15 January 2012

Wawancara dengan Alter Ego


Malam turun dengan cepat saat seorang saya bergegas memasuki sebuah restoran kecil yang dikelola dengan konsep serba antik di bilangan Pondok Labu, Jakarta Selatan. Malam ini saya sudah membuat janji dengan Myra, demikian perempuan yang di usia hampir mencapai 40 tahun tampilan fisiknya belum memperlihatkan tanda-tanda mencapai angka sebanyak itu umurnya. Ibu tunggal dua anak perempuan ini ramah dan hangat. Jauh dari perkiraan saya semula akan bertemu perempuan dengan mimik dan sikap penuh curiga. Belum lama berselang kami sudah berbincang seru. Ia punya keterampilan komunikasi yang baik dan mampu membuat lawan bicara yang baru dikenalnya cepat lebur dalam suasana yang menyenangkan. Menurutnya ini sisa-sisa kebiasaannya saat masih bekerja.

“Saya bekerja di bidang pemasaran selama 14 tahun sebelum memutuskan berhenti total untuk menjalani terapi trauma kekerasan seksual yang saya alami lebih dari sekali dan merusak hampir seluruh lini hidup saya tanpa saya sadari....”

Myra merelakan perjalanan karirnya yang dibangun dengan susah payah berhenti demi merebut dan membangun kembali kehidupannya yang sempat “terbunuh” berpuluh-puluh tahun yang lalu dirampas peristiwa traumatik cukup mengenaskan di masa kanak-kanaknya.

Myra masih berumur belum genap 5 tahun saat mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh tetangga sebelah rumahnya. Ia hanya tahu diajak main dokter-dokteran oleh Om L. Tapi insting anak-anaknya ternyata tak sepolos yang diperkirakan pelaku. Myra mencoba menceritakan apa yang telah dialaminya pada ibunya. Sayang sekali ibu Myra yang besar dengan nilai-nilai keliru tentang seksual adalah tabu malah memandang aduan Myra sebagai pembicaraan seorang anak kecil yang mengada-ada dan tidak pantas.
Sejak saat itu Myra murung dan bingung. Orang yang dianggapnya paling bisa melindunginya tak mempercayai ceritanya. Sikap mental kanak-kanaknya membaca hal tersebut sebagai hal yang sangat tidak boleh dibicarakan. Myra lalu berhenti berpikir dan berharap bahwa perlindungan yang diharapkan akan menjadi haknya saat itu adalah hal terbaik yang bisa didapatnya.
Ini juga yang membuatnya memutuskan tak pernah menceritakan pada siapa pun apa yang lalu dialaminya 3 tahun kemudian saat menginjak umur 8 tahun. Myra yang tinggal bersama oma dan opanya jadi bulan-bulanan perlakuan cabul yang dilakukan oleh omanya sendiri. Bayangkan bukan orang lain, melainkan omanya sendiri yang sama-sama perempuan. Perlakuan yang harus diterimanya selama lebih dari 3 tahun itu membuatnya tumbuh tidak percaya diri dan dengan emosi yang meledak-ledak.
Setiap kali selesai dicabuli, keesokan harinya Myra akan dimanjakan sang oma dengan berlebihan. Diduga tentu sebagai bayaran rasa bersalah.

Masuk usia 11 tahun Myra mulai makin merasa tidak nyaman dengan perlakuan tersebut dan mulai melawan saat hendak diperlakukan dengan tidak pantas. Dan mulailah perlakuan tidak pantas dalm bentuk lain menggantikan perlakuan sebelumnya. Setiap kali omanya marah pada seseorang, myra jadi bulan-bulanan obyek kekerasan omanya. Ia akan ditelanjangi dan dipukuli habis-habisan lalu dikunci di teras selama lebih kurang 10 – 15 menit untuk dipertotntonkan pada orang yang banyak lalu lalang di depan rumah. Myra kecil yang baru akan masuk usia remaja merasa seluruh dunianya gelap dan runtuh. Satu-satunya kasih sayang yang ia tahu adalah lewat hubngan seksual karena itulah satu-satunya yang ia tahu akan membuatnya diperlakukan dengan intim dan baik. Ia besar dengan pemahaman keliru tentang kasih sayang. Ia besar dengan konsep kekerasan adalah bentuk kasih sayang dan perhatian, ini membuat Myra dewasa muda berkali-kali membangun hubungan emosi dengan konsep keliru dengan beberapa pria dan jatuh dalam pelukan bahkan jebakan “date rape” yang setelahnya selalu disesalinya. Myra makin terpuruk dalam trauma panjang yang dikiranya tak akan pernah selesai.

Ketidakmampuannya memahami apa yang sebenarnya terjadi dan caranya memandang dirinya sendiri yang dulu dinilainya sudah tak bernilai lagi dimanfaatkan para laki-laki yang tidak bertanggung jawab, termasuk oleh kedua mantan suaminya. Dan Myra dewasa yang naif tak menyangka ini bagian dari trauma yang dialaminya di masa kanak-kanak. Ia tak mampu melihat sudut masalahnya dengan lebih bening, tak mampu menarik garis merah dari seluruh perjalanan hidupnya yang berantakan sampai suatu saat ia putus asa dan memutuskan mengakhiri hidupnya dengan menelan 24 butir pil tidur lantaran frustasi mengidap gangguan tidur bertahun-tahun akibat seluruh kejadian traumatisnya yang makin menjadi mimpi buruk dan tak mengijinkannya untuk memejamkan mata sekejap pun. Ia mengalami kondisi kritis dan nyawanya hampir terengut karena kebingungannya sendiri. Menurut Myra saat itu ia merasa berada di titik nadir. Titik dimana manusia merasa tak ada atau bukan manusia lagi. Hari dimana ia menganggap dirinya tak punya nilai apa-apa lagi untuk melanjutkan hidup.

Inilah keajaiban itu. Di titik sekosong itu, sesaat setelah tertolong dari percobaan bunuh diri, ia disadarkan oleh kenyataan bahwa ia harus membesarkan kedua anak perempuannya, hanya mereka miliknya yang tersisa. Myra tiba-tiba sadar betapa selama ini ia hanya terpusat pada sisi gelap dan suram hidupnya dan melupakan 2 jiwa yang sangat membutuhkan kasih sayangnya. Bila ia tak bangun untuk merebut hidupnya lagi, maka ia akan “menguburkan” juga masa depan anak-anaknya. Dengan susah payah ia bangkit dari “kematiannya” dan mulai menata ulang hidupnya. Ia mulai berkonsultasi dengan ahli jiwa dan mencari akar seluruh masalah hidupnya. Ia juga mengombinasikan terapinya dengan mulai menulis, bakatnya yang dia miliki sejak masih sangat kecil namun tak pernah ditekuninya karena seluruh orang tua di lingkungannya beranjak besar tidak pernah peduli dengan hal-hal seperti itu. Myra mulai menekuni dunia menulis dengan serius tahun 2008 dan setahun kemudian bersama beberapa kawan menerbitkan 3 buku kumpulan puisi bersama. Ia aktif belajar dan mencermati persoalan-persoalan tentang perempuan, lalu 3 tahun belakangn mulai fokus mencermati dan mengerjakan isu kekerasan seksual. Bergabung dalam grup dukungan bagi penyintas kekerasan seksual dimana ia bisa mulai terbuka menceritakan pengalaman dan mimpi buruk yang disimpannya rapat-rapat selama puluhan tahun bersama dengan beberapa kawan lain yang bernasib sama. Myra bahkan setahun belakangn mulai mendorong dirinya sendiri untuk menggali dan meneliti dari mana asal perilaku kekerasan seksual yang berkembang di masyarakat. Ia selalu terdorong untuk menemukan hal baru yang luput menjadi perhatian orang lain yang bisa mungkin menjadi pemicu seseorang melakukan kekerasan, khususnya kekerasan seksual.
Dengan tekun ia mengumpulkan dan mengikuti berita-berita kasus kekerasan seksual untuk memperkuat basis datanya tentang perilaku kekerasan seksual dan psikolosi sosial penanganan yang tepat yang tidak saja berdasarkan keilmuan psikologi tapi juga dari berbagai aspek penting dan yang beberapa bahkan tak pernah terpikir oleh orang lain.

Myra juga mulai masuk dengan aktif memberi edukasi pada para pelaku media massa yang dinilainya ikut menjadi kontributor penting pembangunan mental masyarakat secara luas. Ia berpendapat bahwa media yang mencerahkan adalah media yag mampu mengedukasi pembaca/pemirsanya untuk menjadi lebih baik dan berguna, bukan memanjakan dengan memberi hasil akhir yang penuh dengan bentuk kekerasan baik secara langsung maupun terselubung lewat tayangan-tayangan hiburan yang tidak sehat dan tak mendidik.

“Saya melakukan ini untuk lingkungan tumbuh yang lebih baik bagi anak-anak saya.” Myra menutup kisahnya. “Saya ingin membayar waktu-waktu yang saya buang percuma dengan mengondisikan masa depan yang lebih baik untuk mereka, juga anak-anak lain. Jangan terulang lagi pengalaman buruk yang saya alami pada anak-anak dan pada orang lain.”



Tak terasa malam hampir menyentuh pukul 11. Keasyikan mengikuti cerita Myra membuat saya merasa kami baru saja bertemu. Saya menemukan bentuk lain inspirasi. 

Bayangkan, dari sebuah pelatihan tentang kekerasan seksual saya mengerti bahwa gejala yang lekat pada penyintas kekerasan seksual adalah efek kekerasan terburuk dari bentuk kekerasan terburuk yang mereka alami dari bentuk kekerasan lain. Begitu panjang akibat dan dampak kerusakan mental yang ditimbulkan taruma ini hingga bisa dibayangkan apa ayang telah dilewati Myra selama ini. Saya tak pernah membayangkan ada orang yang berhasil melewati hidup seberat itu.

Yang paling memilukan adalah pengakuannya bahwa dalam proses perjuangannya melewati masa-masa terberat yang paling menyakitkannya adalah saat anak-anaknya harus menahan lapar dan tidak bersekolah selama beberapa bulan karena mereka begitu miskin setelah Myra ditelantarkan bersama anak-anaknya oleh mantan suaminya selama beberapa bulan setelah perceraiannya. Tapi ketabahannya mampu membawa mereka melewatinya dan untuk itu Mrya sangat bersyukur.

Tak banyak orang diberi kekuatan seperti itu. Impunitas negara dan sebagian besar dari kita kadang mematikan dan menamfikan orang-orang di luar sana yang berjuang melawan masa getirnya melewati trauma kekerasan seksual. Sikap dan pemikiran bahwa kekerasan seksual semata adalah persoalan hubungan seksual membuat persoalan serius ini tak pernah ditempatkan di tempat yang sesungguhnya, yaitu sebagai fenomena kejahatan kemanusiaan yang serius serta membutuhkan penanganan yang komperhensif dan secara terus-menerus.
Kerja sama banyak pihak sangat diperlukan untuk mendorong angka kasus kekerasan seksual mengecil, diantaranya seperti yang dilakukan Myra dengan tanpa lelah menjadi partner media dalam mengedukasi masyarakat tentang akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan kekerasan seksual baik yang di tanggung oleh korban maupun oleh masyarakat yang masih harus dibangun kedasaran dan kepeduliannya bahwa siapa pun dengan latar belakang apapun bisa menjadi pelaku dan korban kekerasan seksual.

Data Komnas Perempuan menunjukkan dalam sehari terjadirata-rata minimal 10 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan. Bayangkan bila kita turut memasukkan data para korban yang engan melaporkan kasusnya karena berbagai sebab dan alasan.




Di seluruh dunia telah terjadi kekerasan seksual lintas gender dan umur. Memasuki bulan Desember tahun lewat bayi laki-laki yang baru berumur 1 bulan di Kent, Inggris menjadi korban pemerkosaan brutal orang dewasa. Indonesia sendiri mencatat korban pemerkosaan termuda berumur 8 bulan di sebuah dusun nelayan di Bantaeng Sulawesi Selatan. Sementara korban pemerkosaan tertua menurut informasi dari seorang kawan aktivis perempuan yang datanya masih butuh verifikasi lanjutan adalah nenek berumur 85 tahun. Ini indikasi kuat bahwa kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa pun tanpa peduli apapun penampilan korban saat kejahatan kekerasan seksual terjadi. Belum lagi nasib para tenaga kerja Indonesia perempuan yang harus pergi menjadi tulang punggung keluarga atau tertipu iming-iming pendapatan besar yang berujung menjadi korban kekerasan seksual yang tak jarang merengut nyawa mereka juga.
Fasilitas transportasi umum juga mulai jadi teror tersendiri dengan meningkatnya kejadian kekerasan seksual baik pemerkosaan maupun perbuatan cabul di angkot beberapa bulan terakhir ini. Korbannya mulai dari anak sekolah hingga perempuan setengah baya penjual sayur. Bahkan ada korban tewas. Dan ini tentu bukan bahan lelucon seperti yang dilakukan seorang komedian dan presenter saat melawak di sebuah tayangan langsung perayaan ulang tahun grup televisi swasta beberpa minggu lalu.
Lawakannya tentang pemerkosaan di angkot yang lalu mengundang banyak protes dari para korban kekerasan seksual dan masyarakat luas ini simbol masih kurangnya kepedulian banyak pihak terhadap persoalan kekerasan seksual di tanah air. Renggut paksa harga diri, martabat dan masa depan seorang yang bila hidup pun harus mengalami trauma seumur hidup, masih dianggap sepele oleh sebagian orang. Menyedihkan dan menggelisahkan.


Mengapa kita perlu tak hanya berhenti pada kasus-kasus kekerasan sekual tertentu dan kasus pelecehan korban dan penyintas seksual oleh seorang komedian ? Karena kekerasan seksual bukan komoditi kasus eksotik musiman, ini kejahatan purba yang tak akan berhenti hanya sampai prihatin dan caci maki marah saja. Untuk benar-benar bisa mengurangi kita harus mulai bergerak dalam kegiatan-kegiatan nyata yang mengupayakan edukasi dan penyebaran informasi secara lebih luas bahwa kekerasan seksual bukan tentang hubungan seksual, tapi bentuk kekerasan terburuk yang pernah ada dalam peradaban umat manusia. Bentuk kekerasan yang membunuh sebagian besar hidup korbannya, dan meninggalkan stigma menyedihkan yang sering lebih memojokkan korban dari pada pelaku.
Mari hentikan kekerasan seksual dan bergiat mendorong perubahan menuju masa depan dengan lingkungan yang lebih aman. Menjadi lebih peduli berarti ikut mendorong dan menciptakan kondisi yang lebih aman, tak hanya bagi perempuan tapi juga bagi semua.  

No comments:

Post a Comment