07 September 2011

Kami Hanya Suka Tertawa Sekencang-kencangnya

-Untuk AW yang kujuluki Beton dan memanggilku Semen-


Benarkah malaikat ada ? Bagi saya hampir seperti dongeng. Hampir seumur hidup saya tidak pernah menemukan bukti bahwa malaikat ada. Tidak sampai saya benar-benar mendengar tawa saya sendiri yang begitu kerasnya dan bukan tawa pura-pura.
Saat berada di tengah keramaian menghadiri acara bersama kawan-kawan saya sering tertawa, bersahut-sahutan dengan kelakar keroyokan. Tapi membuat saya tertawa di tengah kondisi nadir, nyaris putus asa dan amarah ? Hanya seorang teman dengan ketulusan melebihi ketulusan air mata yang jatuh tanpa berharap bisa kembali yang bisa melakukannya.



Awang (bukan nama sebenarnya) saya kenal dari lingkungan gereja tempat saya beribadah hampir setiap Minggu. Saya keberatan dibilang Kristen tapi karena meditasi mingguan ini saya lakukan di gereja yang bagi saya adalah cara tercocok mencapai relaksasi spiritual, maka dengan bersungut-sungut dalam hati, saya hanya tersenyum pasrah bila dituduh Kristen.

Awang adalah pengerja di kebaktian ke-6 setiap minggunya. Sosoknya dengan tinggi di atas rata-rata orang Indonesia, dengan wajah khas oriental tapi dengan kelebihan mata yang lebih bundar membuatmya sangat tampan. Mustahil ada perempuan yang tak memperhatikan kehadirannya. Saya juga.

Saya anggap itu bonus lucu-lucuan saja, tak pernah terbersit keinginan kenal lebih jauh atau ingin tahu. Dia hanya sepotong kebaikan hidup yang tak punya pengaruh apa-apa. Saat meninggalkan kebaktian pukul 18.00 wib, satu lantai di bawahnya, di food court sebuah mal yang paling membuat macet sepanjang jalan Prof. Satrio, bertebaran laki-laki muda menarik. Bisa ditemukan dimana pun. Tak ada yang istimewa membicarakan laki-laki tampan di Jakarta. Ada dimana-mana.

Saya bahkan tidak pernah ingat kenapa Awang ada di dua akun facebook saya. Mungkin saling menambahkan sebagai teman itu terjadi saat saya ikut berpartisipasi ikut menjadi anggota paduan suara kebaktian kebangunan rohani Natal gereja tersebut dua tahun lalu.


Singkat cerita oleh seorang pengerja gereja yang saya kenal saat dipaksa menjadi pemandu lagu rutin di kebaktian para karyawan dan profesional setiap Jumat siang, saya menerima undangan bergabung di sebuah grup blackberry yang berisi pengerja gereja tersebut. Tapi terus terang karena segan menolak saja. Saya sudah berpikir akan meninggalkan grup tersebut setelah beberapa waktu.
Ternyata Awang juga ada di daftar anggota grup tersebut. Dan perkiraanku karena kami memang sudah terkoneksi di facebook dan ada dalam satu grup yang sama, ia berinisiatif menambahkan saya sebagai kontak blackberry'nya. Tak ada masalah.


Beberapa bulan setelah itu saya menerima broadcast message (pesan ke semua kontak) dari Awang. Promosi obat herbal yang dijamin asli tapi dengan harga lumayan murah. Kontak pertama kami adalah tanya jawab soal obat tersebut.
Lagi-lagi saya lupa bagaimana awalnya kami bisa saling berkirim pesan dengan isi percakapan yang lebih santai. Awalnya saya agak terganggu kebiasaannya mengakhiri setiap pesan dengan “hehehe” yang di”auto-text”kan dengan lambang yang menurut saya sangat kekanak-kanakan dan menjengkelkan. Dari kebiasaannya itu saya jadi bisa memperkirakan umurnya. Pasti belum menyentuh angka tiga puluh. Padahal saya mengira dia sudah berumur antara 35 hingga 38 tahun. Tanpa bermaksud mengatakan Awang berwajah “boros”, mungkin karena saya selalu melihatnya dengan setelan jas komplit setiap ia bertugas Hari Minggu maka saya berkesimpulan seperti itu.


Saling berkirim pesan membuat kami bertambah akrab. Aneh, kami seperti sudah berteman bertahun-tahun lamanya. Awang ternyata sangat lucu dan periang. Kelebihan fisik dan umur yang sangat muda tak membuatnya merasa risih berteman dengan perempuan yang jauh lebih tua dengan status ibu tunggal. Dia ringan tangan membantu apa yang bisa dibantunya termasuk tak sungkan-sungkan ikut membantu menjadi pemandu lagu saat saya mengatakan bahwa kami kekurangan pemandu lagu di suatu Jumat siang..
Saya tak merasa harus menjadi orang lain saat berinteraksi dengannya. Kami bisa tiba-tiba bersikap seperti anak-anak yang sedang bermain-main dan sesaat kemudian selayaknya dua orang dewasa yang berdiskusi soal apa saja.
Yang paling membuat saya nyaman, Awang tulus sebagai teman. Tak pernah sedikit pun ia memperlihatkan sikap yang dia tahu akan membuat saya tak nyaman karena merasa dia punya maksud atau perasaan tertentu terhadap saya yang melebihi relasi pertemanan. SANGAT LANGKA !

Awang ternyata cerewet dan suka ngobrol. Tapi ia tidak terlalu tertarik dunia gerakan sosial dan politik yang saya senang cermati. Tapi dengan seksama ia mendengarkan saat saya membicarakan hal-hal yang tak disukainya itu. Ia adalah pendengar yang baik. Sesekali Awang menyelipkan lelucuan.

Ada saat Awang mencurahkan kekesalan, kesedihan dan kekecewaan yang dialaminya. Atau apa yang olehnya disebut pengakuan memalukan, yang tak mungkin diutarakannya pada teman lain yang kebanyakan sebaya atau pada teman dari dari lingkungan gereja tempatnya selama ini berkegiatan.
Pada saya, ia bebas mengutarakan apa saja tanpa pernah merasa dihakimi atau dinilai tak pantas. Demikian pula sebaliknya.



Suatu saat saya sedang dalam keadaan sangat tertekan. Ketegangan, kesedihan dan rasa marah membuat kondisi fisik turun drastis. Saat itu saya sedang sendirian. Anak-anak sedang berlibur ke luar kota. Orang-orang terdekat yang paling saya harapkan sedang tidak dalam situasi bisa mendampingi saya. Migren menyiksa saya berhari-hari, tidak biasanya. Sakit luar biasa. Sedemikian sakitnya saya sampai-sampai terduduk menggantung di antara tempat tidur dan lantai, merintih menahan sakit. Tak berselera makan karena migren dalam waktu yang lama membuat saya mual.
(saya terhenti sejenak untuk menuliskan bagian ini...)
Adalah Awang, dengan pesan-pesannya terus menguatkan. Bukan dengan pesan-pesan sok perhatian dan berlebihan. Tapi dengan canda-canda yang walau saya harus tertawa sambil menahan sakit sungguh seperti tangan yang menggenggam erat. Sebuah dukungan yang ditunjukkannya selama saya bergumul dengan sakit dan pikiran-pikiran buruk. Awang waktu itu belum tahu kalau saya mengidap bipolar, yang salah satu gejalanya adalah depresi yang dalam batas kekuatan tertentu bisa secara tidak sadar mendorong pengidapnya berpikir untuk bunuh diri.
Yang dilakukan Awang hanya membanyol. Tapi yang luar biasa, entah apa yang dikorbankannya, ia tetap terus menjaga komunikasi dan tak membiarkan saya tak menjawabnya. Ia gunakan cara yang sederhana untuk tetap membuat saya tidak fokus pada penderitaan saya saat itu, api pada kelakar-kelakarnya. Tebak-tebakan plesetan yang menyebalkan saat itu adalah cara Awang menemani. Bukan dengan kata-kata menghibur manis yang berlebihan tapi dengan olok-olok canda dan saling mencela yang membuat kami tertawa terbahak-bahak. Dilakukannya hingga kami lelah oleh tawa dan hampir dini hari terlelap.

Keesokan harinya ia harus mengikuti wawancara perekrutan karyawan. Mengetahui ia tak dapat menemani sepenuhnya, Awang mengirimkan tautan lagu yang liriknya sangat saya sukai. Lagu yang sangat menguatkan dan menenangkan.

“Kamu dengerinnya fokus ya, sambil doa....” demikian pesannya.
Saat itu saya benar-benar sedang merasa sendirian. Dan Awang benar, mendengarkan lagu itu membuat saya tenang. Sebuah lagu tentang seorang penyelamat yang mencurahkan dan memberikan segalanya pada orang yang ia sangat kasihi, di atas segala-galanya.

Saya bukan orang relijius. Saya mendengarkan lagu itu dengan seksama tapi tidak berdoa. Pada siapa saya harus alamatkan doa saya ? Awang tahu saya orang yang sangat logis, yang segala sesuatunya saya kaji dengan logika dan ilmu pengetahuan. Yang saat ia memperbincangkan mujizat Yesus memberi makan 5000 orang saya malah membahas soal tak mungkinnya ada 5000 orang laki-laki belum termasuk perempuan dan anak-anak berkumpul di suatu tempat hanya untuk mendengarkan pengajaran seorang rabi baru tanpa dibubarkan tentara Romawi yang saat itu berkuasa.

Kali ini berbeda, Awang tahu saya tidak dalam kondisi mampu memperdebatkan apa-apa. Saya hanya butuh sebuah cahaya kecil bagi jiwa yang sedang selamanya malam.
Lagu itu, membuat saya sesenggukan, melepas kemarahan dan duka. Tak merubah saya jadi relijius, tapi menguatkan saya. Lagi-lagi saya merasa tangan saya digenggam. Dalam kenadiran saya dibantu berdiri oleh sebuah ketulusan pertemanan yang tak berbasis materi atau kepentingan.


Awang dan saya, kami hanya sama-sama suka tertawa sekencang-kencangnya. Merayakan keberanian mengarungi hidup.

4 comments:

  1. Banyak Teman dalam suka...
    Hanya yang benar-benar Sahabat ada untuk kita dapat berbagi...

    ReplyDelete
  2. Sangat menyenangkan memiliki teman yang sangat tulus :)

    ReplyDelete
  3. @ aamanis : sepakat :)

    @ amet : sepertimu jg Met

    ReplyDelete