25 January 2012

Pulang

engkau yang kini sekali,
kugenggam lembut-lembut
seakan-akan aku siap melepaskan
sekuat aku ingin menahan



Lion JT 0766
Jkt-Bpn, 19.03.09

24 January 2012

Membeli Harga (untuk manusua 'celup' Ponari-Jombang)

mislan ikut berjubel
bersama ribuan pesakitan lain
yang bengek
yang migren
yang jereng
yang koreng
yang herpes
batuk anjing
kutil badak
patah arang
juga berbagai patah harap lain

bahwa mislan juga patah
patah inginnya mengurus lembaran-lembaran pengakuan bahwa ia miskin
d i m i s k i n k a n
dimiskinkan periuknya
dimiskinkan jubahnya
dimiskinkan kasutnya
dimiskinkan harapnya
dimiskinkan waktunya
dimiskinkan ruangnya
dimiskinkan kemanusiaannya !
dan mislan mengantri untuk tak tahu apa
karena bersama pesakitan lain di sini,
mislan merasa manusia,
boleh berjuang,
boleh berharap,
boleh membayar sedikit demi rasa menjadi manusia yang selama ini tak mampu dibelinya dari pemegang-pemegang mandat yang asyik berzinah bersama pundi-pundi bugil milik pembayar cukai yang hanya mampu membayar kemanusiaannya dengan uang plastik produk kapitalis!

manusia mislan berjubel bangga,
potongan kartu lusuh nomor sebelas ribu dua ratus tiga bagai kartu kredit platinum,
alat tukar bergengsi membeli rasa sebagai manusia


untuk jombang, 20 februari 2009
terima kasih ponari !

23 January 2012

Catatan Sederhana Tentang Jurnalisme dengan Perspektif Gender


Bahasa Media Tentang Perempuan & oleh Perempuan



Saat menyampaikan fakta ke publik, media dapat dipengaruhi oleh ideologi yang membangun konstruksi tentang perempuan secara tidak adil. Penggunaan bahasa yang melemahkan juga yang berlebihan dapat memojokkan posisi perempuan ke sudut-sudut stigma dan konstruksi masyarakat yang muram bahkan suram. Bahasa yang dipakai dalam pemberitaan media massa dapat dijadikan parameter kuatnya sikap dan pemikiran masyarakat terhadap perempuan dengan sudut pandang yang sama sekali tidak menempatkan perempuan sebagai warga negara dengan hak dan kewajiban yang setara.

Dalam peliputan peristiwa atau berita kekerasan, selama ini yang dijadikan patokan adalah kinerja yang sarat nuansa patriaki, yang di dalamnya memadukan daya pikir, kepribadian, kekuatan fisik maupun gaya hidup rekan kerja laki-laki sebagai patokan hasil akhir yang maksimal dan "berani".
Kemudian dalam kapasitas dan posisi yang sama, perempuan lalu menjiplak “cara kerja nuansa patriaki” ini menjadi standar kerja peliputan. Hal ini lalu menjadi memrihatinkan saat tenaga kerja perempuan dinilai kurang maksimal dalam melakukan tugasnya dibandingkan dengan laki-laki bila standarisasi “ptriaki” ini tak diberlakaukan sebagai standar yang disepakati bersama; tidak lagi berpegang pada parameter formal kode etik jurnalistik yang sebenarnya saya nilai sudah cukup sensitif gender.
Akibatnya, hasil kerja jurnalis perempuan, baik apresiasi kerja jurnalis perempuan itu sendiri maupun berita dan tayangan yang dihasilkan kurang memenuhi harapan dan perjuangan MENGHASILKAN JURNALISME BERPERSPEKTIF GENDER. Hasil akhirnya justru lebih sering dan cenderung mengukuhkan posisi perempuan dalam stereotipe tertentu.


INGAT, media massa sebenarnya dapat menjadi sarana untuk mengangkat posisi perempuan, karena daya pengaruhnya yang sangat luas. Pengaruhnya harus dimanfaatkan maksimal untuk kebaikan bersama, untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa, dan perempuan adalah tiang penting bangsa yang imajinya bisa cemerlang atau tersungkur lewat penggambaran media.

Pada akhirnya memang dibutuhkan kerja sama kolektif dari seluruh elemen masyarakat, tentu dengan kompetensinya masing-masing untuk menciptakan jurnalisme berpersektif gender yang memenuhi rasa keadilan bagi semua. 
Mari kita kembalikan media menjadi bentuk sarana edukasi yang mencerahkan.



(Helga Worotitjan, 02 Des 2011)



*******

21 January 2012

Aku Mencintaimu Sederhana Saja

Aku mencintaimu sederhana saja, Penjual dan pembeli Aku mencintaimu sederhana saja Satu sapa dari hari kita lalu berlalu dan aku kelu Aku mencintaimu sederhana saja Demi telingamu yang mendengar, harga sabar aku bayar Aku mencintaimu sederhana saja Transaksi hati Jakarta, 3 Desember 2008

Puisi-puisi Pendek


DALAM
Ini saat melipat malam beserta gambaran tentangmu yang bulan.
Aku bintang jatuh yang menjelma kolam taman tanpa riak, hampir tak berdasar.

BURUH
(terinspirasi dari puisi Soni Farid Maulana)
Bagai baut yang mesti siap dibongkar pasang.
Sementara....
Perut tak mudah menyerah !

HILANG
Mencari jejakmu dalamku.
Tak kutemukan lagi.
Tak juga aromamu !

LONG DISTANCE
Musim semi tiba.
Kau tetap serupa pucuk yang sunyi lagi dingin.
Katamu, musim semi adalah senyumku setiap kali menjemputmu di pintu bandara.

16 January 2012

Kuasa Kenangan


sepotong lara abu-abu pecah di teras ingatan
terganggu linikala berlirik pengap
saat aku diam dalam kerak janji
kekasih yang rajin mengirimkan air mata

kesakitan masih berjejak

15 January 2012

Wawancara dengan Alter Ego


Malam turun dengan cepat saat seorang saya bergegas memasuki sebuah restoran kecil yang dikelola dengan konsep serba antik di bilangan Pondok Labu, Jakarta Selatan. Malam ini saya sudah membuat janji dengan Myra, demikian perempuan yang di usia hampir mencapai 40 tahun tampilan fisiknya belum memperlihatkan tanda-tanda mencapai angka sebanyak itu umurnya. Ibu tunggal dua anak perempuan ini ramah dan hangat. Jauh dari perkiraan saya semula akan bertemu perempuan dengan mimik dan sikap penuh curiga. Belum lama berselang kami sudah berbincang seru. Ia punya keterampilan komunikasi yang baik dan mampu membuat lawan bicara yang baru dikenalnya cepat lebur dalam suasana yang menyenangkan. Menurutnya ini sisa-sisa kebiasaannya saat masih bekerja.

“Saya bekerja di bidang pemasaran selama 14 tahun sebelum memutuskan berhenti total untuk menjalani terapi trauma kekerasan seksual yang saya alami lebih dari sekali dan merusak hampir seluruh lini hidup saya tanpa saya sadari....”

Myra merelakan perjalanan karirnya yang dibangun dengan susah payah berhenti demi merebut dan membangun kembali kehidupannya yang sempat “terbunuh” berpuluh-puluh tahun yang lalu dirampas peristiwa traumatik cukup mengenaskan di masa kanak-kanaknya.

Myra masih berumur belum genap 5 tahun saat mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh tetangga sebelah rumahnya. Ia hanya tahu diajak main dokter-dokteran oleh Om L. Tapi insting anak-anaknya ternyata tak sepolos yang diperkirakan pelaku. Myra mencoba menceritakan apa yang telah dialaminya pada ibunya. Sayang sekali ibu Myra yang besar dengan nilai-nilai keliru tentang seksual adalah tabu malah memandang aduan Myra sebagai pembicaraan seorang anak kecil yang mengada-ada dan tidak pantas.
Sejak saat itu Myra murung dan bingung. Orang yang dianggapnya paling bisa melindunginya tak mempercayai ceritanya. Sikap mental kanak-kanaknya membaca hal tersebut sebagai hal yang sangat tidak boleh dibicarakan. Myra lalu berhenti berpikir dan berharap bahwa perlindungan yang diharapkan akan menjadi haknya saat itu adalah hal terbaik yang bisa didapatnya.
Ini juga yang membuatnya memutuskan tak pernah menceritakan pada siapa pun apa yang lalu dialaminya 3 tahun kemudian saat menginjak umur 8 tahun. Myra yang tinggal bersama oma dan opanya jadi bulan-bulanan perlakuan cabul yang dilakukan oleh omanya sendiri. Bayangkan bukan orang lain, melainkan omanya sendiri yang sama-sama perempuan. Perlakuan yang harus diterimanya selama lebih dari 3 tahun itu membuatnya tumbuh tidak percaya diri dan dengan emosi yang meledak-ledak.
Setiap kali selesai dicabuli, keesokan harinya Myra akan dimanjakan sang oma dengan berlebihan. Diduga tentu sebagai bayaran rasa bersalah.

Masuk usia 11 tahun Myra mulai makin merasa tidak nyaman dengan perlakuan tersebut dan mulai melawan saat hendak diperlakukan dengan tidak pantas. Dan mulailah perlakuan tidak pantas dalm bentuk lain menggantikan perlakuan sebelumnya. Setiap kali omanya marah pada seseorang, myra jadi bulan-bulanan obyek kekerasan omanya. Ia akan ditelanjangi dan dipukuli habis-habisan lalu dikunci di teras selama lebih kurang 10 – 15 menit untuk dipertotntonkan pada orang yang banyak lalu lalang di depan rumah. Myra kecil yang baru akan masuk usia remaja merasa seluruh dunianya gelap dan runtuh. Satu-satunya kasih sayang yang ia tahu adalah lewat hubngan seksual karena itulah satu-satunya yang ia tahu akan membuatnya diperlakukan dengan intim dan baik. Ia besar dengan pemahaman keliru tentang kasih sayang. Ia besar dengan konsep kekerasan adalah bentuk kasih sayang dan perhatian, ini membuat Myra dewasa muda berkali-kali membangun hubungan emosi dengan konsep keliru dengan beberapa pria dan jatuh dalam pelukan bahkan jebakan “date rape” yang setelahnya selalu disesalinya. Myra makin terpuruk dalam trauma panjang yang dikiranya tak akan pernah selesai.

Ketidakmampuannya memahami apa yang sebenarnya terjadi dan caranya memandang dirinya sendiri yang dulu dinilainya sudah tak bernilai lagi dimanfaatkan para laki-laki yang tidak bertanggung jawab, termasuk oleh kedua mantan suaminya. Dan Myra dewasa yang naif tak menyangka ini bagian dari trauma yang dialaminya di masa kanak-kanak. Ia tak mampu melihat sudut masalahnya dengan lebih bening, tak mampu menarik garis merah dari seluruh perjalanan hidupnya yang berantakan sampai suatu saat ia putus asa dan memutuskan mengakhiri hidupnya dengan menelan 24 butir pil tidur lantaran frustasi mengidap gangguan tidur bertahun-tahun akibat seluruh kejadian traumatisnya yang makin menjadi mimpi buruk dan tak mengijinkannya untuk memejamkan mata sekejap pun. Ia mengalami kondisi kritis dan nyawanya hampir terengut karena kebingungannya sendiri. Menurut Myra saat itu ia merasa berada di titik nadir. Titik dimana manusia merasa tak ada atau bukan manusia lagi. Hari dimana ia menganggap dirinya tak punya nilai apa-apa lagi untuk melanjutkan hidup.

Inilah keajaiban itu. Di titik sekosong itu, sesaat setelah tertolong dari percobaan bunuh diri, ia disadarkan oleh kenyataan bahwa ia harus membesarkan kedua anak perempuannya, hanya mereka miliknya yang tersisa. Myra tiba-tiba sadar betapa selama ini ia hanya terpusat pada sisi gelap dan suram hidupnya dan melupakan 2 jiwa yang sangat membutuhkan kasih sayangnya. Bila ia tak bangun untuk merebut hidupnya lagi, maka ia akan “menguburkan” juga masa depan anak-anaknya. Dengan susah payah ia bangkit dari “kematiannya” dan mulai menata ulang hidupnya. Ia mulai berkonsultasi dengan ahli jiwa dan mencari akar seluruh masalah hidupnya. Ia juga mengombinasikan terapinya dengan mulai menulis, bakatnya yang dia miliki sejak masih sangat kecil namun tak pernah ditekuninya karena seluruh orang tua di lingkungannya beranjak besar tidak pernah peduli dengan hal-hal seperti itu. Myra mulai menekuni dunia menulis dengan serius tahun 2008 dan setahun kemudian bersama beberapa kawan menerbitkan 3 buku kumpulan puisi bersama. Ia aktif belajar dan mencermati persoalan-persoalan tentang perempuan, lalu 3 tahun belakangn mulai fokus mencermati dan mengerjakan isu kekerasan seksual. Bergabung dalam grup dukungan bagi penyintas kekerasan seksual dimana ia bisa mulai terbuka menceritakan pengalaman dan mimpi buruk yang disimpannya rapat-rapat selama puluhan tahun bersama dengan beberapa kawan lain yang bernasib sama. Myra bahkan setahun belakangn mulai mendorong dirinya sendiri untuk menggali dan meneliti dari mana asal perilaku kekerasan seksual yang berkembang di masyarakat. Ia selalu terdorong untuk menemukan hal baru yang luput menjadi perhatian orang lain yang bisa mungkin menjadi pemicu seseorang melakukan kekerasan, khususnya kekerasan seksual.
Dengan tekun ia mengumpulkan dan mengikuti berita-berita kasus kekerasan seksual untuk memperkuat basis datanya tentang perilaku kekerasan seksual dan psikolosi sosial penanganan yang tepat yang tidak saja berdasarkan keilmuan psikologi tapi juga dari berbagai aspek penting dan yang beberapa bahkan tak pernah terpikir oleh orang lain.

Myra juga mulai masuk dengan aktif memberi edukasi pada para pelaku media massa yang dinilainya ikut menjadi kontributor penting pembangunan mental masyarakat secara luas. Ia berpendapat bahwa media yang mencerahkan adalah media yag mampu mengedukasi pembaca/pemirsanya untuk menjadi lebih baik dan berguna, bukan memanjakan dengan memberi hasil akhir yang penuh dengan bentuk kekerasan baik secara langsung maupun terselubung lewat tayangan-tayangan hiburan yang tidak sehat dan tak mendidik.

“Saya melakukan ini untuk lingkungan tumbuh yang lebih baik bagi anak-anak saya.” Myra menutup kisahnya. “Saya ingin membayar waktu-waktu yang saya buang percuma dengan mengondisikan masa depan yang lebih baik untuk mereka, juga anak-anak lain. Jangan terulang lagi pengalaman buruk yang saya alami pada anak-anak dan pada orang lain.”



Tak terasa malam hampir menyentuh pukul 11. Keasyikan mengikuti cerita Myra membuat saya merasa kami baru saja bertemu. Saya menemukan bentuk lain inspirasi. 

Bayangkan, dari sebuah pelatihan tentang kekerasan seksual saya mengerti bahwa gejala yang lekat pada penyintas kekerasan seksual adalah efek kekerasan terburuk dari bentuk kekerasan terburuk yang mereka alami dari bentuk kekerasan lain. Begitu panjang akibat dan dampak kerusakan mental yang ditimbulkan taruma ini hingga bisa dibayangkan apa ayang telah dilewati Myra selama ini. Saya tak pernah membayangkan ada orang yang berhasil melewati hidup seberat itu.

Yang paling memilukan adalah pengakuannya bahwa dalam proses perjuangannya melewati masa-masa terberat yang paling menyakitkannya adalah saat anak-anaknya harus menahan lapar dan tidak bersekolah selama beberapa bulan karena mereka begitu miskin setelah Myra ditelantarkan bersama anak-anaknya oleh mantan suaminya selama beberapa bulan setelah perceraiannya. Tapi ketabahannya mampu membawa mereka melewatinya dan untuk itu Mrya sangat bersyukur.

Tak banyak orang diberi kekuatan seperti itu. Impunitas negara dan sebagian besar dari kita kadang mematikan dan menamfikan orang-orang di luar sana yang berjuang melawan masa getirnya melewati trauma kekerasan seksual. Sikap dan pemikiran bahwa kekerasan seksual semata adalah persoalan hubungan seksual membuat persoalan serius ini tak pernah ditempatkan di tempat yang sesungguhnya, yaitu sebagai fenomena kejahatan kemanusiaan yang serius serta membutuhkan penanganan yang komperhensif dan secara terus-menerus.
Kerja sama banyak pihak sangat diperlukan untuk mendorong angka kasus kekerasan seksual mengecil, diantaranya seperti yang dilakukan Myra dengan tanpa lelah menjadi partner media dalam mengedukasi masyarakat tentang akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan kekerasan seksual baik yang di tanggung oleh korban maupun oleh masyarakat yang masih harus dibangun kedasaran dan kepeduliannya bahwa siapa pun dengan latar belakang apapun bisa menjadi pelaku dan korban kekerasan seksual.

Data Komnas Perempuan menunjukkan dalam sehari terjadirata-rata minimal 10 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan. Bayangkan bila kita turut memasukkan data para korban yang engan melaporkan kasusnya karena berbagai sebab dan alasan.




Di seluruh dunia telah terjadi kekerasan seksual lintas gender dan umur. Memasuki bulan Desember tahun lewat bayi laki-laki yang baru berumur 1 bulan di Kent, Inggris menjadi korban pemerkosaan brutal orang dewasa. Indonesia sendiri mencatat korban pemerkosaan termuda berumur 8 bulan di sebuah dusun nelayan di Bantaeng Sulawesi Selatan. Sementara korban pemerkosaan tertua menurut informasi dari seorang kawan aktivis perempuan yang datanya masih butuh verifikasi lanjutan adalah nenek berumur 85 tahun. Ini indikasi kuat bahwa kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa pun tanpa peduli apapun penampilan korban saat kejahatan kekerasan seksual terjadi. Belum lagi nasib para tenaga kerja Indonesia perempuan yang harus pergi menjadi tulang punggung keluarga atau tertipu iming-iming pendapatan besar yang berujung menjadi korban kekerasan seksual yang tak jarang merengut nyawa mereka juga.
Fasilitas transportasi umum juga mulai jadi teror tersendiri dengan meningkatnya kejadian kekerasan seksual baik pemerkosaan maupun perbuatan cabul di angkot beberapa bulan terakhir ini. Korbannya mulai dari anak sekolah hingga perempuan setengah baya penjual sayur. Bahkan ada korban tewas. Dan ini tentu bukan bahan lelucon seperti yang dilakukan seorang komedian dan presenter saat melawak di sebuah tayangan langsung perayaan ulang tahun grup televisi swasta beberpa minggu lalu.
Lawakannya tentang pemerkosaan di angkot yang lalu mengundang banyak protes dari para korban kekerasan seksual dan masyarakat luas ini simbol masih kurangnya kepedulian banyak pihak terhadap persoalan kekerasan seksual di tanah air. Renggut paksa harga diri, martabat dan masa depan seorang yang bila hidup pun harus mengalami trauma seumur hidup, masih dianggap sepele oleh sebagian orang. Menyedihkan dan menggelisahkan.


Mengapa kita perlu tak hanya berhenti pada kasus-kasus kekerasan sekual tertentu dan kasus pelecehan korban dan penyintas seksual oleh seorang komedian ? Karena kekerasan seksual bukan komoditi kasus eksotik musiman, ini kejahatan purba yang tak akan berhenti hanya sampai prihatin dan caci maki marah saja. Untuk benar-benar bisa mengurangi kita harus mulai bergerak dalam kegiatan-kegiatan nyata yang mengupayakan edukasi dan penyebaran informasi secara lebih luas bahwa kekerasan seksual bukan tentang hubungan seksual, tapi bentuk kekerasan terburuk yang pernah ada dalam peradaban umat manusia. Bentuk kekerasan yang membunuh sebagian besar hidup korbannya, dan meninggalkan stigma menyedihkan yang sering lebih memojokkan korban dari pada pelaku.
Mari hentikan kekerasan seksual dan bergiat mendorong perubahan menuju masa depan dengan lingkungan yang lebih aman. Menjadi lebih peduli berarti ikut mendorong dan menciptakan kondisi yang lebih aman, tak hanya bagi perempuan tapi juga bagi semua.  

14 January 2012

Abused 1

setiap terhuyung ditikam kata-kata belati
jiwaku mengerdil
kebesarannya terbunuh, rohnya melayang-layang gamang

ketika ikat pinggang bukan di pinggang
tapi diayunkan menjadi cap merah di kaki
ketika pengukur jahit tak untuk mengukur
tapi dicambukkan melukis bilur biru di tangan
mempermalukan harap dalam-dalam

mengikat kuat segala kenang
mencipta banyak cinta yang serba patah



bpn-jkt, 080873-140309

13 January 2012

Fallen

Saat kau meraihku
Dunia tiba-tiba merah muda dan beraroma mawar !

Materi Diskusi "Etika Perlindungan Privasi Dalam Peliputan Kasus Kekerasan Seksual" - Biro Perempuan AJI & Komnas Perempuan



  1. Kekerasan Seksual
  2. Meliput & Menayangkan Tentang Penyintas

I. Kekerasan Seksual

Beda korban & penyintas : KORBAN obyek kejahatan yang masih berada dalam kondisi pasca trauma dan tidak/belum berfungsi secara sosial (belajar, bekerja, hubungan sosial, hubungan emosi dll), sedangkan PENYINTAS adalah korban kejahatan yang sudah melewati masa-masa teberat setelah kejadian, berfungsi secara sosial & berusaha berfungsi secara emosi.


Kekerasan seksual : Seluruh tindakan pendekatan dan penyerangan dengan menggunakan seks sebagai alat/senjata, yang menimbulkan rasa tidak nyaman, terancam, trauma, kerusakan fisik jangka pendek/panjang & kerusakan psikis jangka panjang.


Efek kekerasan seksual pada korban :
  1. Syok
  2. Kedinginan
  3. Perasaan ingin pingsan
  4. Kebingungan mental
  5. Disorientasi (tokoh, peran, waktu & tempat)
  6. Gemetaran
  7. Mual
  8. Muntah-muntah

Gejala fisik trauma kekerasan seksual :
  1. Masalah ginekologi
  2. Pendarahan atau infeksi
  3. Rasa sakit di seluruh tubuh
  4. Memar/luka gores/luka yang lebih dalam
  5. Mual dan muntah-muntah
  6. Iritasi tenggorokan (menyebabkab tercekat)
  7. sakit kepala karena meningginya tekanan darah
  8. Rasa sakit di punggung bagian bawah dan/atau perut
  9. Gangguan tidur
  10. Gangguan makan

Penyimpangan kebiasaan akibat trauma kekerasan seksual :
  1. Menangis lebih sering dari biasanya
  2. Kesulitan konsentrasi
  3. Kurang bisa mengatur pola istirahat
  4. Kurang bisa menikmati waktu santai
  5. Selalu waspada danberjaga-jaga
  6. Gangguan kemampuan bersosialisasi ATAU bersosialisasi berlebihan
  7. Tidak suka ditinggalkan sendirian
  8. Gagap atau terbata-bata lebih dari biasanya (akibat tercekat)
  9. Menghindari hal-hal yang akan mengingatkan pada kejadian kekerasan seksual yang dialami
  10. Mudah takut dan terkejut
  11. Cepat kesal untuk hal sederhana
  12. Kehilangan ketertarikan pada hal-hal yang bagi orang lain menarik
  13. Selalau bermasalah pada hubungan/relasi yang melibatkan emosi
  14. Mudah kecewa
  15. Lebih sering menarik diri dalam kondisi tertentu
  16. Mengonsumsi alkohol/rokok/obat-obatan (atau meningkat bila sebelumnya sudah mengosumsi)
  17. Lebih sering mencuci tangan dan/atau mandi
  18. Penyangkalan bahwa kekerasan seksual yang dialami tidak pernah terjadi

Gejala psikis trauma kekerasan seksual :
  1. Gangguan pikiran dan kekesalan
  2. Merasa kotor
  3. Ingatan berulang
  4. Mimpi buruk
  5. kesal pada hal-hal yang mengingatkan pada kejadian
  6. Fobia dan/atau trauma fobia
  7. Amnesia sementara
  8. Kebas atau rasa kehilangan emosi
  9. Bingung harus merasakan apa
  10. Merasa akan mati lebih cepat
  11. Depresi dan kesedihan
  12. Ingin bunuh diri
  13. Gusar dan kemarahan
  14. Lebih takut dan cemas berlebihan
  15. Malu dan terhina
  16. Merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri
  17. Merasa bertanggung jawab atas kejadian
  18. Merasa berbeda dan berjarak dengan orang lain
  19. Merasa tak tertolong dan tak berdaya
  20. Kehilangan penghormatan pada diri sendiri
  21. Kehilangan percaya diri
  22. Merasa selalu lebih kurang dari yang lain dan tak berharga
  23. Pada kekerasan seksual masa kanak-kanak, perkembangan emosi penyintas akan berhenti di usia pertama kali penyintas mengalami kejadian/serangan pertamanya
  24. Tidak lupa tapi selalu menemukan cara menghadapi/menghindari kenyataan (otak & otot)
  25. Merasa konseling/terapi belum tentu menolong
  26. Ragu dan takut menceritakan kejadian
  27. Kalau pun berani bercerita, di awal-awal, penyintas akan mengingat dan merasakan hal yang persis sama dan kembali menggerakkan gejala-gejala awal, tapi dengan lebih seringnya penyintas mengungkap dan menerima keadaan diri, pemulihan akan terjadi secara perlahan-lahan
(lebih pada fisik)
  1. Migren
  2. Bulimia dan/atau anoreksia
  3. Ketidakmampuan untuk mempercayai
(lebih pada gangguan emosi)
  1. perfeksionis
  2. Menghindari ikatan/keintiman emosi
  3. Tidak mempercayai intuisi diri
  4. Belajar mengadaptasi kejadian sesungguhnya menjadi seolah-olah itu imajinasi (penyangkalan)
  5. Bisa saja membela pelaku
  6. Problem mengasuh anak
  7. Khawatir berlebihan
  8. Kebingungan berhubungan seks, apakah karena dorongan nafsu atau cinta
  9. Kebingungan berhubungan seks, antara mengontrol dan menguasai




III. Bagaimana Media Meliput & Melaporkan Korban/Penyintas Kekerasan Seksual


1. Identitas (korban & orang-orang di sekitar korban)

Pasal 5 KEJ
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan.

Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang
memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.


2. Menyalahkan korban (penampilan, perilaku & kondisi)

Contoh :

  • OkeZone.com 16 September 2011 : Pemerkosa & Korban Ternyata Saling Kenal (isi X – sumber pendukung)

  • TRIBUNNEWS.com 16 Sept 2011 : Korban Perkosaan Sering Berkomunikasi dengan Pelaku (isi X – minus sumber pendukung)

Pasal 3 KEJ
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah.

Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran
informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-
masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan
opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.


3. Detail Erotis

Contoh : duplikasi detail erotis ke kolom berita atau pada adegan reka ulang kekerasan seksual.

  • detikpertama.com 7 Sept 2011 : Nafsu Tak Tertahan, Kuli perkosa Pelajar Hingga CD Robek (isi V – konten semi detail – tautan berita adalah hal-hal erotis)

  • adegan reka ulang kejahatan perkosaan di media elektronik (bukan rekonstruksi yang adalah istilah kepolisian, lembaga pengamanan resmi negara)

Pasal 4 KEJ
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai
hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat
buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara,
grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu
pengambilan gambar dan suara.


4. Dramatisasi Kejadian

Dibanding menggali kisah sukses perjuangan kembali berfungsi secara sosial, wajah perempuan dalam pemberitaan cenderung menggambarkan perempuan sebagai korban, pihak yang lemah, tak berdaya.

Contoh : pengalaman live talk show dengan TV & wawancara 'on the spot' tanpa pertimbangan psikologis nara sumber.


Catatan :

Waspadai stres trauma pada jurnalis peliput kejadian-kejadian traumatis. Seluruh ulasan yang saya sampaikan di atas sangat mungkin juga dialami para jurnalis perempuan yang secara terus menerus meliput peristiwa kekerasan khususnya kekerasan seksual. Secara tidak sadar cara mereka menempatkan korban/penyintas akan menjadi semacam sugesti akibat terus menyerap emosi dan enerji negatif korban/penyintas yang sudut pandang publikasinya sebenarnya mereka bentuk.



*******


Bahan-bahan : Pribadi, Dewan Pers dan dr. Veronica Salter



10 January 2012

Mengenali Bahaya Yang Mengintai Saat Berkencan Lewat Media Sosial

gambar dari : http://agungclivemelod.blogspot.com/2011/03/kekerasan-dalam-pacaran-ilmu-budaya.html

Sejumlah kasus kekerasan terjadi akibat keliru memilih pasangan kencan lewat dunia maya, sudahlah keliru memilih orang, caranya pun sudah salah sejak awal. Kemajuan tehnologi yang seharusnya untuk menolong umat manusia memudahkan silaturahmi bagi mereka yang berjauhan dan dipenuhi kesibukkan telah dimanfaatkan sementara orang untuk hal-hal yang tidak bertanggung jawab. Ada pelaku dan ada korban, keduanya memulai dengan sikap mental yang keliru saat memanfaatkan media internet dalam hal ini jejaring media sosial.
Tak hanya sebagai media silaturahmi, komunikasi dan informasi tapi juga tempat utama berselancar untuk memenuhi ruang-ruang kosong perasaan cermin kelemahan dan ketidakberdayaannya membangun fungsi sosial yang lebih baik di ruang nyata dan lebih terbuka yang membutuhkan keberanian ekstra untuk menghadapi berbagai masalah serta 'kecerdasan pikiran dan hati' untuk menemukan cara mengurai simpul keruwetan dan dengan sabar menariknya satu-persatu hingga rapi selesai. Sedemikiannya saya menempatkan posisi sulit itu tak hanya pada satu pihak melainkan pada keduanya, korban dan pelak,u karen akibat yang ditimbulkan dari salah cara memilih teman kencan lewat media sosial yang berujung pada kekerasan dalam berhubungan adalah masalah purba sejak fenomena berkembang luasnya media sosial menyentuh segala ruang termasuk ruang-ruang relasi yang mestinya dibangun tidak hanya dengan perasaan tapi juga dengan kearifan berlogika (baca : pakai juga isi kepala kita saat hendak membangun relasi emosi).


Super aktifnya kita di ruang-ruang media sosial khusus hanya untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan nutrisi insting bersenang-senang dimana ada sebagian orang hanya menghabiskan waktunya untuk berlelah berselancar di ruang media sosial ketimbang dipakai secara bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidupnya ke arah yang lebih baik di ruang nyata juga indikasi kegagalan berfungsi sosial baik di ruang relasi, ruang kerja maupun di ruang pertemanan di duniat nyata yang kemudian alih-alih diperbaiki malah melarikan diri menyelam dalam pergaulan maya dan menganggap seluruh kejadian dan perkataan disaksikan dan dibaca di layar komputer atau gadget sebagai bentuk hadirnya dunia nyata yang tak berhasil Anda taklukan ke dunia maya yang menurut Anda berhasil Anda taklukkan dengan menggunakan perasaan dan insting yang bahkan belum tentu matang mengolah masalah di ruang yang lebih nyata. Saya sederhanakan : sangat eksis di ruang maya tanpa arah yang pasti, menunjukkan kegagalan Anda memiliki peran penting di dunia nyata. Ini sebab utama sementara orang membangun ruang pentingnya sendiri. Padahal, tanpa arah dan karya, kehadiran kita di ruang apapun baik nyata maupun maya tidak akan memberikan peran penting apapun kecuali hanya, maaf, 'nyampah' dan akhirnya mengganggu mereka yang memanfaatkan internet dalam hal ini media sosoial sebagai wadah komunikasi dan distribusi informasi yang cepat, relatif murah dan bisa diakses seluas-luasnya untuk hal-hal yang berguna bagi banyak orang.

Lebih buruk lagi adalah, saat konstruksi sosial yang sangat dipengaruhi budaya patriaki di ruang nyata lalu dibawa ke ruang maya. Umumnya para pembawa sifat dan kebiasaan patriaki ke ruang media sosial akan hanya mencari teman berhubungan yang dianggapnya lebih lemah, rentan, bisa dikuasai dan dikontrol. Sebut saja beberapa kasus pelaporan yang dilakukan beberapa orang tua yang anak remajanya dianggap dilarikan orang-orang tak bertanggung jawab yang berakhir dengan kekerasan seksual bahkan penghilangan nyawa. Ini kasus yang terparah. Kasus yang terbanyak dan terdekat sering sekali terjadi adalah hubungan yang dibangun lewat media sosial tanpa mengetahui latar belakang dan rekam jejak pasangannya. Ini biasanya kasus-kasus yang berakhir dengan pertemuan di ruang nyata, lalu bila sosok yang diharapkan dan dibayangkan tak sesuai dengan imaji bentukan saat berinteraksi di ruang maya, lalu timbul pemerdekaan imaji dengan cara-cara tak semestinya karena ketidaksanggupan menyatakan TIDAK saat bertemu. Tentu bila ada pihak yang dengan sewenang-wenang memerdekakan imajinya, pasti ada pihak yang kemerdekaannya terampas.
Dari titik ini ketidakarifan memanfaatkan media sosial melahirkan pelaku dan korban kekerasan yang biasanya akan berbentuk awal verbal, yang tak mungkin bila dibiarkan akan meningkat ke kekerasan fisik seperti pemaksaan melihat isi interaksi semua alat komunikasi yang korban miliki, pengrusakan barang sampai bila tak dihentikan tindakan yang melibatkan persentuhan fisik yang tidak diinginkan (pegang paksa, penyekapan, pemukulan, kekerasan seksual dan lain-lain yang tentu makin berbahaya).
Bila sudah sampai ke salah satu tindakan yang saya sebutkan sebelumnya, sesungguhnya pelaku sudah melakukan kekerasan yang masuk ke ranah kriminal dengan konsukuensi hukum yang jelas. Pelanggaran yang dilakukan pelaku atau predator dunia maya bisa dijerat dengan pasal-pasal yang berhubungan dengan bentuk kekerasan yang dilakukan :

1. Penguasaan akun milik orang lain disertai ancaman dan atau penyebaran informasi dari akun milik orang lain bisa dijerat UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU ini sebenarnya UU yang tak saya sukai meski di dalamnya ada pasal yang bisa melindungi korban predator dunia maya; selebihnya adalah pasal-pasal karet yang sering digunakan para penguasa dan pengusaha untuk menindas orang lain yang mereka rugikan seperti kasus Prita Mulyasari, tapi dalam hal ini, UU ini baik untuk memberi efek jera predator dunia maya yang merajalela akhir-akhir ini.

2. Pelecehan seksual, dijerat dengan hukum pidana KUHP pasal 289-296 tentang pencabulan, penghubung pencabulan pasal 295-298 dan pasal 506.

3. Kekerasan yang dilakukan, dijerat pasal KUHP pasal 352 tentang tindak pidana penganiayaan ringan atau bila penganiayaan menimbulkan akibat fisik khusus bisa juga dengan UU nomor 8 KUHAP pasal 1 ayat 24 tentang penganiayaan. Kekerasan verbal berupa kata kasar juga bisa dijerat pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.

4. Definisi anak yang dimaksud negara adalah semua yang berumur di bawah 18 tahun (dan belum menikah). Jadi apapun yang dilakukan tidak wajar dan semestinya terhadap anak-anak termasuk di dunia maya akan dijerat UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak.


Ini payung hukum bila telah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan berniat melaporkan pelakunya. Cara lain adalah mencegah terjadinya dengan menjadi lebih arif menyikapi media sosial adalh memperkecil kemungkinan terjadinya dengan melakukan langkah-langkah berikut :

1. Hindari berkoneksi dengan akun-akun anonim. Biasanya akun-akun seperti ini dibuat orang-orang yang tak ingin identitas aslinya diketahui dan umumnya dipakai untuk hal-hal negartif seperti menjerat lawan jenis dengan cara-cara yang tidak semestinya. Pengelola akun-akun seperti ini umumnya menghindari pertemuan terbuka dan bentuk kopi darat yang beramai-ramai. Tidak semua akun anonim berkonotasi negatif, tapi tak ada salahnya berhati-hati.

2. Hindari sering-sering memublikasikan status-status melankolis atau yang mengumbar kesedihan. Ini biasanya awal petaka, kenapa ? Predator dunia maya sangat menggemari melakukan pendekatan pada orang-orang yang dianggap lemah dan mudah dikuasai, dan kebiasaan memublikasikan hal-hal melankolis dan emosional terutama muatan-muatan kesedihan akan memarik perhatian orang-orang yang idak bertanggung jawab yang hanya akan melakukan pelecehan, penguasaan dan pengontrolan pada korban yang dianggap lemah dan rentan didominasi. Sisi lain himbauan ini adalah, jadikan dirikita pandai dan bersemangat. Gunakan fasilitas internet anda untuk menggali ilmu sebanyak mungkin, dari sana Anda justru akan mendapat kawan-kawan yang lebih berkualitas baik perilaku maupun wawasannya.

3. Hindari kontak dengan webcam jika diminta. INGAT, Anda hanya sesungguhnya hanya aman melakukan hubungan webcam untuk orang-orang yang sebelumnya sudah pernah Anda temui atau untuk keperluan pekerjaan yang membutuhkan kontak visual yang lebih detail.

4. Hindari pertemuan awal hanya berdua dan di tempat yang sangat privat. Ini mencegah hal-hal yang tidak diinginkan yang bisa saja terjadi kapan pun dan dimana pun.

5. Bersikaplah tegas pada indikasi pendekatan yang tidak wajar, ini bisa menyelamatkan Anda sejak awal.

6. Sedekat apapun Anda dengan orang lain termasuk dengan keluarga sendiri, JANGAN PERNAH memberikan kata sandi (password) pada siapa pun. Ini fatal akibatnya. Anda tidak akan pernah tahu kapan Anda akan berkonflik dengannya. Di tengah tekanan emosi, akun Anda yang sudah dikuasai kata sandinya bisa digunakan secara tidak bertanggung jawab untuk tujuan mencemarkan nama baik Anda. Selalu lakukan sesuatu karena Anda butuh dipercaya bukan karena ingin dipercaya, perbedaan besar kata butuh dan ingin akan membuat Anda arif menglola hubungan Anda dengan siapa pun. Saling menguasai kata sandi akun atau alat-alat komunikasi bahkan lebih parah hanya menunjukkan ketidak-dewasaan kita menyikapi hubungan yang ada. BIla ini masih saja terjadi, apalagi secara paksa, pasti ada "trust issue" yang berkaitan dengan trauma masa lampau. Jadi bukan akun atau alat-alat komunikasi pasangan yang harus dikuasai melainkan trauma masa lalunya yang harus dipulihkan sebelum memulai berhubungan dengan siapa pun.

Dengan menyimak tulisan ini, kita, termasuk saya diingatkan kembali bahwa apapun bentuknya, kekerasan termasuk yang lahir dari pertalian tak wajar di dunia maya khususnya media sosial adalah tindakan tidak wajar yang perlu dihindari, dicegah dan disikapi. Hidup kita diisi dan dibahan-bakari semangat kemanusiaan yang harusnya dilandasi kasih sayang, tentu kasih sayang yang yang tidak lemah. Yang tegas menyikapi penindasan dan pemerkosaan hak serta penyimpangan.
Jangan juga menjadi fundamentalis terhadap apa yang kita yakini lalu tak memberi ruang pada kebenaran milik orang lain. Semangat bahwa kita adalah umat manusia yang setara akan mengikis sikap mental dan pemikiran bahwa ada orang lain yang lebih bisa didominasi.




Sumber : Pribadi & dr. Veronica Salter