Rayya, namun bisa disikapinya berbeda.
Rayya meneggakan dendamnya menjadi kekuatan sedangkan Arya mengikhlaskannya menyatu mengalir sebagai bagian hidup yang memang harus dilewati dan terus berjalan maju.

Saya senang dengan pertemuan dua karakter Rayya dan Arya, siapa pun yang telah memilih nama-nama bagi kedua tokoh ini, ia sesungguhnya ingin penonton tahu bahwa selalu ada dua sisi berbeda dalam tiap diri manusia saat mengalami hal serupa yang dialami Rayya dan Arya.

Perjalanan Rayya (juga Arya) menemukan dan menentukan peristiwa mana yang harus dikunyah menjadi  pelajaran disekujur  film ini menuntun saya menuduh siapa pun di balik film ini memaksa penonton hanya menarik pelajaran-pelajaran positif. Beberapa penegasan yang tak perlu dimunculkan kembali di akhir film, padahal adegan respon Rayya di setiap penegasan itu cukup kuat. Kita lihat ekspresi  Rayya saat uangnya dikembalikan oleh ibu penjual kudapan khas Jogja. Ia terkesiap soal pelajaran menegakkan martabat, dan itu tak perlu ditegaskan lagi di akhir film.

Selain itu, saya percaya di balik film ini ada banyak orang pintar di bidangnya. Ini dibuktikan dengan kegaduhan kreatifitas dalam film ini. Kelihatan jelas kegaduhan itu di sepanjang film, semua orang kreatif memaksakan karyanya ke dalam setiap scene film. Yah, bagus sih, Cuma yaitu tadi, gaduh. Apapun itu, artistiknya menarik dan saya cukup terhibur dengan kombinasi-kombinasi warna, meski sedikit ngilu di adegan pemotretan Rayya di tengah perahu dengan bendera-bendera kecil beraneka warna. Saya yang awam kritik film menyebutnya “keramean” warna. Baju Rayya tenggelam dan mati di tengah warna-warni perahu dan bendera.

Kalau ingin mendapatkan pesan-pesan membangun dengan cara berbeda, saya menganjurkan untuk nonton film Rayya. Tapi bagi mereka yang hanya senang nonton film mudah cerna yaaa, film Rayya bukan tontonan remah-remah penghilang suntuk. Ini film cukup berat dengan dialog-dialog filosofis yang (diputis-)puitiskan. Temponya lambat tapi tertolong artistik yang cantik. Saya berharap ada perbaikan musik latar karena bisa jadi penolong adegan-adegan lambat dengan percakapan berat.

Bagi yang sedang mengalami titik puncak dalam bentuk apapun lalu merasa masih belum melakukan apa-apa, ini film yang saya anjurkan untuk ditonton. Tak ada pencapaian sebelum orang lain yang mengatakannya demikian, dan bila pun orang lain yang mengatakannya, belum tentu mampu mengisi relung-relung bisu dihati kita, yang digali luka dan pengalaman pahit. Dan banyak dari kita yang bertahan dengan hebat berkat dendam. Perlu kejujuran untuk mengakuinya.

No comments:

Post a Comment