15 September 2011

Break Trough The Silence



Keadilan Untuk Perempuan Penyintas
(dari KBR68H-SAGA oleh Mellie Chintya, 15 September 2011)

KBR68H - Setiap hari, 30 perempuan dan anak perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan seksual. Data Komnas Perempuan melansir, dalam 3 tahun terakhir ada lebih dari 90.000 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan. Kebanyakan pelaku adalah keluarga terdekat. Sementara korban dipandang sebagai aib, dan akhirnya memilih bungkam, selamanya. Mereka yang bertahan dari kekerasan seksual atau biasa disebut penyintas, memilih bangkit dan membentuk Komunitas Lentera Indonesia. Mereka saling berbagi cerita serta memulihkan diri dari trauma masa lalu. Kepada Reporter KBR68H, Mellie Cynthia para penyintas mengisahkan mimpi buruk mereka. Nama para penyintas ini disamarkan demi kerahasiaan identitas.

Mimpi Buruk Itu Datang

“Nama saya Eklesia. Usia 38 tahun. Saya penulis lepas sebuah media online. Saya penyintas kekerasan seksual di masa kanak-kanak… Waktu itu diminta nenek kandung saya untuk buka baju dalam, celana buka mau diperiksa keperawanan. Disuruh baring, waktu itu saya pikir itu benar, karena beliau pemuka agama, tes keperawanan bagian dari tugasnya dia. Itu dilakukan selama bertahun-tahun, dari 8 sampai 11 tahun. Yang setelah saya besar saya tahu itu ‘fingering’, mungkin ini tidak enak terdengar tapi jarinya benar-benar masuk ke vagina saya. Saya sudah merasa tidak nyaman, mulai 10-11 tahun saya mulai merasa itu salah tapi tidak berani.”


Eklesia menghabiskan masa kecilnya di Balikpapan, Kalimantan Timur. Keluarganya adalah pendatang dari Manado, Sulawesi Utara. Sejak kecil, ia tinggal bersama kakek dan neneknya. Eklesia bercerita, neneknya adalah figur dominan yang disegani bahkan ditakuti keluarga dan masyarakat sekitar.

“Kalau dia marah, dia pasti melampiaskan ke saya, kalau marah saya disuruh buka baju, telanjang bulat, dipukuli sekitar 5 menitan, dia tidak akan berhenti memukul kalau belum ada tanda. Setelah itu saya dikunci di teras setengah jam. Rumah nenek saya kan termasuk di jalan besar, pasti orang lewat lihat, dan kayaknya nenek saya kelihatan puas.”

Eklesia mencoba memberitahu keluarganya yang lain mengenai perilaku sang nenek. Namun, apa daya, ibunya sendiri pun menganggap itu hanya celotehan anak kecil belaka.

“Saya pernah coba cerita, saya ingat sekali reaksi mereka: Hush, kok anak kecil ngomong begitu, lalu saya juga coba gambar komik, tuan puteri dikejar-kejar pangeran mau diperkosa, saya mau mengekspresikan (perasaan), sebenarnya tidak masuk akal anak kecil dituduh mesum ya, saya tidak bisa terima waktu kecil tapi tidak bisa bicara apa-apa, karena anggota keluarga saja tidak percaya, bagaimana kita mau cerita ke orang lain di luar keluarga.”

Itu bukan kali pertama Eklesia mengalami kekerasan seksual. Saat usia 5 tahun, ia pernah diperkosa oleh tetangganya laki-laki berusia 18 tahun. Kala itu, ia masih terlalu kecil untuk mengerti, permainan yang mereka lakukan bukanlah permainan laiknya antar anak-anak. Setelah ia cukup besar, baru ia sadar, si tetangga ternyata telah menggagahinya. Ia pernah memberi tahu keluarganya soal pemerkosaan yang dilakukan tetangganya. Namun, lagi-lagi ia cuma dianggap anak kecil yang mereka-reka cerita.


Eklesia adalah salah satu perempuan penyintas di Lentera Indonesia. Komunitas yang baru dibentuk Mei lalu ini bertujuan untuk memberikan tempat bagi para penyintas memulihkan diri dari trauma akibat kekerasan seksual. Anggotanya baru 10 penyintas. Belum ada markas tetap bagi komunitas ini untuk berkumpul.

Biasanya pertemuan dilakukan dengan ‘meminjam’ ruangan kelas di sebuah universitas di Jakarta Selatan. Di sini mereka dapat bercerita kisah kelam masa lalu tanpa beban. Tanpa takut dihakimi.

Giliran penyintas lainnya bercerita.

“Nama saya Rana, usia 30 tahun, pekerjaan saya sekretaris.”

Rana pertama kali mengalami kekerasan seksual kala kelas 4 SD.

“Menurut saya yang terjadi sudah seperti merampas harga diri saya sebagai manusia, sebagai anak yang saat itu memerlukan perlindungan… Saya tidak ingat bagaimana awalnya, yang bisa saya ingat, setiap malam papa tiri saya masuk ke kamar, buka celana saya, meraba-raba, saya tidak mengerti itu apa, saya juga tidak mengerti bagaimana harusnya hubungan anak dengan ayahnya, karena ibu saya dan papa almarhum berpisah saat saya masih kecil… Saya juga pernah bibir saya dicium sampai berdarah. Yang jelas saya cuma bisa cium bau rokok dan itu buat saya benci sama rokok sampai saat ini.”

Pelecehan oleh ayah tiri membuat hidup Rana dibayangi ketakutan.

“Saya cuma bisa nangis saja. Kejadiannya berulang sampai kelas 3 SMP, saya baru mengerti kalau itu salah, dengar cerita teman yang sudah punya pacar, saya tahu kalau itu bukan perlakuan normal dalam hubungan ayah dan anak. Sejak itu, saya mulai bawa benda tajam seperti gunting, pisau di bawah bantal, pintu selalu saya kunci, kalau ada yang ketok saya tanya dulu siapa.”

Selang beberapa tahun, ayah tirinya pergi ke luar negeri. Keadaan perlahan membaik untuk Rana. Ia menjalani kuliah dan menjalin asmara dengan lawan jenis. Namun, keceriaan itu tidak berlangsung lama.

“Waktu itu saya sudah kuliah, ibu saya berseri-seri bilang ‘Papa mau pulang’, sejak itu saya merasa dunia runtuh dan hidup saya hancur lagi, saya langsung buat surat panjang untuk ibu, saya putuskan tinggalkan rumah, saya beri pilihan, apakah akan memilih saya atau suaminya, saya tulis semua perlakuannya, saya tulis bagaimana saya melalui hidup saya selama ada dia di rumah. Surat saya tidak dijawab, ibu saya tidak mencari saya.“


Keluarga yang seharusnya menjadi benteng perlindungan utama bagi anak, ternyata malah melukai harga diri Rana. Ibunya tidak pernah mau mengakui kebenaran bahwa buah hatinya telah dilecehkan si ayah tiri. Ia diam seribu bahasa kala Rana menuntut pengakuan dan tanggung jawab. Saat ini, Rana telah memutuskan hubungan dengan ayah tirinya.

Saat kekerasan seksual terjadi, korban perempuan kerap dicap sebagai pihak yang bersalah dan kehilangan haknya untuk membela diri. Karena itu, sejumlah perempuan sepakat memutus mata rantai kekerasan dengan membentuk Lentera Indonesia. Dipicu pula oleh kekesalan terhadap serangkaian lelucon yang mendiskriminasikan korban kekerasan seksual. Salah satu pendiri Lentera Indonesia, Wulan Danoekoesoemo.

“Rasanya kesal sekali, ternyata buat sebagian masyarakat, kekerasan seksual masih bisa menjadi suatu bahan bercandaan. Ada publik figur seorang dokter spesialis kandungan, (yang notabene) sangat dekat dengan perempuan, melemparkan lelucon ‘Hidup itu seperti diperkosa, kalau tidak bisa melawan ya nikmati saja’… Sejak kapan ada konsep ‘perkosa’ dan ‘nikmat’, itu buat kita pemahaman yang sangat salah. Intinya perkosaan bukan sekedar penetrasi, tapi lebih masalah emosional daripada masalah fisik.”

Seksualitas adalah hal tabu bagi sebagian masyarakat Indonesia. Di Lentera, para penyintas menemukan ruang untuk melepaskan segala tekanan jiwa akibat trauma kekerasan seksual di masa lalu. Salah satunya lewat bercerita, lanjut Wulan.

“Karena setiap kali bercerita rasa sakit berkurang. Salah satu yang kita bagi di lingkaran adalah kekuatan, ketika ada orang bercerita dan menangis, kita diam saja dan tunggu sampai selesai, setelah itu merasa lega, dan bilang ‘thank you for listening’, ternyata banyak orang cuma ingin didengar, karena selama ini dia tidak tahu, apakah kalau dia bercerita orang akan mau mendengar tanpa menghakimi.”

Hampir semua penyintas di Komunitas Lentera mengalami kekerasan seksual pada masa kecil. Pelaku jarang diseret ke meja hijau, apalagi diganjar hukuman. Ini karena sebagian besar kasus kekerasan seksual berada di ranah personal, yakni keluarga.

Apakah hukum bisa ditegakkan untuk menghapus kekerasan seksual anak di Indonesia? Supaya ada jera untuk pelaku dan keadilan untuk korban.

Hukum Tak Berpihak Pada Korban

Pada 2002, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Perlindungan Anak. Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati mengatakan, ini adalah terobosan hukum untuk melengkapi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga siapa pun pelaku kekerasan seksual terhadap anak dapat dijerat hukuman maksimal.


“Meski dia anak-anak, harus dilindungi, bahkan ancaman hukuman tinggi. Pelaku kan selalu bilang, suka sama suka, nah untuk anak-anak kan tidak ada suka sama suka, kalau di KUHP ada ketimpangan relasi, sudah pidana. Kekerasan seksual terhadap anak atau adik kita sendiri, itu sudah tindak pidana.”

Namun, kasus tak berlanjut ke pengadilan karena kerap diselesaikan di dalam keluarga, lanjut Sri.


“Biasanya kalau ada ketimpangan relasi, akan diselesaikan secara kekeluargaan, misalnya ayah tiri dengan anaknya, yang sebenarnya ini delik laporan, meskipun ada upaya perdamaian dan ganti rugi, seharusnya pidana tetap jalan.”

Data Polda Metro Jaya melansir, tahun ini ada sekitar 15 pengaduan kekerasan seksual terhadap anak. Semua pengaduan itu menyatakan, anak dibujuk rayu untuk melakukan hubungan seksual dengan pelaku. Pelaku kadang lolos dari jeratan hukuman karena tidak adanya bukti visum yang menunjukkan korban telah mengalami kekerasan seksual.

Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polda Metro Jaya, Rukaning mengatakan, keluarga korban perlu segera melapor agar bukti tidak hilang.

“Dalam pelecehan seksual, perlu visum et repertum, itu jadi alat bukti, seandainya kejadian sudah lama, mungkin lukanya sudah sembuh, kalau masih ada, air mani dalam kemaluannya itu bisa diperiksa dokter, untuk menentukan oo ini air mani si A, si B. Sulit untuk melakukan penyelidikan kalau tidak ada alat bukti, karena dari alat bukti itulah polisi bisa menentukan.”

Dari 15 pengaduan yang diterima Polda Metro Jaya, hampir 50 persen tengah ditangani Kejaksaan dan akan disidangkan dalam waktu dekat. Sementara sisanya masih diproses polisi.

Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati mengatakan, aparat penegak hukum seharusnya tidak mendewakan visum sebagai satu-satunya alat bukti kunci. Semua alat bukti bisa dipertimbangkan, termasuk keterangan saksi korban dan saksi ahli untuk menjerat pelaku.


“Ada kasus, guru ngaji pakai jari, keterangan saksi jelas, si anak juga jelas menunjuk pelaku, digunakan pemeriksaan secara psikologis, petunjuk ahli, hakim pakai itu. Ahli menyatakan, dari hasil pemeriksaan memiliki 2 kepribadian, di dalam penuh amarah, dendam, di luar sangat baik, dicocokkan keterangan anak dan orang di sekitar, ada lecet dan merah-merah, dan hasil visum. Tiga alat bukti dipakai semua. Saksi korban dan keluarga, bukti petunjuk termasuk saksi ahli dan visum. Jadi tidak konvensional, harus visum. Karena kalau dilihat dari hasil visum, tidak ada robekan, cuma lecet, dan itu cukup menghukum pelaku dengan pasal pencabulan.”

Masyarakat juga bisa membantu. Termasuk anggota keluarga, dengan menjadi saksi. Supaya tidak ada pembungkaman kasus dan memastikan ada hukuman bagi pelaku. Sri Nurherwati.

“Kalau ada pelaku yang menunjukkan potensi kekerasan seksual, masyarakat harus tanggap dan jangan dibiarkan saja. Hukum pidana itu menyebutkan, menjadi saksi adalah kewajiban, kalau dia menolak sebagai saksi, dia bisa dipaksa, kalau dia memberikan keterangan yang perspektifnya belum melindungi korban, pelakunya ini adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, atau kepala keluarga, dikenal masyarakat baik, sehingga masyarakat tidak bersedia.”

Bagi korban, hukuman pidana selama apa pun tidak akan pernah cukup mengobati luka. Dampak psikologis akibat kekerasan seksual bisa terus berlanjut hingga puluhan tahun, menghantui korban.

Eklesia, korban kekerasan seksual dari tetangga dan neneknya, mengaku sempat mengalami ketergantungan seks.

“Saya mengerti itu menjadi ketergantungan setelah terapi tahun 2006, itu (seks) satu-satunya cara saya bisa dapat perhatian, penilaian saya terhadap orang yang sayang sama saya selalu itu. Karena kejadiannya dulu orang dalam rumah, dan selalu setiap kejadian itu saya selalu disayang sekali, apa pun yang saya minta selalu dikasih.”

Eklesia kecanduan seks, dan emosinya pun labil. Dua hal itu menyebabkan pernikahannya kandas.

Jika Eklesia kecanduan seks, maka Rana sebaliknya. Gadis yang mengalami pelecehan dari ayah tirinya itu tumbuh menjadi perempuan dewasa yang membenci seks.

“Meski masalah ini sudah lama, tapi mengganggu fungsi sosial, saya pernah menikah 3 tahun, akhirnya saya bercerai karena saya mempunyai disfungsi seksual, saya tidak menyukai seks, saya benci seks, menurut saya seks itu adalah salah satu pemicu yang membuat orang melakukan hal-hal buruk terhadap orang lain.”

Proses pemulihan bisa memakan waktu sangat panjang. Bagi Eklesia, Rana dan perempuan penyintas lainnya, hidup terlalu berharga untuk diisi kebencian dan dendam terhadap pelaku. Mereka hanya ingin kisah mereka diakui, setidaknya di lingkup keluarga. Ini penting agar korban mendapat keadilan dan pelaku dapat diganjar hukuman.

Saat ini, Eklesia dan Rana berupaya membantu sesama penyintas. Bersama bangkit dan melangkah kembali.

“Kita tidak merasa sendirian, dulu kan rasanya kayak orang aneh, ada tidak sih di sana orang yang kayak begini, kita merasa ada teman dengan pengalaman yang sama kita saling dukung.”

“Untuk penyintas di luar sana yang suaranya tidak pernah didengar atau merasa takut untuk mengalami masalah seperti saya, perpecahan dengan keluarga, Lentera ada untuk kita, supaya kita tidak lagi menangis sendiri.

2 comments:

  1. Apakah yang datang maupun berbagi di Lentera hanya para penyintas saja? Atau siapa saja yang ingin tahu lebih lanjut mengenai kasus kekerasan seksual juga boleh ikut?

    Makasih :)

    ReplyDelete
  2. Kalau mau bergabung dgn komunitas lentera ini, saya harus menghubungi siapa ? Saya wanita 36thn, i was mentally abused during my marriage for 3years. I need a friend to talk to, friend who understand the pain inside.....
    Thank you

    ReplyDelete