20 February 2012

Perempuan-perempuan Yang Menolak Diam




Kemarin sore saya menyetujui ajakan kawan Mariana Amiruddin menghadiri bedah buku puisi karya Zubaidah Djohar. Buku puisi berjudul Pulang Melawan Lupa yang sebagian besar isinya diangkat dan terinspirasi dari apa yang pernah dialami para perempuan penyintas konflik Aceh.
Dari tuturan para pembicara, Ibu Fre Hearty, Handoko Zainam dan Marianna Amiruddin, saya tahu, Ibed, demikian sang penulis disapa, adalah peneliti persoalan perempuan di Aceh pasca konflik. ia berjumpa, berbincang dan mencermati. Ibed masuk ke relung-relung terdalam luka para perempuan penyintas konflik Aceh.

Dari beberapa puisi yang baru sempat saya baca, Ibed mengupas lapis ingatan yang terekam selama konflik terjadi. Perih yang dibawa Ibed ke dalam puisi-puisinya adalah sekaligus gambaran kuat ketegaran para perempuan ini melintasi pintu pedih masa-masa didekap ketakutan, kesedihan dan kemarahan, keluar menjadi mereka yang memenangkan pertarungan dengan trauma dan kembali menjalankan fungsi sosialnya.

Dari banyak informasi saya tahu, perempuan Aceh pasca konflik tak pernah benar-benar menemukan kemerdekaannya. Perda berbasis keyakinan tertentu yang kini diberlakukan, lebih banyak meminggirkan hak perempuan atas dirinya sendiri. Banyak dari mereka bahkan yang masih harus merendahkan suaranya saat bercerita tentang kejadian-kejadian kekerasan masa konflik.
Seperti diungkap ibed, untuk masyarakat di luar kebisingan kota-kota besar di Aceh, yang bermukim jauh dari kantor-kantor perwakilan LSM-LSM asing, nasional maupun lokal, bicara soal keadilan yang utuh dan menciptakan rasa damai dan merdeka belum lagi benar-benar bisa menyentuh mereka.
Bagi mereka berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan termasuk kemungkinan terburuk kehilangan orang-orang terdekat seperti saat mamsa-masa konflik adalah bagian utuh keseharian.

Di puisi-puisi yang Ibed tuliskan, perih adalah kekuatan yang menegarkan para perempuan penyintas konflik untuk tetap bertahan hidup. Perih dalam kata-kata puisi Ibed menggumpalkan kekuatan untuk tidak melupakan, untuk tidak diam, tapi luar biasa karena tidak jua melaahirkan dendam dan upaya pembalasan. Dari rahim kelembutan perempuan lahir kesadaran untuk memaafkan dan ikut mendorong kondisi damai. Para perempuan ini mencuci lampin masa lalu yang sarat lara untuk masa depan anak-anak mereka dengan air mata, dengan kehormatan dan dengan harga diri yang pernah dirobek-robek pelaku kekerasan semasa konflik.

Bila dulu sebagian perempuan Aceh mesti berjuang melawan kenangan kehilangan laki-laki yang dicintainya karena kondisi perang, lalu apa bedanya dengan apa yang kini dialami oleh para perempuan yang merasa lebih moderen di Jakarta dan kota-kota lainnya di seluruh Indonesia?
Bila dalam konflik bersenjata perempuan kehilangan para laki-lakinya karena tewas atau diculik, maka para perempuan di kota besar saat ini juga sebenarnya sedang kehilangan para laki-lakinya yang “ditewaskan dan diculik” kepentingan besar kapitalisme rakus dan birokrasi pekerjaan serta usaha yang kejam bangunan sistem negara yang lebih berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan uang. Kondisi ekonomi sosial yang akhirnya mendorong seluruh masyarakat menelan dan mereduksi kekerasan sistemik yang ikut dibentuk hampir semua pihak termasuk media penyaji informasi dan komunikasi, menjadi bentuk wajar cara menjalani keseharian.

Kita jadi merasa biasa membaca, mendengar dan menonton kejadian-kejadian kekerasan di berita-berita, adegan kekerasan verbal dan fisik di sinetron dan tayangan komedi sekalipun. Alam bawah sadar kita dibuat toleran dengan kekerasan, sehingga saat terjadi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan baik yang bermuatan sekterian, rasial, berbasir gender dan sebagainya, kita hanya bisa mengutuk, menyayangkan dan mengemukakan keprihatianan sebatas ruang yang kita anggap cukup aman, sementara mereka-mereka yang menjadi korban kekerasan tak jua bisa beranjak dari kondisi dikorbankan baik oleh perlakuan hukum mau pun sikap ketidakpedulian kita yang merasa sudah mapan, aman dan nyaman.

Tapi benarkah kita betul-betul bebas dari kemungkinan menjadi korban kekerasan? Sebenarnya TIDAK.
Mari mencermati sejarah dan perkembangan kejadian kekerasan di Indonesia. Bukankah lalu ada ruang-ruang yang dulu kita anggap tak akan pernah disentuh kekerasan kini juga ikut jadi korban kekerasan maupun efek kekerasan secara tidak langsung? Saya sebut dengan segenap kesadaran, meningkatnya kasus-kasus kekerasan seksual di institusi keagamaan dan pendidikan bahkan di dalam rumah, penyerangan ke kelompok-kelompok minoritas dan etnis tertentu, pembelaan dalam bentuk ancaman kekerasan saat ada pejabat tertentu yang hendak dijatuhi hukuman dan sebagainya.
Semua itu akan terus berlangsung selama kita diam dan tidak peduli. Dengan diam, kita ikut menyumbang kemungkinan terjadinya kekerasan dalam bentuk apapun pada diri kita atau orang-orang terdekat yang kita sayangi.


Kembali ke buku puisi ibed, Pulang Melawan Lupa. Saya yang bukan kritikus sastra tidak berkompeten mengurai kaedah dan aspek literasi puisi-puisi di dalamnya. Tapi menarik untuk saya, bahwa ibed sebagai perempuan yang terinspirasi oleh para perempuan penyintas konflik Aceh adalah juga bagian dari para perempuan yang bangkit menolak diam terhadap kekerasan. Saya catat dari berbagai sumber bahwa aksi damai Indinesia Tanpa Kekerasan (Tanpa FPI sebagai simbolisasi) hari Selasa lalu ternyata juga digagas beberapa perempuan warga Jakarta yang sejak lama terganggu dengan aksi-aksi kekerasan ormas-ormas tertentu yang disinyalir dibiarkan tumbuh subur dan tidak diperlakukan sama oleh aparat hukum seperti warga lainnya.
Para perempuan ini juga korban kekerasan sistemik yang menolak terus diam disuguhi berita-berita kekerasan setiap hari, yang gemas karena anak-anaknya juga ikut jadi korban pengonsumsi produk-produk media yang abai dengan program edukatif.
Saya sendiri berada di sana sebagai bagian dari mereka yang terus menyuarakan pesan-pesan anti kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Saya juga menulis puisi seperti Ibed dan berkeinginan menelurkan buku puisi tunggal, rekaman apa yang saya dengar, lihat, rasa dan alami.

Bila Ibed gemilang menuang perih para perempuan penyintas kekerasan dan konflik Aceh menjadi suara lantang untuk seruan damai, maka suatu saat saya yang memang penyintas kekerasan, harus menyempatkan waktu membukukan rekaman perih sebagai bagian dari proses pemulihan trauma yang saya alami ke dalam bentuk seruan damai lainnya sebagai pendukung upaya-upaya lain yang saya dan banyak kawan perempuan lain lakukan untuk Indonesia Tanpa Kekerasan.

Selamat Ibed untuk buku puisimu yang luar biasa, Mengasah Pejuang, Mengasah Perempuan.




Jakarta, 20 Februari 2012

Pers Rilis Gerakan Indonesia Tanpa Kekerasan


Pers Rilis 


#IndonesiaTanpaKekerasan
#IndonesiaTanpaFPI 


Salam DAMAI untuk semua, Demi Indonesia Kita.

Melalui pers rilis ini kami ingin menjawab semua kesimpangsiuran informasi mengenai AKSI DAMAI
#IndonesiaTanpaFPI #IndonesiaTanpaKekerasan. Juga disampaikan tentang kronologis peristiwa
pemukulan Bhagavad Sambadha oleh berapa orang yang tidak dikenal pada saat aksi berlangsung.
Berikut uraiannya:

    1.  Siapakah kami? 

    -   Awal terbentuknya.

Berawal dari sosial media twitter, kami mencurahkan segala pikiran dan hati tentang keadaan sosial di
sekeliling kami, salah satunya mengenai pembiaran ormas yang menggunakan kekerasan untuk
memaksakan kehendaknya. Berita mengenai penolakan warga Kalteng terhadap pendirian cabang FPI,
menginspirasi kami untuk berbuat sesuatu. Diskusi di twitter terus bergulir sampai akhirnya
tercetuslah keinginan untuk melakukan “kopi darat”, bertemu dan berbincang-bincang diantara kami
secara terbuka, siapapun boleh datang.

Kami tidak mengira kopi darat ini banyak yang datang kira-kira 50 orang di suatu kedai kopi yang
beralamat di Cikini. Limapuluh orang tersebut terdiri dari berbagai kalangan dan datang sebagai
individu. Dalam suasana santai, satu dengan yang lain mengemukakan pendapat apa yang perlu
dilakukan untuk menyikapi kekerasan sampai akhirnya disepakati untuk melakukan AKSI DAMAI. Aksi
tersebut kami umumkan secara terbuka di twitter, dan ternyata banyak sekali yang merespon. Dalam
waktu yang singkat, kami sepakat untuk memakai nama #IndonesiaTanpaFPI untuk gerakan ini.
Di twitter sendiri, kampanye kami menggunakan hashtag #IndonesiaTanpaFPI dan
#IndonesiaTanpaKekerasan.

    -   Alasan pemakaian nama #IndonesiaTanpaFPI.

Kami sebagai orang awam memakai kata ini, karena tuntutan aksi kami bukan untuk membubarkan
FPI, melainkan menghentikan kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh FPI. Setiap orang
berhak untuk berserikat dan berkumpul, dengan tidak menggunakan kekerasan (sesuai dengan
Deklarasi HAM).

    -    Kekecewaan dan keinginan kami.

Aksi kami adalah bentuk ekspresi kemarahan dan rasa kecewa pada negara. Kekerasan demi
kekerasan terus terjadi dan negara tidak mendidik masyarakat bahwa kekerasan bukanlah tindakan
yang patut dicontoh, bukanlah tindakan yang benar.
FPI seperti kita tahu melalui media massa sebagai kelompok sering menyerang, memaki, atas sesuatu
yang tidak dia setujui, bahkan tega memukuli orang, dan lain-lain. Kejengkelan kami berujung pada
aksi ini. Kami telah memakai surat ijin dan melaporkan soal aksi kami ini ke polisi atas nama
masyarakat Jakarta, dan aksi kami berupa aksi damai. Tujuan kami adalah mengajak dan menggugah
kesadaran masyarakat bahwa kekerasan yang dibiarkan ini tidak bisa dibenarkan dengan alasan
apapun.
Kami tidak ingin menyakiti siapa-siapa, justru kami ingin mengajak masyarakat untuk bergabung
menolak dengan aksi damai.

    2.  Kronologis Aksi 

Kami berkumpul disepakati pukul 15 dengan meeting point di pos polisi dekat Bundaran HI. Pinggiran
kolam Bunderan HI digenangi air tidak seperti biasanya. Pada saat itu sudah ada massa di Plaza
Indonesia. Beberapa dari kami mendatangi massa di Plaza Indonesia. Sebagian kecil massa
mendatangi pos polisi. Massa yang di pos polisi kemudian memilih untuk menggabungkan diri dengan
massa di depan Plaza Indonesia. Setelah massa terkumpul, kemudian massa bergerak ke Bundaran HI.
Belum sampai 15 menit berkumpul, kami diminta polisi untuk membubarkan diri karena katanya FPI
datang.

Posisi kami pada saat itu di Bundaran HI. Massa bertahan, namun kami berusaha untuk memindahkan
massa ke depan Plaza Indonesia, lalu ke depan Grand Hyatt. Kami lanjutkan aksi damai di sana dan FPI
tidak datang. Diantara kami ada kebingungan,  kenapa kami yang sudah meminta izin tetapi kami yang
dibubarkan kalau FPI datang.

Pada saat aksi masih terus berlangsung (orasi), seorang yang tidak dikenal di barisan kami sejajar
dengan spanduk yang kami bentangkan tiba-tiba merebut spanduk kami sambil marah-marah.
Lalu ada orang memakai baju hitam ikut memukul teman kami, Bhagavad Sambadha, hingga terjatuh.
Kemudian Bhagavad Sambadha dibawa polisi menjauh dari massa. Beberapa orang bereaksi atas hal
ini, “Loh, kok yang ditangkap malah teman kami yang juga korlap?”
Setelah peristiwa tersebut, diputuskan aksi dibubarkan tetapi massa memilih tetap bertahan di Plaza
Indonesia hingga kemudian membubarkan sendiri.

    3.  Klarifikasi terhadap sebutan bahwa aksi ini berafiliasi dengan kelompok tertentu 

Disebutkan dalam surat ijin, bahwa jelas kami adalah dari Warga Jakarta. Diatas juga sudah
disampaikan siapa kami, yaitu individu-individu, warga Jakarta. Jika ada yang menyebutkan ada
afiliasi dengan kelompok tertentu, kami tegaskan sekali lagi bahwa kami adalah individu warga
Jakarta.

    4.  Sikap Kami 

    a.  Bahwa #IndonesiaTanpaFPI adalah sebuah gerakan, bukan organisasi.
    b.  Gerakan #IndonesiaTanpaFPI  tetap bergulir kepada aksi-aksi selanjutnya,apakah itu aksi
        turun ke jalan, kampanye ataupun langkah-langkah politis.
    c. #IndonesiaTanpaFPI bukan gerakan elemen-elemen, ormas, LSM ataupun kelompok-kelompok
       masyarakat lainnya. Gerakan #IndonesiaTanpaFPI adalah reaksi dari individu-individu warga
       Jakarta, bagian dari masyarakat Indonesia, terhadap berbagai aksi kekerasan dan intoleransi
       yang dilakukan ormas atau kelompok masyarakat yang mengatasnamakan SARA.
    d. #IndonesiaTanpaFPI mengutuk keras aksi kekerasan dan intoleransi yg dilakukan ormas atau
       kelompok masyarakat yang mengatasnamakan SARA.
    e. #IndonesiaTanpaFPI terlahir dan akan tetap melakukan gerakan selama masih terjadi
       pembiaran oleh negara terhadap aksi-aksi   kekerasan dan intoleransi yang dilakukan ormas
       tertentu dengan mengatasnamakan SARA.
    f. Gerakan#IndonesiaTanpaFPI menjunjung tinggi HAM dan Demokrasi,oleh karenanya
       #IndonesiaTanpaFPI tidak menghendaki terjadinya pembubaran ormas dan pengekangan
       kebebasan berkumpul dan berserikat. #IndonesiaTanpaFPI mendesak pemerintah mengambil
       tindakan hukum tegas,transparan dan tidak tebang pilih terhadap ormas atau kelompok
       masyarakat yang melakukan aksi kekerasan, melanggar hukum, dan intoleransi.
    g. #IndonesiaTanpaFPI mendesak pemerintah untuk segera menuntaskan kasus-kasus
       kekerasan, melanggar hukum, dan intoleran yang telah terjadi di Indonesia selama ini.
    h. Gerakan #IndonesiaTanpaFPI menyerukan kepada saudara-saudara kami di seluruh Indonesia
       agar tetap menjaga damai di setiap aksi-aksi penolakan terhadap hadirnya kekerasan serta
       tidak tersulut provokatif yang tidak menginginkan bangsa ini damai.
    i. Terkait tindakan pemukulan terhadap teman kami Bhagavad Sambhada, kami ingin Polisi
       memproses pelaku pemukulan sesuai hukum yang berlaku.


Terimakasih,
Jakarta, 19 Februari 2012

Salam Damai
#IndonesiaTanpaKekerasan
#IndonesiaTanpaFPI