18 November 2012

Bincang Publik Keragaman dan Agama - Lembaga Bhinneka


Kamis pagi, 15 November 2012. Setelah sukses menemukan  alamat Reading Room Jakarta dengan hanya satu kali bertanya, saya turun dari taksi disambut sinar matahari yang mulai tak ramah. Waktu menunjukkan hampir  pukul   10.00 WIB.
Perputustakaan sekaligus toko buku dengan konsep unik dan menarik ini lebih sederhana dari yang saya bayangkan sebelumnya. Mungkin peraturan waralaba mengharuskannya demikian, karena hasil pencarian saya mendapati ada beberapa di negara lain, dengan nama yang sama. Hanya ekor namanya yang berbeda, mengikuti lokasi kota di mana tempat seperti  ini berdiri.
Reading Room Jakarta memiliki dua pintu masuk untuk mengakses ruang yang sama. Di teras saya bertemu dua kawan lain yang sudah lebih dulu datang dan mengeluhkan pilihan berbusana saya yang terlalu formal. Tentu saja.  Saya tak diberi tahu kalau keharusan berbusana batik seperti yang sehari sebelumnya diinformasikan, bisa dalam penampilan yang lebih santai.
Tak lama kemudian satu-persatu kawan mulai berdatangan dan kami mulai tepat waktu. Dibuka lantunan lagu dan beberapa sambutan cair oleh ketua pelaksana kegiatan, Bondan, dan pendiri Lembaga Bhinneka, Soe Tjen Marching, acara bincang publik terasa lebih santai. Ini baik untuk mereduksi kesan topik yang pasti dinilai berat oleh hampir semua yang hadir.

Dipandu moderator Difa, sesi pertama dimulai. Soe Tjen Marching memperbincangkan pengertian-pengertian menyangkut keagamaan dan respon psiko-sosial. Blasphemy1) dan hate speech2) dibahas sebagai bagian penting dari topik awal mengingat di grup Facebook tempat Lembaga Bhinneka berinteraksi dengan anggota-anggotanya, kedua hal ini sangat sering dibahas dan terjadi.
Diangkat juga soal bagaimana memaknai Tuhan sabagai bagian yang hidup atau mati sesuai konsep yang diyakini dan juga yang tidak diyakini.  Pada dasarnya,  pembuktian tentang keberadaan segala sesuatu adalah hal substantif dan ini yang dinilai pembicara penting untuk dipahami.

Pembicara kedua, Rocky Gerung, mengangkat persoalan bagaimana manusia memandang dan mengikatkan diri pada konsep Tuhan sesuai pengalaman batin dan pemikirannya.
Dikatakan,  keyakinan yang hanya dikuatkan oleh keimanan tanpa keinginan terus mencari kebenaran lewat wawasan lain selain wawasan agama, akan membunuh keingintahuan dan menumpulkan usaha pengejaran ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan keagamaan dan ketuhanan. “Fanatisme membunuh curiousity”, demikian katanya.
Pembicara ketiga, Musdah Mulia tak kalah menarik. Mengangkat persoalan intoleransi dalam kesehariannya sebagai bagian dari sivitas akademika dan intelektual berbasis komunitas agama, mendorong kesadaran besar dalam dirinya untuk terus mengembangkan pola pengajaran pro-toleransi keberagaman.
Ia juga menyatakan kegembiraannya berada dalam komunitas Lembaga Bhinneka yang dinilainya memberi ruang yang luas bagi keragaman. Sesuatu yang belum pernah ditemuinya dalam jumlah penggerak dan anggota yang cukup besar.


Setelah berbincang dengan tiga pembicara, acara diskusi  jeda  sejenak untuk menikmati penampilan stand up comedy3) yang dibawakan oleh Maldi. Comedian muda yang habis-habisan mengritisi keberadaan Tuhan dan persoalan seksualitas yang masih secara umum dianggap tabu. Semua orang diajak menertawai dirinya sendiri lewat komedi satir.
Setelah penampilan Maldi. Semua beranjak untuk makan siang. Sambil menikmati makan siang, hiburan lagu-lagu dilantunkan oleh beberapa kawan. Sangat menyenangkan. Dilengkapi penampilan stand up comedy kedua oleh Lionky Tan yang  lagi-lagi dengan getir tapi lucu mengangkat persoalan rasial di Indonesia. Nampaknya Lembaga Bhinneka memiliki  referansi cukup lumayan unuk komedian yang cukup mengerti  isu yang diusung Lembaga Bhinneka.

Usai istirahat, Achmad Nurcholis menjadi pembicara terakhir yang mengangkat persoalan pernikahan beda agama berikut segala macam masalah turunan seperti pengasuhan anak sampai ke masalah perceraian.

Pada umumnya seluruh pembicara direspon peserta dengan cukup aktif. Ini dibuktikan dengan banyaknya pertanyaan dan tanggapan. Tak hany itu, penyelenggara juga menerima respon pesan singkat lewat nomor yang sudah disosialisasikan sepanjang acara.
Tak sedikit yang berharap agar kegiatan serupa diadakan secara rutin dengan tema yang berbeda. Pesan singkat yang diterima juga termasuk sekitar dua atau tiga pesan kritik yang walau terkesan negatif namun menjadi perhatian penting pendiri dan penggerak Lembaga Bhinneka.

Tidak terasa waktu beranjak cepat. Memasuki pukul enam petang, acara usai. Semua merasa lega dan bergembira karena acara ini dianggap sukses untuk ukuran kegiatan yang baru pertama kali diadakan. Seluruh panitia, penggerak dan anggota Lembaga Bhinneka merasa puas.
Keseluruhannya adalah hasil kerja sama dan buah manis dinamika komunitas yang paham bagaimana wawasan yang terus dikembangkan akan mendorong perubahan cara berpikir dan bersikap. Sebuah bekal penting upaya menghargai perbedaan yang merupakan kekayaan, demi kebaikan dan peradaban masa depan.


Keterangan beberapa istilah asing:

1.       Blasphemy             : Penghujatan terhadap Tuhan, agama dan hal-hal lain lain yang dianggap suci

2.       Hate speech          : Ungkapan kebencian dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, kecacatan, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain, yang berpotensi kuat mendorong terjadinya kekerasan dalam segala bentuk.

3.       Stand up comedy : seni komedi atau melawak yang disampaikan secara monolog kepada penonton.