15 September 2011

Break Trough The Silence



Keadilan Untuk Perempuan Penyintas
(dari KBR68H-SAGA oleh Mellie Chintya, 15 September 2011)

KBR68H - Setiap hari, 30 perempuan dan anak perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan seksual. Data Komnas Perempuan melansir, dalam 3 tahun terakhir ada lebih dari 90.000 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan. Kebanyakan pelaku adalah keluarga terdekat. Sementara korban dipandang sebagai aib, dan akhirnya memilih bungkam, selamanya. Mereka yang bertahan dari kekerasan seksual atau biasa disebut penyintas, memilih bangkit dan membentuk Komunitas Lentera Indonesia. Mereka saling berbagi cerita serta memulihkan diri dari trauma masa lalu. Kepada Reporter KBR68H, Mellie Cynthia para penyintas mengisahkan mimpi buruk mereka. Nama para penyintas ini disamarkan demi kerahasiaan identitas.

Mimpi Buruk Itu Datang

“Nama saya Eklesia. Usia 38 tahun. Saya penulis lepas sebuah media online. Saya penyintas kekerasan seksual di masa kanak-kanak… Waktu itu diminta nenek kandung saya untuk buka baju dalam, celana buka mau diperiksa keperawanan. Disuruh baring, waktu itu saya pikir itu benar, karena beliau pemuka agama, tes keperawanan bagian dari tugasnya dia. Itu dilakukan selama bertahun-tahun, dari 8 sampai 11 tahun. Yang setelah saya besar saya tahu itu ‘fingering’, mungkin ini tidak enak terdengar tapi jarinya benar-benar masuk ke vagina saya. Saya sudah merasa tidak nyaman, mulai 10-11 tahun saya mulai merasa itu salah tapi tidak berani.”


Eklesia menghabiskan masa kecilnya di Balikpapan, Kalimantan Timur. Keluarganya adalah pendatang dari Manado, Sulawesi Utara. Sejak kecil, ia tinggal bersama kakek dan neneknya. Eklesia bercerita, neneknya adalah figur dominan yang disegani bahkan ditakuti keluarga dan masyarakat sekitar.

“Kalau dia marah, dia pasti melampiaskan ke saya, kalau marah saya disuruh buka baju, telanjang bulat, dipukuli sekitar 5 menitan, dia tidak akan berhenti memukul kalau belum ada tanda. Setelah itu saya dikunci di teras setengah jam. Rumah nenek saya kan termasuk di jalan besar, pasti orang lewat lihat, dan kayaknya nenek saya kelihatan puas.”

Eklesia mencoba memberitahu keluarganya yang lain mengenai perilaku sang nenek. Namun, apa daya, ibunya sendiri pun menganggap itu hanya celotehan anak kecil belaka.

“Saya pernah coba cerita, saya ingat sekali reaksi mereka: Hush, kok anak kecil ngomong begitu, lalu saya juga coba gambar komik, tuan puteri dikejar-kejar pangeran mau diperkosa, saya mau mengekspresikan (perasaan), sebenarnya tidak masuk akal anak kecil dituduh mesum ya, saya tidak bisa terima waktu kecil tapi tidak bisa bicara apa-apa, karena anggota keluarga saja tidak percaya, bagaimana kita mau cerita ke orang lain di luar keluarga.”

Itu bukan kali pertama Eklesia mengalami kekerasan seksual. Saat usia 5 tahun, ia pernah diperkosa oleh tetangganya laki-laki berusia 18 tahun. Kala itu, ia masih terlalu kecil untuk mengerti, permainan yang mereka lakukan bukanlah permainan laiknya antar anak-anak. Setelah ia cukup besar, baru ia sadar, si tetangga ternyata telah menggagahinya. Ia pernah memberi tahu keluarganya soal pemerkosaan yang dilakukan tetangganya. Namun, lagi-lagi ia cuma dianggap anak kecil yang mereka-reka cerita.


Eklesia adalah salah satu perempuan penyintas di Lentera Indonesia. Komunitas yang baru dibentuk Mei lalu ini bertujuan untuk memberikan tempat bagi para penyintas memulihkan diri dari trauma akibat kekerasan seksual. Anggotanya baru 10 penyintas. Belum ada markas tetap bagi komunitas ini untuk berkumpul.

Biasanya pertemuan dilakukan dengan ‘meminjam’ ruangan kelas di sebuah universitas di Jakarta Selatan. Di sini mereka dapat bercerita kisah kelam masa lalu tanpa beban. Tanpa takut dihakimi.

Giliran penyintas lainnya bercerita.

“Nama saya Rana, usia 30 tahun, pekerjaan saya sekretaris.”

Rana pertama kali mengalami kekerasan seksual kala kelas 4 SD.

“Menurut saya yang terjadi sudah seperti merampas harga diri saya sebagai manusia, sebagai anak yang saat itu memerlukan perlindungan… Saya tidak ingat bagaimana awalnya, yang bisa saya ingat, setiap malam papa tiri saya masuk ke kamar, buka celana saya, meraba-raba, saya tidak mengerti itu apa, saya juga tidak mengerti bagaimana harusnya hubungan anak dengan ayahnya, karena ibu saya dan papa almarhum berpisah saat saya masih kecil… Saya juga pernah bibir saya dicium sampai berdarah. Yang jelas saya cuma bisa cium bau rokok dan itu buat saya benci sama rokok sampai saat ini.”

Pelecehan oleh ayah tiri membuat hidup Rana dibayangi ketakutan.

“Saya cuma bisa nangis saja. Kejadiannya berulang sampai kelas 3 SMP, saya baru mengerti kalau itu salah, dengar cerita teman yang sudah punya pacar, saya tahu kalau itu bukan perlakuan normal dalam hubungan ayah dan anak. Sejak itu, saya mulai bawa benda tajam seperti gunting, pisau di bawah bantal, pintu selalu saya kunci, kalau ada yang ketok saya tanya dulu siapa.”

Selang beberapa tahun, ayah tirinya pergi ke luar negeri. Keadaan perlahan membaik untuk Rana. Ia menjalani kuliah dan menjalin asmara dengan lawan jenis. Namun, keceriaan itu tidak berlangsung lama.

“Waktu itu saya sudah kuliah, ibu saya berseri-seri bilang ‘Papa mau pulang’, sejak itu saya merasa dunia runtuh dan hidup saya hancur lagi, saya langsung buat surat panjang untuk ibu, saya putuskan tinggalkan rumah, saya beri pilihan, apakah akan memilih saya atau suaminya, saya tulis semua perlakuannya, saya tulis bagaimana saya melalui hidup saya selama ada dia di rumah. Surat saya tidak dijawab, ibu saya tidak mencari saya.“


Keluarga yang seharusnya menjadi benteng perlindungan utama bagi anak, ternyata malah melukai harga diri Rana. Ibunya tidak pernah mau mengakui kebenaran bahwa buah hatinya telah dilecehkan si ayah tiri. Ia diam seribu bahasa kala Rana menuntut pengakuan dan tanggung jawab. Saat ini, Rana telah memutuskan hubungan dengan ayah tirinya.

Saat kekerasan seksual terjadi, korban perempuan kerap dicap sebagai pihak yang bersalah dan kehilangan haknya untuk membela diri. Karena itu, sejumlah perempuan sepakat memutus mata rantai kekerasan dengan membentuk Lentera Indonesia. Dipicu pula oleh kekesalan terhadap serangkaian lelucon yang mendiskriminasikan korban kekerasan seksual. Salah satu pendiri Lentera Indonesia, Wulan Danoekoesoemo.

“Rasanya kesal sekali, ternyata buat sebagian masyarakat, kekerasan seksual masih bisa menjadi suatu bahan bercandaan. Ada publik figur seorang dokter spesialis kandungan, (yang notabene) sangat dekat dengan perempuan, melemparkan lelucon ‘Hidup itu seperti diperkosa, kalau tidak bisa melawan ya nikmati saja’… Sejak kapan ada konsep ‘perkosa’ dan ‘nikmat’, itu buat kita pemahaman yang sangat salah. Intinya perkosaan bukan sekedar penetrasi, tapi lebih masalah emosional daripada masalah fisik.”

Seksualitas adalah hal tabu bagi sebagian masyarakat Indonesia. Di Lentera, para penyintas menemukan ruang untuk melepaskan segala tekanan jiwa akibat trauma kekerasan seksual di masa lalu. Salah satunya lewat bercerita, lanjut Wulan.

“Karena setiap kali bercerita rasa sakit berkurang. Salah satu yang kita bagi di lingkaran adalah kekuatan, ketika ada orang bercerita dan menangis, kita diam saja dan tunggu sampai selesai, setelah itu merasa lega, dan bilang ‘thank you for listening’, ternyata banyak orang cuma ingin didengar, karena selama ini dia tidak tahu, apakah kalau dia bercerita orang akan mau mendengar tanpa menghakimi.”

Hampir semua penyintas di Komunitas Lentera mengalami kekerasan seksual pada masa kecil. Pelaku jarang diseret ke meja hijau, apalagi diganjar hukuman. Ini karena sebagian besar kasus kekerasan seksual berada di ranah personal, yakni keluarga.

Apakah hukum bisa ditegakkan untuk menghapus kekerasan seksual anak di Indonesia? Supaya ada jera untuk pelaku dan keadilan untuk korban.

Hukum Tak Berpihak Pada Korban

Pada 2002, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Perlindungan Anak. Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati mengatakan, ini adalah terobosan hukum untuk melengkapi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga siapa pun pelaku kekerasan seksual terhadap anak dapat dijerat hukuman maksimal.


“Meski dia anak-anak, harus dilindungi, bahkan ancaman hukuman tinggi. Pelaku kan selalu bilang, suka sama suka, nah untuk anak-anak kan tidak ada suka sama suka, kalau di KUHP ada ketimpangan relasi, sudah pidana. Kekerasan seksual terhadap anak atau adik kita sendiri, itu sudah tindak pidana.”

Namun, kasus tak berlanjut ke pengadilan karena kerap diselesaikan di dalam keluarga, lanjut Sri.


“Biasanya kalau ada ketimpangan relasi, akan diselesaikan secara kekeluargaan, misalnya ayah tiri dengan anaknya, yang sebenarnya ini delik laporan, meskipun ada upaya perdamaian dan ganti rugi, seharusnya pidana tetap jalan.”

Data Polda Metro Jaya melansir, tahun ini ada sekitar 15 pengaduan kekerasan seksual terhadap anak. Semua pengaduan itu menyatakan, anak dibujuk rayu untuk melakukan hubungan seksual dengan pelaku. Pelaku kadang lolos dari jeratan hukuman karena tidak adanya bukti visum yang menunjukkan korban telah mengalami kekerasan seksual.

Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polda Metro Jaya, Rukaning mengatakan, keluarga korban perlu segera melapor agar bukti tidak hilang.

“Dalam pelecehan seksual, perlu visum et repertum, itu jadi alat bukti, seandainya kejadian sudah lama, mungkin lukanya sudah sembuh, kalau masih ada, air mani dalam kemaluannya itu bisa diperiksa dokter, untuk menentukan oo ini air mani si A, si B. Sulit untuk melakukan penyelidikan kalau tidak ada alat bukti, karena dari alat bukti itulah polisi bisa menentukan.”

Dari 15 pengaduan yang diterima Polda Metro Jaya, hampir 50 persen tengah ditangani Kejaksaan dan akan disidangkan dalam waktu dekat. Sementara sisanya masih diproses polisi.

Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati mengatakan, aparat penegak hukum seharusnya tidak mendewakan visum sebagai satu-satunya alat bukti kunci. Semua alat bukti bisa dipertimbangkan, termasuk keterangan saksi korban dan saksi ahli untuk menjerat pelaku.


“Ada kasus, guru ngaji pakai jari, keterangan saksi jelas, si anak juga jelas menunjuk pelaku, digunakan pemeriksaan secara psikologis, petunjuk ahli, hakim pakai itu. Ahli menyatakan, dari hasil pemeriksaan memiliki 2 kepribadian, di dalam penuh amarah, dendam, di luar sangat baik, dicocokkan keterangan anak dan orang di sekitar, ada lecet dan merah-merah, dan hasil visum. Tiga alat bukti dipakai semua. Saksi korban dan keluarga, bukti petunjuk termasuk saksi ahli dan visum. Jadi tidak konvensional, harus visum. Karena kalau dilihat dari hasil visum, tidak ada robekan, cuma lecet, dan itu cukup menghukum pelaku dengan pasal pencabulan.”

Masyarakat juga bisa membantu. Termasuk anggota keluarga, dengan menjadi saksi. Supaya tidak ada pembungkaman kasus dan memastikan ada hukuman bagi pelaku. Sri Nurherwati.

“Kalau ada pelaku yang menunjukkan potensi kekerasan seksual, masyarakat harus tanggap dan jangan dibiarkan saja. Hukum pidana itu menyebutkan, menjadi saksi adalah kewajiban, kalau dia menolak sebagai saksi, dia bisa dipaksa, kalau dia memberikan keterangan yang perspektifnya belum melindungi korban, pelakunya ini adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, atau kepala keluarga, dikenal masyarakat baik, sehingga masyarakat tidak bersedia.”

Bagi korban, hukuman pidana selama apa pun tidak akan pernah cukup mengobati luka. Dampak psikologis akibat kekerasan seksual bisa terus berlanjut hingga puluhan tahun, menghantui korban.

Eklesia, korban kekerasan seksual dari tetangga dan neneknya, mengaku sempat mengalami ketergantungan seks.

“Saya mengerti itu menjadi ketergantungan setelah terapi tahun 2006, itu (seks) satu-satunya cara saya bisa dapat perhatian, penilaian saya terhadap orang yang sayang sama saya selalu itu. Karena kejadiannya dulu orang dalam rumah, dan selalu setiap kejadian itu saya selalu disayang sekali, apa pun yang saya minta selalu dikasih.”

Eklesia kecanduan seks, dan emosinya pun labil. Dua hal itu menyebabkan pernikahannya kandas.

Jika Eklesia kecanduan seks, maka Rana sebaliknya. Gadis yang mengalami pelecehan dari ayah tirinya itu tumbuh menjadi perempuan dewasa yang membenci seks.

“Meski masalah ini sudah lama, tapi mengganggu fungsi sosial, saya pernah menikah 3 tahun, akhirnya saya bercerai karena saya mempunyai disfungsi seksual, saya tidak menyukai seks, saya benci seks, menurut saya seks itu adalah salah satu pemicu yang membuat orang melakukan hal-hal buruk terhadap orang lain.”

Proses pemulihan bisa memakan waktu sangat panjang. Bagi Eklesia, Rana dan perempuan penyintas lainnya, hidup terlalu berharga untuk diisi kebencian dan dendam terhadap pelaku. Mereka hanya ingin kisah mereka diakui, setidaknya di lingkup keluarga. Ini penting agar korban mendapat keadilan dan pelaku dapat diganjar hukuman.

Saat ini, Eklesia dan Rana berupaya membantu sesama penyintas. Bersama bangkit dan melangkah kembali.

“Kita tidak merasa sendirian, dulu kan rasanya kayak orang aneh, ada tidak sih di sana orang yang kayak begini, kita merasa ada teman dengan pengalaman yang sama kita saling dukung.”

“Untuk penyintas di luar sana yang suaranya tidak pernah didengar atau merasa takut untuk mengalami masalah seperti saya, perpecahan dengan keluarga, Lentera ada untuk kita, supaya kita tidak lagi menangis sendiri.

07 September 2011

TAKUT

(pukul 9.30 wib)

Beberapa saat lagi saya akan bergabung bersama beberapa kawan memenuhi undangan wawancara sebuah radio nasional. Saya hadir sebagai salah satu penyintas kekerasan seksual masa kanak-kanak. Konfirmasi kesediaan saya sudah saya sampaikan beberapa hari lalu.

Belakangan, selama 3 hari belakangan ini saya disergap gelisah yang tak jelas asalnya. Saya sulit makan dan tak dapat tidur sama sekali. Jantung saya terus berdebar kencang seperti derap lari gerombolan kuda. Langit pagi dan senja di mata saya terus berganti-ganti warna dengan hujan kelopak-kelopak berbagai bunga. Malam hari nafas saya terus sesak hingga menjelang pagi.

Konyol sekali ketika saya sadar ini adalah reaksi kecemasan. Tidak sekadar cemas, tapi takut. Ya, saya takut.

Saya takut menangis dan terdengar cengeng saat memaparkan ulang petikan sejarah kanak-kanak yang selama ini saya simpan bersama seluruh perjalanan hidup. Menuturkan secara verbal tentu akan sangat berbeda dengan menuliskannya dan wawancara nanti bukan bincang berasama di grup kecil seperti biasanya. Bukan curhat tertutup dengan orang terdekat. Saya sadar ini akan didengar oleh banyak orang.


(pukul 14.04 wib)

Ya, saya memang takut. Tapi dengan menyadari bahwa saya takut maka “asli' saya keluar : SELALU MELAWAN. Makin besar rasa takut menekan, makin keras saya melawannya. Sama seperti saya telah melawan banyak hal yang membuat saya tiba di titik sekarang ini.

Takut pernah gagal membunuh saya dan membuat saya lebih kuat. Saya tak malu mengakui bahwa saya takut, karena sebagian besar keberanian saya dimulai dari rasa takut.

Kami Hanya Suka Tertawa Sekencang-kencangnya

-Untuk AW yang kujuluki Beton dan memanggilku Semen-


Benarkah malaikat ada ? Bagi saya hampir seperti dongeng. Hampir seumur hidup saya tidak pernah menemukan bukti bahwa malaikat ada. Tidak sampai saya benar-benar mendengar tawa saya sendiri yang begitu kerasnya dan bukan tawa pura-pura.
Saat berada di tengah keramaian menghadiri acara bersama kawan-kawan saya sering tertawa, bersahut-sahutan dengan kelakar keroyokan. Tapi membuat saya tertawa di tengah kondisi nadir, nyaris putus asa dan amarah ? Hanya seorang teman dengan ketulusan melebihi ketulusan air mata yang jatuh tanpa berharap bisa kembali yang bisa melakukannya.



Awang (bukan nama sebenarnya) saya kenal dari lingkungan gereja tempat saya beribadah hampir setiap Minggu. Saya keberatan dibilang Kristen tapi karena meditasi mingguan ini saya lakukan di gereja yang bagi saya adalah cara tercocok mencapai relaksasi spiritual, maka dengan bersungut-sungut dalam hati, saya hanya tersenyum pasrah bila dituduh Kristen.

Awang adalah pengerja di kebaktian ke-6 setiap minggunya. Sosoknya dengan tinggi di atas rata-rata orang Indonesia, dengan wajah khas oriental tapi dengan kelebihan mata yang lebih bundar membuatmya sangat tampan. Mustahil ada perempuan yang tak memperhatikan kehadirannya. Saya juga.

Saya anggap itu bonus lucu-lucuan saja, tak pernah terbersit keinginan kenal lebih jauh atau ingin tahu. Dia hanya sepotong kebaikan hidup yang tak punya pengaruh apa-apa. Saat meninggalkan kebaktian pukul 18.00 wib, satu lantai di bawahnya, di food court sebuah mal yang paling membuat macet sepanjang jalan Prof. Satrio, bertebaran laki-laki muda menarik. Bisa ditemukan dimana pun. Tak ada yang istimewa membicarakan laki-laki tampan di Jakarta. Ada dimana-mana.

Saya bahkan tidak pernah ingat kenapa Awang ada di dua akun facebook saya. Mungkin saling menambahkan sebagai teman itu terjadi saat saya ikut berpartisipasi ikut menjadi anggota paduan suara kebaktian kebangunan rohani Natal gereja tersebut dua tahun lalu.


Singkat cerita oleh seorang pengerja gereja yang saya kenal saat dipaksa menjadi pemandu lagu rutin di kebaktian para karyawan dan profesional setiap Jumat siang, saya menerima undangan bergabung di sebuah grup blackberry yang berisi pengerja gereja tersebut. Tapi terus terang karena segan menolak saja. Saya sudah berpikir akan meninggalkan grup tersebut setelah beberapa waktu.
Ternyata Awang juga ada di daftar anggota grup tersebut. Dan perkiraanku karena kami memang sudah terkoneksi di facebook dan ada dalam satu grup yang sama, ia berinisiatif menambahkan saya sebagai kontak blackberry'nya. Tak ada masalah.


Beberapa bulan setelah itu saya menerima broadcast message (pesan ke semua kontak) dari Awang. Promosi obat herbal yang dijamin asli tapi dengan harga lumayan murah. Kontak pertama kami adalah tanya jawab soal obat tersebut.
Lagi-lagi saya lupa bagaimana awalnya kami bisa saling berkirim pesan dengan isi percakapan yang lebih santai. Awalnya saya agak terganggu kebiasaannya mengakhiri setiap pesan dengan “hehehe” yang di”auto-text”kan dengan lambang yang menurut saya sangat kekanak-kanakan dan menjengkelkan. Dari kebiasaannya itu saya jadi bisa memperkirakan umurnya. Pasti belum menyentuh angka tiga puluh. Padahal saya mengira dia sudah berumur antara 35 hingga 38 tahun. Tanpa bermaksud mengatakan Awang berwajah “boros”, mungkin karena saya selalu melihatnya dengan setelan jas komplit setiap ia bertugas Hari Minggu maka saya berkesimpulan seperti itu.


Saling berkirim pesan membuat kami bertambah akrab. Aneh, kami seperti sudah berteman bertahun-tahun lamanya. Awang ternyata sangat lucu dan periang. Kelebihan fisik dan umur yang sangat muda tak membuatnya merasa risih berteman dengan perempuan yang jauh lebih tua dengan status ibu tunggal. Dia ringan tangan membantu apa yang bisa dibantunya termasuk tak sungkan-sungkan ikut membantu menjadi pemandu lagu saat saya mengatakan bahwa kami kekurangan pemandu lagu di suatu Jumat siang..
Saya tak merasa harus menjadi orang lain saat berinteraksi dengannya. Kami bisa tiba-tiba bersikap seperti anak-anak yang sedang bermain-main dan sesaat kemudian selayaknya dua orang dewasa yang berdiskusi soal apa saja.
Yang paling membuat saya nyaman, Awang tulus sebagai teman. Tak pernah sedikit pun ia memperlihatkan sikap yang dia tahu akan membuat saya tak nyaman karena merasa dia punya maksud atau perasaan tertentu terhadap saya yang melebihi relasi pertemanan. SANGAT LANGKA !

Awang ternyata cerewet dan suka ngobrol. Tapi ia tidak terlalu tertarik dunia gerakan sosial dan politik yang saya senang cermati. Tapi dengan seksama ia mendengarkan saat saya membicarakan hal-hal yang tak disukainya itu. Ia adalah pendengar yang baik. Sesekali Awang menyelipkan lelucuan.

Ada saat Awang mencurahkan kekesalan, kesedihan dan kekecewaan yang dialaminya. Atau apa yang olehnya disebut pengakuan memalukan, yang tak mungkin diutarakannya pada teman lain yang kebanyakan sebaya atau pada teman dari dari lingkungan gereja tempatnya selama ini berkegiatan.
Pada saya, ia bebas mengutarakan apa saja tanpa pernah merasa dihakimi atau dinilai tak pantas. Demikian pula sebaliknya.



Suatu saat saya sedang dalam keadaan sangat tertekan. Ketegangan, kesedihan dan rasa marah membuat kondisi fisik turun drastis. Saat itu saya sedang sendirian. Anak-anak sedang berlibur ke luar kota. Orang-orang terdekat yang paling saya harapkan sedang tidak dalam situasi bisa mendampingi saya. Migren menyiksa saya berhari-hari, tidak biasanya. Sakit luar biasa. Sedemikian sakitnya saya sampai-sampai terduduk menggantung di antara tempat tidur dan lantai, merintih menahan sakit. Tak berselera makan karena migren dalam waktu yang lama membuat saya mual.
(saya terhenti sejenak untuk menuliskan bagian ini...)
Adalah Awang, dengan pesan-pesannya terus menguatkan. Bukan dengan pesan-pesan sok perhatian dan berlebihan. Tapi dengan canda-canda yang walau saya harus tertawa sambil menahan sakit sungguh seperti tangan yang menggenggam erat. Sebuah dukungan yang ditunjukkannya selama saya bergumul dengan sakit dan pikiran-pikiran buruk. Awang waktu itu belum tahu kalau saya mengidap bipolar, yang salah satu gejalanya adalah depresi yang dalam batas kekuatan tertentu bisa secara tidak sadar mendorong pengidapnya berpikir untuk bunuh diri.
Yang dilakukan Awang hanya membanyol. Tapi yang luar biasa, entah apa yang dikorbankannya, ia tetap terus menjaga komunikasi dan tak membiarkan saya tak menjawabnya. Ia gunakan cara yang sederhana untuk tetap membuat saya tidak fokus pada penderitaan saya saat itu, api pada kelakar-kelakarnya. Tebak-tebakan plesetan yang menyebalkan saat itu adalah cara Awang menemani. Bukan dengan kata-kata menghibur manis yang berlebihan tapi dengan olok-olok canda dan saling mencela yang membuat kami tertawa terbahak-bahak. Dilakukannya hingga kami lelah oleh tawa dan hampir dini hari terlelap.

Keesokan harinya ia harus mengikuti wawancara perekrutan karyawan. Mengetahui ia tak dapat menemani sepenuhnya, Awang mengirimkan tautan lagu yang liriknya sangat saya sukai. Lagu yang sangat menguatkan dan menenangkan.

“Kamu dengerinnya fokus ya, sambil doa....” demikian pesannya.
Saat itu saya benar-benar sedang merasa sendirian. Dan Awang benar, mendengarkan lagu itu membuat saya tenang. Sebuah lagu tentang seorang penyelamat yang mencurahkan dan memberikan segalanya pada orang yang ia sangat kasihi, di atas segala-galanya.

Saya bukan orang relijius. Saya mendengarkan lagu itu dengan seksama tapi tidak berdoa. Pada siapa saya harus alamatkan doa saya ? Awang tahu saya orang yang sangat logis, yang segala sesuatunya saya kaji dengan logika dan ilmu pengetahuan. Yang saat ia memperbincangkan mujizat Yesus memberi makan 5000 orang saya malah membahas soal tak mungkinnya ada 5000 orang laki-laki belum termasuk perempuan dan anak-anak berkumpul di suatu tempat hanya untuk mendengarkan pengajaran seorang rabi baru tanpa dibubarkan tentara Romawi yang saat itu berkuasa.

Kali ini berbeda, Awang tahu saya tidak dalam kondisi mampu memperdebatkan apa-apa. Saya hanya butuh sebuah cahaya kecil bagi jiwa yang sedang selamanya malam.
Lagu itu, membuat saya sesenggukan, melepas kemarahan dan duka. Tak merubah saya jadi relijius, tapi menguatkan saya. Lagi-lagi saya merasa tangan saya digenggam. Dalam kenadiran saya dibantu berdiri oleh sebuah ketulusan pertemanan yang tak berbasis materi atau kepentingan.


Awang dan saya, kami hanya sama-sama suka tertawa sekencang-kencangnya. Merayakan keberanian mengarungi hidup.

06 September 2011

Crucified

A single tear hung on the cross that hung between earth and sky,
without a chance to speak....


When it dries up and dies, no tomb can raise it again,
even if an angel walked.


It will only be a day of tragedy that will soon disappear from memory
without ever recorded by any holy book

05 September 2011

Menemukan Jalan Pulang : Lingkaran Kekuatan

Catatan pengantar :
Aku berterima kasih pada seorang pendiri grup yang dalam catatan ini aku paparkan. Ia menginspirasiku untuk melakukan segala sesuatu dengan memulainya dari langkah sederhana : membangun lingkaran kecil dukungan demi pemulihan, demi perubahan.

Aku dengan tangan kecil ini, dengan nafas yang singkat ini, ingin sempat melakukan sesuatu.....


                                                                (jeda)


Biar bagaimanapun ini hasil bergaul dengan media sosial. Sekeras apapun argumen tentang berapa banyaknya waktu yang aku gunakan untk bermain-main, demikian kawan baikku menyebut aktivitasku yang dinilainya berlebihan di media sosial.
Dari media sosial aku “menemukan” grup ini. Bukti aku tak sekadar bersenang-senang saja dengan akun-akunku. Walau ia sangsi mengingat aku cukup sering mengeluhkan hal-hal pribadi di time line'ku. So what gitu loh, pembicara publik kaliber internasional saja melakukannya cukup sering kok aku tak boleh melakukannya sesekali, huh !

Soal protes itu aku tak terlalu memikirkannya. Hanya aku yang benar-benar tahu apa yang tengah kuyakini sebagai salah satu bentuk perjuangan, adalah lewat media sosial. Memanfaatkan jumlah koneksi yang ribuan. Membangun kesadaran dan kepedulian dari dunia manapun termasuk dunia maya. Dengan peringkat Indonesia yang rata-rata masuk lima besar pengguna media sosial di dunia, mustahil bila apapun yang disampaikan secara berulang-ulang nggak ada yang nyantol di kepala para pengguna media sosial. Paling tidak mereka tahu. Dari tahu diharapkan beberapa diantaranya akan peduli. Dari yang peduli aku yakin ada yang tergerak dan dari yang tergerak tentu ada yang mewujudkannya dalam gerakan nyata. Aku terus mempercayainya. Tak ada sesuatu yang ditanamkan dengan tekun yang tidak berbuah.

Intinya aku memang keras kepala dan sulit ditundukkan terutama pada apa yang aku yakini benar.

Dari Dari beberapa postingan sebuah grup yang aku temukan di twitter, aku mendapati semacam “jalan pulang”. Memberanikan diri bertanya lebih jauh perihal grup tersebut membawaku ke sebuah perjuangan yang makin mengerucut. Aku menemukan potongan diriku yang aku kira sudah tak akan kutemukan lagi.........


Juni 2011

Jantung berdegup kencang. Sejak turun dari ojek aku tak berhenti menguatkan diri. Setelah masuk pintu oranye sesuai panduan perempuan yang masih berbicara denganku di telepon genggam, aku mendapati tangga menuju lantai atas sesuai yang dikatakannya. Di sana hanya ada 4 orang perempuan yang sedang duduk di lantai keramik putih bersih. Semua terlihat santai. Tidak seperti bayanganku semula, dengan jumlah peserta yang jauh lebih banyak dan tentu lebih menakutkanku. Ini kali pertama aku bergabung dengan sebuah grup berbagi, demikian aku awalnya aku menamai grup ini. Di dalamnya tegak perempuan-perempuan kuat yang berhasil bertahan dari ganasnya sejarah.

Kami survivor kekerasan seksual masa kanak-kanak. Menyebutkan hal ini, butuh banyak keberanian. Keberanian mengaku dan menerima. Keberanian berbagi dan saling menguatkan. Keberanian menyuarakan dan membangun kekuatan unuk mencegah hal yang sama berulang.

Pada pertemuan pertama kami lebih banyak memperbincangkan kasus penculikan dan pemerkosaan yang menimpa bayi perempuan yang baru berumur 8 bulan. Kemarahan tak tertahankan membuat kami bergantian memaki pelakunya dengan berbagai umpatan dan kutukan. Luapan kemarahan yang luar biasa. Meledak dan menyakiti. Sesungguhnya menyakiti diri kami.
Kami menyimpan murka pada para predator seksual yang hanya berani melakukannya pada anak-anak. Yang bagi kami, tak berhasil membangun konsep diri sebagai manusia. Kami sebut mereka, para predator seksual yang melakukan perbuatannya pada anak-anak, BINATANG. Sebutan yang keluar begitu saja karena terdorong emosi sesaat.
Ada rasa ingin menangkap predator ini hidup-hidup dan menyiksanya. Aku juga. Sangat. Para predator ini tak pernah tahu kerusakan apa yang mereka ciptakan di masa si korban tumbuh dewasa.
Padaku, kerusakan itu sedemian parahnya..... It's a long term damages!

Pada kasusku, keinginan itu sudah terkubur dalam-dalam. Sedemikian dalamnya hingga aku hampir-hampir tak mampu menggali kembali meski hanya berbentuk kenangan. Sudah terkubur bersama pelakunya yang sudah beberapa tahun mangkat.
Seorang psikolog dalam grup ini menyebutnya mekanisme hebat otak manusia yang entah bagaimana caranya secara otomatis membuat para survivor melupakan apa yang dialaminya. Sesuatu yang dirasa tak pantas diingat atau terlalu menjijikan untuk menjadi bagian dari ingatan.

Aku percaya tak ada hal yang terjadi secara kebetulan. Di dalam grup ini ada beragam profesi, mulai dari penulis, akademisi, paramedik dan sebagainya. Di pertemuan selanjutnya ada profesional muda, juga jurnalis senior. Bencana ini tak memilih orang tertentu dari bangsa tertentu. Ia merusak, menghantui dan menimbulkan kerusakan besar dalam jangka waktu yang panjang. Dari yang pernah mengalaminya, ia meninggalkan lubang besar dalam dan gelap. Di dalamnya kami pernah berkubang merasa nista dan sendirian, sampai kami bertemu dan saling berpegangan tangan dalam sebuah lingkaran. Saling menguatkan dan memberi ruang. Ruang untuk menghela nafas sedalam-dalamnya, memberi oksigen baru bagi paru-paru jiwa yang kepayahan dimakan rutinitas yang mengubur sedalam-dalamnya kesadaran untuk memulihkan diri dari kenangan-kenangan hitam yang tak pernah kami inginkan terjadi di masa kanak-kanak kami.
Sebagian dari kami masih bermata duka dan luka. Masih mencari jawab atas apa yang telah terjadi dan mengapa harus menimpa kami yang saat mengalaminya adalah tunas mungil yang harusnya dijaga kemurnian dan kepolosannya. Kebeningan mata kanak-kanak yang lalu digelayuti mendung yang hampir abadi. Yang sewaku-waktu menjelma hujan saat potongan-potongan kenangan itu datang tanpa permisi. Melukai berkali-kali.

Setiap dari kami percaya, lingkaran ini adalah lingkaran pemulihan. Setiap seorang dari kami berbagi kisah baru, ia tak lagi menjelma luka, tapi ketegaran. Semakin mengerikan kisah yang kami bagi, semakin kuat kami bergenggaman tangan. It helps, a big help.


                                                              (jeda hening)


Untuk pertama kalinya secara detail aku menceritakan apa yang terjadi pada diriku hampir 33 tahun yang lalu saat sepanjang ingatanku, seorang pemuda, anak ke-3 tetangga sebelah rumah, berumur sekitar 18 hingga 20 tahun saat itu melakukan pelecehan seksual yang merupakan pengalaman awal pembuka ikatan ingatan akan perlakuan tak senonoh lain yang terjadi atas diriku saat umurku masih kanak-kanak. Masa kanak-kanak yang sungguh mengerikan dan menyedihkan.

Memori kecilku mencatat beberapa kejadian mengerikan baik yang langsung aku alami maupun tidak. Tidak langsung berarti aku menyaksikan. Kekerasan dan pelecehan. Tidak di luar rumah, tapi di dalam rumah tempat aku diasuh. Dimana seharusnya aku memperoleh kasih sayang dan perlindungan dari orang-orang dewasa terdekat, yang oleh kita disebut keluarga dalam. Tapi tidak, penghinaan seumur hidup itu justru paling parah aku alami dari orang dewasa terdekat yang mengasuhku saat itu. Bukan laki-laki, tapi perempuan. Ibu dari mamaku yang kupanggil oma. Oma kandungku sendiri!

Malam itu, di pertemuan pertama, dengan hati yang sesungguhnya hancur (lagi) aku membagi kenangan hitam tentang oma yang entah sengaja atau tak sengaja dalam waktu yang cukup panjang telah melakukan yang kini aku pahami sebagai kekerasan seksual padaku. Waktu itu umurku masih sekitar 8 tahun, saat ia memulainya. Hampir setiap saat hingga aku berumur 11 tahun dan sesudahnya terus menyaksikan kerasan demi kekerasan hingga aku berumur sekitar 13 tahun.
Malam itu aku terlalu arogan untuk menangis. Mengakuinya sebagai pengakuan kedua setelah melakukannya pada psikiater bertahun-tahun yang lalu. Sesungguhnya secara detail, baru malam itu aku berani mengakuinya. Di depan survivor lain. Karena di situ aku merasa tak sendirian lagi. Merasa bersama yang lainnya yang juga pernah mengalami hal yang sama.
Dari lingkaran itu, meskipun di pertemuan pertama, aku menemukan kekuatan yang lebih segar. Kekuatan untuk mengakui, untuk menerima bahwa aku mengalami hal yang jauh lebih buruk dari yang ingin aku ingat. Bukan penyangkalan.

Bahkan hingga bagian ini aku tuliskan aku tak sempat menguraikan pada para survivor lain betapa aku merasa hampir seluruh tubuhnya kebas hingga aku tiba di rumah beberapa jam kemudian. Tentu karena pengaruh psikis yang cukup kuat menjalar cepat menjadi efek fisik.

“Membongkar” ingatan yang membuatku tak nyaman setengah mati, membuatku marah luar biasa berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Yang juga berimbas pada orang-orang terdekatku. Aku jadi sangat sensitif waktu itu. Sedikit pemicu, bisa meledakkan emosiku dengan membabi-buta. Menyakiti tak hanya orang-orang terdekatku, juga diriku sendiri. Ada binatang buas meraung-raung dalam diriku yang minta dilepaskan dan siap menerkam siapapun yang menyakiti. Aku seperti ingin melukai siapapun, memroyeksikan kesakitanku dengan menyakiti orang lain, terutama orang-orang terdekat. Secara fisik, aku menyakiti diriku dengan membiarkan tubuhku lelah dan tersiksa. Tidak makan teratur dan tidak tidur berhari-hari. Melibatkan diri pada pekerjaan-pekerjaan yang melelahkan secara fisik dan mental. Aku benar-benar terluka oleh ingatan dan kenyataan bahwa aku pernah mengalaminya. Malu dan perasaan sanga terhina menghntui kemanapun dan kapanpun. Sampai suatu saat aku lelah. Lelah marah, lelah menyiksa diri. Aku tidak pantas memperlaukan diriku seperti itu, karena bukan salahku menerima perlakuan tak sepantasnya di usia sebelia itu. Si pelakulah yang harus dihukum, bukan aku. Selama berminggu-minggu aku justru menghukum diriku sendiri.
Beruntung di sebuah media sosial aku berkoneksi dengan sebuah lembaga anti kekerasa pada anak yang berbasis di Amerika Serikat. Dengan bekal koneksitas itu setiap hari aku mengikuti apa yang mereka posting tentang bahwa sesungguhnya anak-anak berhak mendapat penghormatan dan penghargaan yang proposional dari orang tuanya. Bahwa anak-anak korban kekerasan & kekerasan seksual adalah mereka yang layak didengar dan dianggap serius keluhannya. Bahwa bila hal tersebut terjadi maka orang tualah yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, yang paling berkewajiban melindungi anak-anaknya dari para predator seksual.
Dari berbagai sumber aku mendapatkan bahwa cara paling tepat menghindari hal tersebut terjadi adalah dengan mencegahnya.
Salah satu usaha adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu kekerasan seksual ini beserta efeknya sebagai upaya pencegahan dini.

Bahwa dibalik kekerasan seksual pada anak, ada banyak faktor yang membuat situasi ini menjadi mungkin seperti diantaranya pola pikir maskulin dan macho dari budaya patriaki yang memandang bahwa dengan mengontrol dan mendominasi pihak lain yang dianggap lebih lemah maka menjadi lambang kekuasaan dan kekuatan mutlak. Bahwa fundamentalisme dan ideologi radikal tertentu telah menjadi penyumbang besar terhadap lahirnya para predator seksual yang “berkemasan” lebih terpandang, santun dan mempesona di mata masyarakat.
Bahwa kondisi ekonomi juga turut ambil bagian menjadi salah satu alasan mengapa seorang dewasa melakukan aktifitas pelampiasan seksualnya pada anak-anak yang sejatinya mahluk yang tidak berdaya untuk melawan apalagi mengerti apa yang menimpanya. Belum lagi faktor penyimpangan psikis. Rumit sekali....

Hanya dua hal bagi seorang survivor sepertiku pahami, whatever happened, sexual predator is sick and no one deserved that !


(jeda hening)


pada malam-malam aku padam
kenangan memburu, membunuh
tapi tidak mati, hampir mati
cukup sebuah lubang yang dalam
dimana kusimpan dengan berduka
segaris masa......