07 July 2013

The Stolen Childhood


I really like the character Boo, a tiny girl role in the animated film Monsters Inc.. Big eyes with adorable laughter. Running to and fro with the oversized monster costum. She is so funny. But every time I imagine the joy Boo, I did feel pain, feel as drawn into a deep hole, back to decades ago during which I should enjoy childhood instead of the experiences of the violence those not only caused physical harm and psychological harm .... also stole all my childhood memory that I will only pass once.

Sexually harassed by a next-door neighbor at the age of barely five years, then three years later, shamefully abused by my biological grandmother for three years, as well as tortured and physical violence until late adolescence. This terrible experiences lead me towards adult, sometimes I was crawling with wounded blood red soul to pass moments, vulnerable to be the next object of violence without ever knowing it.

When sexual abuse occurs in a child, her/his childhood is gone, replaced by a huge black hole that will dwell into adulthood, where s/he feels that's where s/he deserves to be, where I've felt that way, up to nearly a lifetime of letting life ruled by the who just want to take advantage of my vulnerability. If this raises questions in your mind ..... Yes, I had a lot of sexual experiences that I do not want even rape back at the age of 24 years by a famous old singer whom I handled his concert, working together with the youth bureau of a national organization of church fellowship. Once again, I was thrown into the dark hole, even deeper.




The traumas of violence never handled until I was 33 years old, in 2006 when I started to have a medical therapy. At that time I was facing separation because of an unfaithful spouse who always lying to me for the rest of our wedding. Even though, I began it not start from understanding the trauma, I was just treating the effects of the separation and the critical trauma effects, which makes me have a bipolar personality, potentially did self harm for many times because I kept thinking that I was useless, unfit to continue living in a very cruel life and would rather die only. Unfortunately therapy performed in a hospital in the city of Bontang-East Kalimantan, that was tinged of mal-practice considering they giving dangerous psychiatric drugs are not through direct consultation with me but through my partner who would provide inaccurate information to cover his betrayal at that time. During that treatment, I was in a state of delirium, really worsening the effects of trauma.

I moved to Jakarta and continued with better treatment. It made me much more to recover and start thinking about the next step to a better life. I had started it all in a very sadden situation where I was not able to send my children to school and had experienced eating a pack of instant noodles with rice with my children, but honestly I feel free and liberated from danger and stress. My real learning process starts from that point. I learned more about the issue of sexual violence and other issues related. Learn how trauma arises, the effects and the possibilities of appropriate therapy. Join the support group and break the silence for a struggle that I'll continue to do until later. Working hard for a dream, no more children who lost her childhood and had to stay in the dark painful hole for their lifetime.


I will never forget what happened. Sometimes, in a very depressed state and a very sad moment, I still experienced the effects of trauma and feel tortured. But I've been able to take the whole experiences as the part of my life, fighting to take my whole life back, and practicing harder to control the effects of trauma during exposure. However I am aware, I will never be able to restore the lost childhood, and for that I still feel there is a gaping dark hole in me.

06 July 2013

Kerinduan


Kerinduan padamu,
berdada dengan isi kesakitan
yang sangat nikmat

Kerinduan padamu,
sungguh melulu lenguh
dengan gelinjang jalang

Kerinduan padamu,
biru kelam


25 May 2013

Seorang Laki-laki


Seorang laki-laki,

dari beberapa musim gugur  lalu,

harus aku bunuh lagi,              

agar aku bisa hidup dengan jantungku sendiri.

PEMERKOSAAN


Suatu siang beberapa bulan yang lalu saya sedang menikmati makan siang di depot sebelah rumah. Ada beberapa orang di kedai, semuanya tetangga saya. Salah seorang laki-laki, berusia sekitar 2 atau 3 tahun lebih tua dari umur saya berkelakar soal salah satu kasus pemerkosaan yang sedang saya tangani dan kebetulan terekspos media secara luas. Sontak saya menegurnya dan tegas mengatakan bahwa pemerkosaan bukan untuk bahan bercanda mengingat efek trauma yang dialami seumur hidup korban bukan lucu untuk dijadikan bahan tertawaan.
Insiden tersebut bukan jarang terjadi. Bulan Desember tahun 2011, seorang  penghibur dan pelawak memetik kecaman publik atas konten bercanda tentang pemerkosaan yang disampaikannya di siaran langsung ulang tahun sebuah stasiun televisi. OS, demikian inisialnya menjadikan kejadian pemerkosaan di angkutan kota (angkot) lawakan. Sayang sekali, 2 hari sebelumnya baru terjadi pemerkosaan di angkot terhadap seorang ibu setengah baya yang akan pergi berdagang sayur di bilangan Depok, Jawa Barat. Bisa dibayangkan apa yang dirasakan korban, kerabat korban dan penyintas kekerasan seksual lain saat menonton acara tersebut….
Tak kalah mengecewakannya saat seorang oknum hakim yang sedang menjalani fit and proper test sebagai syarat menjadi hakim agung melontarkan lelucuan tercela yang sama beberapa saat yang lalu di depan anggota dewan terhormat yang secara mengejutkan ikut tertawa mendengarnya. Sikap mental yang tak patut!

Pemerkosaan adalah tindakan kriminal penetrasi sekecil apapun di luar kehendak korban terhadap alat kelamin atau anus menggunakan bagian tubuh atau benda lainnya. Selain itu, pemerkosaan juga mencakup aktivitas seksual yang terjadi di luar kehendak korban (FBI via The Pixel Project).
Sebagian besar dari kita masih menganggap pemerkosaan sebagai semata-mata perilaku seksual dengan unsur pemaksaan yang harus berakhir dengan lebam-lebam bekas aniaya, bagian tubuh yang berdarah atau bahkan kematian. Masyarakat masih berpikir bahwa pemaksaan hubungan seksual yang disebut pemerkosaan baru sah disebut pemerkosaan jika ada tindakan fisik lain yang harus terlihat jelas dan membekas.  Hal penting lain yang harus dipahami adalah bahwa sesungguhnya unsur seksual dalam pemerkosaan adalah unsur terkecil yang bila dikonversi kedalam persentasi hanya berkisar 1%, selebihnya adalah tindakan kekerasan, dominasi dan kontrol terhadap korban yang dianggap dan memang biasanya memang lebih lemah baik secara fisik, peran maupun fungsi. Jarang sekali yang paham bahwa pemerkosaan adalah kejahatan kemanusiaan yang tak hanya dan harus meninggalkan cidera fisik, namun juga bahkan lebih parah, cidera psikis. Kita tentu bisa mengobati cidera fisik, tapi bagaimana dengan cidera psikis, juga trauma yang harus dibawa seumur hidup.

Pemerkosaan, bahkan dipakai sebagai senjata di hampir semua peperangan. Banyak konflik inter dan antar negara menggunakan pemerkosaan sebagai cara melemahkan musuh dan merendahkan martabat lawan. Ini cara paling efektif untuk mengalahkan. Pemerkosaan dalam peperangan menjadi  salah satu senjata pamungkas dan terampuh untuk setiap upaya menguasai. Dalam peristiwa bersenjata penggulingan pemimpin Libya, Moamar Khadaffi misalnya, para medis bersaksi mendapati kondom dan obat kuat di kantong para prajurit yang tewas dalam kontak senjata atau pertikaian terbuka lain. Cara keji ini benar-benar menamfikan kemanusiaan. Tak terbayangkan trauma yang harus dipikul korban yang masih hidup hingga kini.

Trauma, yaitu luka/ syok/kekagetan yang disebabkan oleh peristiwa yang terjadi secara tiba, di luar kendali, menekan, sangat menyakitkan, membahayakan kehidupan,  mengancam jiwa  (Yayasan Pulih, 2011). Trauma kekerasan berbasis gender dan seksual banyak disalahartikan sebagai efek yang dapat disembuhkan. Nyatanya, trauma kekerasan seksual, khususnya  dalam kejahatan pemerkosaan adalah trauma seumur hidup yang tidak dapat dihilangkan atau disembuhkan. Pemulihan hanya bisa dilakukan dengan meminimalisir dan mengelola efek-efek trauma. Luka psikis yang mempengaruhi emosi, perilaku dan sikap mental akaibat pemerkosaan memiliki efek paling panjang dibandingkan dengan efek trauma kekerasan dalam bentuk yang lain.

http://www.girl-jitsu.com/wp-content/uploads/2013/01/INSIDE-STORY-Rape-Statistics.jpg

Berikut efek umum trauma sesaat saat seseorang mengalami kekerasan seksual:
Syok
Kedinginan
Perasaan ingin pingsan
Kebingungan mental
Disorientasi (tokoh, peran, waktu & tempat)
Gemetaran
Mual
Muntah-muntah

Sedangkan pada penyintas, gejala  trauma fisik meliputi:  
Masalah ginekologi
Pendarahan atau infeksi
Rasa sakit di seluruh tubuh
Memar/luka gores/luka yang lebih dalam
Mual dan muntah-muntah
Iritasi tenggorokan (menyebabkab tercekat)
Sakit kepala karena meningginya tekanan darah
Rasa sakit di punggung bagian bawah dan/atau perut
Gangguan tidur
Gangguan makan
Penyimpangan kebiasaan akibat trauma kekerasan seksual :
Menangis lebih sering dari biasanya
Kesulitan konsentrasi
Kurang bisa mengatur pola istirahat
Kurang bisa menikmati waktu santai
Selalu waspada danberjaga-jaga
Gangguan kemampuan bersosialisasi ATAU bersosialisasi berlebihan
Tidak suka ditinggalkan sendirian
Gagap atau terbata-bata lebih dari biasanya (akibat tercekat)
Menghindari hal-hal yang akan mengingatkan pada kejadian kekerasan seksual yang dialami
Mudah takut dan terkejut
Cepat kesal untuk hal sederhana
Kehilangan ketertarikan pada hal-hal yang bagi orang lain menarik
Selalu bermasalah pada hubungan/relasi yang melibatkan emosi
Mudah kecewa
Lebih sering menarik diri dalam kondisi tertentu
Mengonsumsi alkohol/rokok/obat-obatan (atau meningkat bila sebelumnya sudah mengosumsi)
Lebih sering mencuci tangan dan/atau mandi
Penyangkalan bahwa kekerasan seksual yang dialami tidak pernah terjadi

Gejala trauma psikis:
Gangguan pikiran dan kekesalan
Merasa kotor
Ingatan berulang
Mimpi buruk
kesal pada hal-hal yang mengingatkan pada kejadian
Fobia dan/atau trauma fobia
Amnesia sementara
Kebas atau rasa kehilangan emosi
Bingung harus merasakan apa
Merasa akan mati lebih cepat
Depresi dan kesedihan
Ingin bunuh diri
Gusar dan kemarahan
Lebih takut dan cemas berlebihan
Malu dan terhina
Merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri
Merasa bertanggung jawab atas kejadian
Merasa berbeda dan berjarak dengan orang lain
Merasa tak tertolong dan tak berdaya
Kehilangan penghormatan pada diri sendiri
Kehilangan percaya diri
Merasa selalu lebih kurang dari yang lain dan tak berharga
Pada kekerasan seksual masa kanak-kanak, perkembangan emosi penyintas akan berhenti di usia pertama kali penyintas mengalami kejadian/serangan pertamanya
Tidak lupa tapi selalu menemukan cara menghadapi/menghindari kenyataan (otak & otot)
Merasa konseling/terapi belum tentu menolong
Ragu dan takut menceritakan kejadian
Kalau pun berani bercerita, di awal-awal, penyintas akan mengingat dan merasakan hal yang persis sama dan kembali menggerakkan gejala-gejala awal, tapi dengan lebih seringnya penyintas mengungkap dan menerima keadaan diri, pemulihan akan terjadi secara perlahan-lahan
(lebih pada fisik)
Migren
Bulimia dan/atau anoreksia
Ketidakmampuan untuk mempercayai
(lebih pada gangguan emosi)
perfeksionis
Menghindari ikatan/keintiman emosi
Tidak mempercayai intuisi diri
Belajar mengadaptasi kejadian sesungguhnya menjadi seolah-olah itu imajinasi (penyangkalan)
Bisa saja membela pelaku
Problem mengasuh anak
Khawatir berlebihan
Kebingungan berhubungan seks, apakah karena dorongan nafsu atau cinta
Kebingungan berhubungan seks, antara mengontrol dan menguasai atau menjadi pasif
(di kutip dari bahan pelatihan konseling oleh dr.Veronica Salter, terapis kekerasan terhadap perempuan lulusan Oxford University yang kini berdomisili di Jamaica)

Patut dibedakan anatara korban dan penyintas. Korban adalah orang yang baru mengalami tindakan kekerasan dan belum bisa menjalani fungsi sosialnya, sedangkan penyintas adalah orang yang pernah mengalami tindakan kekerasan, berhasil melewati kurun waktu tertentu, dan berusaha atau berhasil menjalani fungsi sosialnya.
Sekali lagi, saat penyintas berusaha dan atau berhasil menjalankan kembali funsi sosialnya, tak berarti traumanya hilang, yang benar adalah yang bersangkutan sudah memiliki kemampuan menekan dan atau mengelola efek traumanya. Tahap ini akan lebih maksimal bila telah lebih dulu menjalani terapi trauma denganmetode dan cara sesuai dengan kebutuhan.

Kejahatan pemerkosaan di Indonesia memiliki konsukensi hukum cukup serius meski pun belum menimbulkan efek jera pada pelaku. Kitab undang-undang  hukum pidana (KUHAP) dan undang-undang perlindungan anak (UU PA) memiliki setidaknya lebih dari 2 pasal, dan pemaksaan hubungan seksual sebagai bagian kekerasan domestic dalam undang-undang  penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU PKDRT).
Kekurangan penanganan hukum di Indonesia pada umumnya adalah aparat hukum yang bermental korup sehungga kerap mudah dilemahkan dengan suap dan ketidakpahaman mereka akan kejahatan kekerasan berbasis gender dan seksual. Budaya patriarki yang kuat melekat sangat mempengaruhi sikap mental aparat hukum saat menangani kekerasan seksual khususnya. Ambil contoh kebiasaan polisi melakukan konfrontir anatara pelaku dan korban. Padahal sesuai fungsinya polisi adalah yang mengumpulkan bukti , saksi. melakukan penyelidikan serta gelar perkara, dan pengadilan yang akan mengujinya

Selain persoalan aparat hukum, penangan korban dan pelaku pasca proses pengadilan juga tidak berimbang. Bila pelaku dijatuhi hukuman dengan dibina negara dalam kurun waktu tertentu sesuai keputusan berkekuatan hukum tetap, hal yang sama tidak dilakukan negara pada korban yang jelas memerlukan rehabilitasi trauma. Pelaku dibiayai negara pembinaannya (baca: masa hukuman) namun korban tidak pernah dibiayai negara untuk terapi dan konseling berkala yang jelas akan sangat membantunya bisa kembali menjalani fungsi sosial setelah kejadian tragis yang dialaminya melumpuhkan baik fisik dan atau jiwanya.
Lagi-lagi konsentrasi penanganan hanya terpusat pada pelaku bukan pada korban yang juga butuh penanganan serius.

Tak hanya itu, media pemberitaan juga kerap merilis konten berita yang menciderai rasa keadilan bagi korban. Mulai dari pengungkapan tempat tinggal korban, penggiringan opini yang menyalahkan korban baik penampilan , perilaku dan lain-lain, sampai penulisan konten erotis detail kejahatan yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Perlu diingat, pemuatan konten dengan detail-detail yang tak pantas adalah semata penuangan imajinasi si penulis atau jurnalis, dan usaha menarik pembaca, pendengar atau penonton untuk kepentingan komersil media tanpa informasi berimbang dan nilai jurnalistik.
Nikholas D. Kristof pemenang Pulitzer,  adalah contoh jurnalis yang melalui tulisan kolomnya di New York Times mengenai pusat perawatan pasca pemerkosaan, membangkitkan kesadaran luas baik masyarakat maupun pemegang kebijakan pada upaya pencegahan dan penanganan kejahatan pemerkosaan yang lebih baik dan serius. Padahal tulisannya sama sekali tidak mengangkat detail erotis kejadian pemerkosaan, melainkan kisah duka dan efek trauma anak-ana, korban pemerkosaan yang dirawat oleh pusat perawatan tersebut.

Ketidakpedulian kita pada kejahatan pemerkosaan tidak disadari merupakan simbol ketidakpedulian kita terhadap diri dan hak-hak kita sebagai warga negara. Relasi kuasa tak seimbang antara korban dan pelaku, juga persis sama antara rakyat, dalam hal ini yang sebagian besarnya adalah kaum marjinal dan atau minoritas, dengan negara. Rakyat di lapisan ini adalah mereka yang paling sering diperkosa hak-haknya di hampir semua sendi, namun juga yang paling mudah dituntut memenuhi kewajibanannya. Orang-orang upahan, buruh, pengusaha industri rumahan, petani , nelayan, pedagang kecil dan lain-lain, beserta orang-orang di sekitarnya yang jarang atau disulitkan aksesnya untuk menggugat haknya saat tidak dipenuhi oleh negara. Yang bila bisa menggugat pun jarang bahkan hampir tak pernah dimenangkan dan atau diperlakukan dengan adil.
Rakyat yang adalah ‘tubuh’ terus-menerus mengalami berbagai bentuk kekerasan, terutama pemerkosaan lewat dominasi, kontrol dan penguasaan negara baik secara langsung amaupun secara sistemik. Menciptakan trauma-trauma sosial luas dan dalam, yang pada akhirnya melahirkan pelaku-pelaku kekerasan individual dan kelompok dari waktu ke waktu.


Tak berlebihan rasanya slogan ‘tolak pemerkosaan’ yang sering disuarakan di arena-arena aksi, karena dengan menolak pemerkosaan atas tubuh maka kita paham dan sadar untuk menolak segala bentuk dominasi dan kontrol negatif atau berlebihan oleh penguasa.

Melawanlah untuk keduanya!

http://www.indexmundi.com/blog/wp-content/uploads/2012/12/un-police-reported-rape.jpg

the moment


I

I was the rain
that fell to ease the tears in your heart
but then I became flood that sank you
I was also sunk

I was the lake
where you cooled down your tiring days
you were swimming to the middle
and drowning
I wailed, mourning on your death
I was also died

I was the wind
blowing and touching your face
but fights changed me to be storm,
 that lifted and slammed you
I was also slammed

then I totally died in my own fear
seeing you were not there anymore
 walked in the dark with sadness and anger

I looked back
recalled a moment,
when time and space were nothing
when I took the chance to grow with you
when then, we are trapped in a painful way to love

the moment and the pain are parts of our journey
also the emptiness in our wounded heart
all those, brought us to nowhere

I lost you




II

Life becomes harder
I become so mean
no heart
You took it away with you

one day in June
when the sun became so gold
I was sitting under an old big tree
yellow leaves were falling like rain
 a dramatic early evening
it painted your image every where
the moment, that always brings you back
the moment when I realize
that
I lost you

07 February 2013

IDENTITAS PEREMPUAN


Barusan saya terlibat percakapan dengan seorang kerabat jauh. Masih terhitung paman. Kami sudah lama sekali tidak berjumpa. Terakhir bertemu dengan beliau saya masih kanak-kanak.
Mengetahui umur saya tahun ini menginjak empat puluh tahun, ia melontarkan komentar yang membuat saya tersenyum geli, “Wah sudah besar ya…”
Dalam hati saya membatin….bukan sekadar sudah besar, tapi juga sudah separuh baya.
Mungkin juga mengingat umur saya lalu si paman menanyakan hal-hal yang dalam percakapan sangat saya tidak sukai: menanyakan sudah berkeluarga atau belum dan berasal dari mana suami saya. Seolah-olah perempuan seumuran saya wajib sudah berkeluarga dan punya suami. Aduh!


Kebiasaan melekatkan perempuan di usia tertentu pada keharusan sudah berkeluarga dan bersuami adalah bentuk domestikisasi terhadap perempuan yang menyebalkan. Alih-alih bertanya pencapaian atau pilihan eksistensinya, perempuan jarang sekali diberi hak untuk memiliki identitas pilihannya sendiri. Baru dianggap mahluk sosial beridentitas jelas bila melekat pada keluarga atau pasangan, dalam hal ini suami.
Perempuan yang mandiri dalam memilih identitasnya masih dianggap keluar dan mengkhianati kodratnya. Ini pandangan purba yang mengukuhkan stigma dan kontruksi sosial terhadap perempuan. Perempuan mandiri, seperti yang pernah dimuat di media sosial Twitter oleh kawan saya Dewi Chandraningrum adalah ancaman bagi pembawa sistem nilai patriarki. Dianggap perebut kekuasaan dan pemberontak, yang melewati batas norma. Norma siapa? Norma bentukan sistem nilai yang sudah tak bisa menjadi pegangan rasional dalam peradaban yang semakin berkembang.


Perempuan yang mampu mengukuhkan identitasnya dan mempertahankannya, harus bertarung dengan stigma negatif. Stigma yang diciptakan oleh mereka yang merasa kedudukan dan keberadaannya terancam. Yang dipupuk secara terus-menerus dan diupayakan kesuburannya di tengah masyarakat. Dipertahankan menjadi budaya dengan embel-embel norma yang patut, baik dengan topeng agama, adat, dan sebagainya agar pembawa dan penyandangnya mudah diterima (baca: dengan dogma dan doktrin, bahkan mitos dan tahayul).
Ada kejengkelan saya tangkap saya seorang kawan perempuan lajang hendak mengurus kredit kepemilikan rumah. Ia dimintai paksa persetujuan dan data suami, padahal stausnya lajang dan itu salah satu syarat mutlak di hampir semua bank.
Bayangkan saja, bahkan untuk memiliki propertinya sendiri, dari uangnya sendiri, perempuan harus dirampas identitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan di dunia bisnis pun perempuan lajang dianggap bukan pemegang peran ekonomi. Padahal bahkan seorang ibu rumah tangga pun, ia memiliki peran ekonomi yang penting. Yang harus berhadapan dengan fluktuasi harga dan kerumitan pengaturan keuangan keluarga tapi yang perannya paling dianggap kurang penting karena peran domestic dinggap peran mudah dan sepele. Lagi-lagi identitas perempuan dinggap tak ada.


Sepanjang jaman, perempuan menerima identitas  (baca: dipaksa dan dikondisikan) dari orang lain. Anak siapa, jadi seperti siapa, istri siapa adalah pertanyaan langganan terhadap perempuan saat melakukan interaksi sosial. Seolah-olah tanpa kehadiran “siapa”, perempuan tak menjadi dirinya, tak menjadi manusia utuh.
Saya pernah memberi pelajaran pada seorang pekerja media yang mewawancarai saya untuk profil sebuah majalah. Saat akhir wawancara, si penanya lebih serius bertanya soal pasangan saya. Berkali-kali menekankan pada dukungannya pada kerja dan karya saya, seolah-olah itu hal paling penting dalam perjalanan perjuangan di isu yang saya usung. Klimaks yang membuat saya kesal.
Sambil berkelakar saya mengusulkan padanya untuk menyediakan waktu khusus mewawancarai pasangan saya bila ia memang sangat ingin tahu. Karena untuk saya, apa yang sekarang saya jalani dan capai saya bangun dengan kerja keras yang sebagian besar saya upayakan sendiri, bukan dicapai dengan sorak sorai macam cheerleader oleh pasangan saya. Ia hadir setelah saya seperti sekarang ini. Jadi tentu bisa dibayangkan betapa bete ditanyai soal tersebut.
Model wawancara profil macam ini juga saya temui di hampir setiap rubrik profil perempuan lain. Tokoh-tokoh perempuan pemimpin juga tak luput dari model wawancara seperti itu. Penghujung wawancara selalu menanyakan hal yang sama: pasangan dan keluarga, dukungan mereka. Tak salah memang, tapi keseragaman cara berpikir soal eksistensi perempuan yang selalu dilekatkan pada urusan domestik ini membuat saya eneg. Tak bisakah perempuan memiliki ruangnya sendiri dalam hal ini?
Mungkin masih sulit diterima nalar sementara orang bahwa perempuan mampu memiliki identitas dan prestasinyanya sendiri lewat usahanya sendiri.


Soal identitas ini sebenarnya jadi dilema tak hanya perempuan. Sesungguhnya laki-laki juga tak kalah tertekan saat identitasnya dipertanyakan bila ia tak memenuhi perannya seperti yang dituntut sistem nilai yang mngontruksinya harus manjadi tiang kehidupan dan penghidupan. Laki-laki dewasa dituntut bekerja di luar rumah dari pagi hingga petang. Laki-laki yang bekerja di rumah atau mencari nafkah dengan berkegiatan di rumah dianggap tak lazim. Laki-laki yang mengerjakan pekerjaan domestik sementara pasangannya bekerja di luar rumah dilemahkan dan diejek. Padahal pekerjaan domestik bukan pekerjaan gampang. Butuh keterampilan dan sangat melelahkan. Tak beda dari kerja kantoran, juga butuh berpikir. Bagaimana mengatur segalanya menjadi seimbang, rapi, bersih dan terpenuhi dengan biaya yang seminim mungkin. Sungguh tak mudah.

Pada identitas bentukan sosial, laki-laki juga jarang diperkenankan mengekspresikan emosinya. Laki-laki yang menangis dianggap cengeng dan feminin, salah satu contohnya. Laki-laki dituntut macho dan jadi penakluk. Harus bisa beradu fisik dan menjadi pemenang. Identitasnya sebagai laki-laki ditentukan dengan cara yang keras baik langsung maupun tak langsung.


Oleh sebagian besar feminis, perjuangan menggugat identitas perempuan dianggap sebagian besar masyarakat sebagai pemberontakan terhadap laki-laki. Padahal yang dituntut adalah kesetaraan, bukan perebutan kedudukan dan kekuasaan. Upaya membentuk keseimbangan.
Saya kutip pernyataan Marianna Amiruddin, peminpin redaksi Jurnal Perempuan di sebuah majalah, bahwa mencapai setara adalah upaya memberi keseimbangan dalam kehidupan. Lewat dari setara adalah penindasan.


Perempuan yang memperjuangkan identitasnya bukan sedang menggugat siapa pun yang tak seide dengan dirinya tapi sedang menggugat dirinya sendiri agar mampu mencapai titik nyaman yang seimbang. Ini upaya menempatkan dirinya ke kondisi dimana akhirnya selain berguna untuk dirinya juga memberi guna bagi banyak orang di sekitarnya. Oleh karenanya, sangat penting bagi perempuan memiliki identitasnya sendiri dan bukan semata yang dibentuk oleh orang lain. Dan upaya ini adalah soal belajar, bekerja dan berkarya lebih giat dimana pun, kapan pun dan apapun peran yang dipilih.
Identitas kita bukan pemberian, tapi diusahakan dan dibentuk oleh kita sendiri.