23 December 2014

BELAJAR SEJARAH 22 Desember: Hari Gerakan Perempuan Indonesia, Perempuan sebagai Ibu Bangsa

Belajar dari Sejarah Pendahulu Gerakan Perempuan
Memperingati HARI IBU ( Hari Gerakan Perempuan) 22 Desember

foto dari lakonhidup.wordpress.com


22 DESEMBER 1928 PEREMPUAN BERSATU MELAWAN KEKERASAN PEREMPUAN

PERINGATAN HARI IBU DIPUTUSKAN PADA KONGRES PEREMPUAN 1938, DALAM ARTI IBU BANGSA, AGAR IBU MENDIDIK PUTRA-PUTRI UNTUK MEMILIKI NILAI-NILAI NASIONALISME DAN KEBANGSAAN (jadi tidak sama dengan Mother's Day yang dirayakan di negara lain).
Sejarah Gerakan perempuan Indonesia tak lepas dari gerakan social pada umumnya. Perempuan aktif dalam kegiatan organisasi pemuda organisasi berlatar belakang kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatra atau Jong Ambon. Perempuan Indonesia juga aktivis pergerakan nasional, meski nama dan kerjanya tidak dicatat sejarah. Faktanya perempuan ikut mendeklarasian Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Saat itu pada organisasi umum juga divisi perempuan seperti Wanito Tomo dari Boedi Oetomo, Poetri Indonesia dari Poetra Indonesia danWanita Taman Siswa dari Taman Siswa. Organisasi perempuan yang berdiri di awal gerakan di antaranya adalah Putri Mardika, 1916.
Perempuan pelopor yang menjadi panitia pelaksana Kongres Perempuan Indonesia I 928 dan ikut dalam deklarasi Sumpah Pemuda 1928 antara lain Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari dan lain-lain. Merekalah inisiator dan penggerak Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928.
Kongres Perempuan Indonesia pertama 1928 adalah Momentum Kesadaran Kolektif Perempuan Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak perempuan bersama-sama. Kesadaran mengenai berbagai permasalahan yang hingga kini, tahun 2006 masih relevan: poligami, perdagangan orang, kekerasan, dan buruh perempuan.

SEKILAS GERAKAN PEREMPUAN 1928-1935 ISU-ISU DAN UPAYA GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

Kongres Perempuan Pertama 22-25 Desember 1928
Kongres Perempuan Indonesia 1928 bersifat kooperatif. Artinya perjuangan dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan pemerintah kolonial. Secara resmi Kongres mengakui pemerintah kolonial, dan mengajukan usulan pada pemerintah. Ini strategi untuk memudahkan penyebarluasan gagasan kepada perempuan dan masyarakat umum, terutama pihak kolonial. Sehingga perempuan kelas menengah atau bangsawan tidak takut bergabung atau ikut serta dengan anggapan tidak radikal. Pemerintah kolonial sendiri masih memiliki nostalgia keberhasilan politik etis (kemajuan pendidikan bangsa bumi putra) pada perempuan. Juga adanya anggapan pemerintah dan masyarakat, mengenai stereotipe kegiatan perempuan dan organisasi perempuan yang bersifat social dan hobby. Organisasi perempuan dianggaptidak-politis. Strategi ini diperkuat dengan keputusan Kongres untuk tidak membicarakan “politik” dalam arti umum. Kongres menekankan pembahasan masalah perempuan sesuai anggapan umum dan pemerintah kolonial, sebagai tidak-politis.
Perempuan dengan berbagai latar belakang suku, agama, kelas, dan ras Berkumpul dan bersatu dalam Kongres yang dilaksanakan di Mataram (Yogyakarta, sekarang pen.). Umumnya yang hadir dalah perempuan muda. Persiapan Kongres dilakukan di Jakarta, dengan susunan panitia: Nn. Soejatin dariPoetri Indonesia sebagai Ketua Pelaksana, Nyi Hajar Dewantara dari Wanita Taman Siswa sebagai Ketua Kongres, dan Ny. Soekonto dari Wanito Tomo sebagai Wakil Ketua.
Kongres dihadiri perwakilan 30 organisasi perempuan dari seluruh Indonesia, di antaranya adalah Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika dan Wanita Taman Siswa.
Berbagai isu utama masalah perempuan dibahas pada rapat terbuka. Topiknya antarea lain: kedudukan perempuan dalam perkawinan; perempuan ditunjuk,dikawin dan diceraikan di luar kemauannya;poligami; dan pendidikan bagi anak perempuan. Pembahasan melahirkan debat dan perbedaan pendapat dari berbagai organisasi perempuan. Walaupun begitu tak menghalangi kenyataan yang diyakini bersama, yaitu perempuan perlu lebih maju.Berdasarkan hasil pembahasan antara lain Kongres memutuskan:
1. mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan;
2. pemerintah wajib memberikna surat keteranganpada waktu nikah (undang undang perkawinan); dan segeranya
3. memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds;
4. mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberatasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak;
Selain putusan di atas, berbagai perkumpulan berdiri atas inisiatif peserta Kongres untuk membela dan melindungi hak perempuan, di antaranyaPerkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (P4A) untuk didirikan 1929. Pendirian perkumpulan itu disebabkan oleh merajelanya perdagangan anak perempuan.
Kongres-kogres Perempuan Indonesia selanjutnya
Tak jauh berbeda pembahasan berbagai permasalahan perempuan 1928 Kongres Perempuan Selanjutnya tahun 1929, 1930, 1935. Kongres untuk kordinasi selanjutnya bernama Kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia.

Kongres Perempuan, Jakarta 28-31 Desember 1929

Permasalahan perkawinan khususnya poligami, kawin paksa dan perkawinan anak-anak juga menjadi topik yang dibahas tersendiri. Kongres memutuskan antara lain: meningkatkan nasib dan derajat perempuan Indonesia dengan tidak mengkaitkan diri dengan soal politik dan agama; mengajukan mosi kepada pemerintah untuk menghapuskan pergundikan.
Kongres sempat diwarnai ketegangan dan kepanitiaan hampir kacau karena Kongres hampir dilarang pemerintah. Hal itu terkait dengan situasi saat itu, yaitu Bung Karno ditangkap di Yogyakarta. Kantor dan tempat gedung pertemuan sempat digeledah polisi. Akhirnya Kongres tetap dijinkan dan berlangsung, di Gedung Thamrin di Gang Kenari Jakarta.
Kongres terbuka didukung juga massa rakyat yang memekikan, “yel-yel merdeka!”. Gedung tempat pelaksanaan Kongres menjadi menggelegar. Polisi mengawasi mengancam akan membubarkan. Salah seorang pemimpin sidang menyerahkan kendali situasi kepada Soejatin (Poetri Indonesia), ketua pelaksana Kongres Perempuan Pertama 1928. Sambutan demi sambutan diakhiri dengan pekikan “Merdeka, Sekarang!” Maka ruangan kembali riuh. Ketika polisi akan membubarkan, Soejatin mengetuk palu rapat selesai dan ditutup, rapat selanjutnya dilakukan tertutup.
Kongres menyatakan keprihatinannya dengan penangkapan Sukarno dengan membatalkan rencana akan mengadakan pameran dan malam penutupan.

Kongres Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia, Surabaya 13-18 Desember 1930.
Ketua Kongres Ny. Siti Soedari Soedirman. Keputusan Kongres yang sangat relevan dengan kekinian antara lain mendirikan Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (BPPPA) yang diketuai oleh Ny. Sunarjati Sukemi. Terbentuknya BPPPA disebabkan keprihatinan yang mendalam atas nasib yang menimpa anak-anak peremepuan yang terkena praktek JERATAN UTANG Cina Mindering, yaitu petani meminjam uang dengan bunga sangat tinggi dan tidak dapat mengembalikannya, sehingga seringanak gadis petani dijadikan penebus hutang-hutang itu. Kongres juga mengangkat isu buruh perempuan, khususnya nasib buruh pabrik batik di Lasem, dan memberikan penyuluhan peningkatan kesadaran bagi pembatik.

Kongres Perempuan Indonesia, Jakarta 20-24 Juli 1935

Kongres Perempuan Indonesia tahun 1935 diikuti tidak kurang dari 15 organisasi, di antaranya Wanita Katolik Indonesia, Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Aijsiah, Istri Sedar, Wanita Taman Siswa dsb. Ketua Kongres Ny. Sri Mangunsarkoro. Keputusan Kongres antara lain: Kongres memutuskan: mendirikan Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan yang berfungsi meneliti pekerjaan yang dilakukan perempuan Indonesia; meningkatkan pemberantasan buta huruf; mengadakan hubungan dengan perkumpulan pemuda, khususnya organisasi putri; mendasari perasaan kebangsaan, pekerjaan sosial dan kenetralan pada agama;Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan: ia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”.

Kongres Perempuan Indonesia, Bandung, Juli 1938
Kongres dikuti: Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Wanito Tomo, Aisjiah, Wanita Katolik dan Wanita Taman Siswa. Ketua Kongres Ny. Emma Puradiredja. Isu dibahas antara lain, partisipasi perempuan dalam politik, khususnya mengenai hak dipilih. Pemerintah kolonial memberikan hak dipilih bagi perempuan untuk Badan Perwakilan. Perempuan yang menjadi anggota Dewan Kota (Gementeraad): Ny. Emma Puradiredja, Ny. Sri Umiyati, Ny. Soenarjo Mangunpuspito dan Ny. Sitti Soendari. Karena perempuan belum mempunyai hak pilih, maka Kongres menuntut perempuan punya hak memilih.
Kongres memutuskan: tanggal 22 Desember diperingati sebagai “Hari Ibu” dengan arti seperti yang dimaksud dalam keputusan Kongres tahun 1935; membangun Komisi Perkawinan untuk merancang peraturan perkawinan yang seadil-adilnya tanpa menyinggung pihak tertentu.


Dikutip dari wartafeminis.com 14 Maret 2007


Kepustakaan:
Hardi, Lasmidjah, ed. 1981. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran), Buku I. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.
Hardi, Lasmidjah, ed. 1985. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalam dan Pemikiran), Buku V. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.
Suwondo, Nani, S.H. 1968. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat.Jakarta: Timun Mas.
Siaran Perwari, Tahun I No.3 Desember 1950
(@Umi Lasmina, 22 Desember 2006)

11 August 2014

Pernyataan Resmi SAYA Berkaitan dengan Publikasi Hilangnya ASS

Menyangkut publikasi hilangnya anak saya Abigail Syaza Satwika pada Jumat pagi, 8 Agustus 2014 sekitar pukul 09.21 - 10.30 WIB di sekolahnya, berikut pernyataan resmi saya:

Mengingat LAPORAN KEHILANGAN ABIGAIL SUDAH DI TANGAN POLRES JAKSEL BESERTA FOTO YANG DIPERLUKAN, maka pencarian ABIGAIL saya telah serahkan ke negara serta menunggu info resmi hanya dari negara, bukan dari siapa pun atau dari media mana pun.


Sebagai info penting, laporan dibuat karena pada saat kehilangan Abby, SAYA BERADA DI LOKASI KEJADIAN dan SEDANG MENUNGGUI ANAK SAYA,
HINGGA LAPORAN KE PIHAK BERWAJIB DISAMPAIKAN, TIDAK ADA SEORANG PUN YANG MENGHUBUNGI SAYA ATAU PIHAK KELUARGA SAYA, UNTUK MENGAKUI TELAH MENGAMBIL ABBY DIAM-DIAM DARI PENGAWASAN SAYA.

Demikian pernyataan ini saya buat sebagai pernyataan resmi terakhir, sampai saya mendapat informasi resmi dari pihak kepolisian tentang keberadaan anak saya dan tidak akan saya ubah sampai saya bisa mengakses anak saya ASS.

Terima kasih dukungan, doa dan bantuan dari semua pihak.

04 February 2014

Sebuah Ulasan, Persembahan untuk mengenang RENE CONWAY: Film 12 Menit Untuk Selamanya - Marching Band Berprestasi Internasional dari Kota Bontang

gambar: kaskus.co.id
Ini kali kedua saya nekat mengomentari sebuah film tertulis dan dipublikasikan setelah Film Rayya, yang kebetulan menampilkan bintang utama yang sama, Titi Rajo Bintang.
Perlu saya sampaikan kembali, bahwa saya bukan orang film, atau pengamat film atau siapa pun yang mengerti soal perfilman, khususnya film Indonesia. Saya menulis ulasan sederhana ini karena ikatan emosi dengan kota Bontang, tempat film ini dibuat. Saya pernah tinggal di sana tahun 2003 hingga 2008, dan tahu, Marching Band Bontang Pupuk Kalimantan Timur (MBBPKT) adalah kebanggan warga Bontang karena prestasi-prestasinya baik tingkat nasional maupun internasional. Prestasi MBBPKT inilah yang saya yakin menarik diangkat ke layar lebar, selain sekadar mengangkat ide cerita dari novel yang ditulis oleh Oka Aurora.
Mengangkat persiapan dan perjuangan MBBPKT kota Bontang menghadapi  kompetisi nasional tahunan marching band, Grand Prix Marching Band (GPMB) di Jakarta yang di warnai secara dramatis konflik tiga anggota marching band. Lahang (Hudri) pemuda Dayak yang ulet berlatih untuk mengejar mimpinya menjadi bagian kemenangan MBBPKT, Tara (Arum Sekarwangi) yang menyimpan kemarahan terhadap ibunya yang dianggap membuang dirinya ke rumah opa (Didi Petet) dan omanya (Niniek L. Karim) di Bontang dan Elaine (Amanda Sutanto) yang baru pindah karena mengikuti ayahnya, yang berkewarganegaraan Jepang, bertugas di salah satu perusahaan di lingkungan pabrik Pupuk Kaltim (PKT).
gambar: grazia.co.id
Digambarkan betapa Rene (Titi Rajo Bintang) tak hanya piawai melatih, namun juga mau tak mau terlibat dalam pemecahan masalah pribadi anggota marching band. Ini dilakukan demi kebersamaan yang sangat dibutuhkan demi keberhasilan kelompok. Perjuangan dan usaha Rene memimpin kelompok, melawan ego pribadinya maupun memenangkan hati orang-orang yang dilatihnya menjadi jahitan yang baik saat mengurai satu per satu konflik di film ini. Memang, saya tak bisa membayangkan, bila dalam persiapan untuk sebuah kontes nasional dengan anggota kelompok 130 orang yang peran dan fungsinya saling mengait satu dengan yang lain harus kehilangan anggota akibat masalah pribadi. Bisa bubar semuanya.
Beberapa pengambilan gambar lokasi latihan di tempat yang berbeda-beda seperi Pelabuhan Lhoktuan dengan latar belakang pemandangan kompleks pabrik PKT dan pemukiman di atas air laut Kelurahan Bontang Kuala, menjadi promosi pemerintah kota Bontang dalam hal pariwisata. Kota ini memang memiliki kekuatan di  pemandangan lautnya yang cantik di antara dua kompleks industri nasional Pupuk Kaltim dan PT. Badak NGL yang memiliki perpaduan tata letak layaknya perumahan di negara barat dengan rumah-rumah tanpa pagar dan kompleks bisnis tersendiri serta pantai.
Perlu diketahui, selain memiliki pemandangan alam bagus, wisata kuliner juga menjadi kelebihan kota Bontang. Mulai dari keunggulan masakan-masakan lautnya, hingga bakso dan mie ayam ada di sana. Percayalah, saya tahu benar, semuanya enak.
gambar: forum.kompas.com
Film ini juga menyelipkan latar kebudayaan Dayak dari tokoh Lahang. Saya sendiri sepanjang bermukim di Bontang tidak pernah tahu apakah ada pemukiman Dayak di sekitar hutan bakau pinggiran kota seperti yang digambarkan. Tapi tentu perlu mengangkat budaya asli Dayak untuk menguatkan gambaran penonton soal Kalimantan, khususnya Kota Bontang yang terletak di provinsi Kalimantan Timur. Yang menarik, kehidupan dan budaya Dayak tidak sekadar jadi tempelan di film ini. Penggarapnya serius menggambarkannya melalui tokoh Lahang dan ayahnya yang sedang sakit keras.
12 Menit, judul ini dipilih karena perjuangan berlatih selama ribuan jam adalah untuk tampil hanya 12 menit di kontes nasional dimaksud. Turut juga ditampilkan beberapa pejabat daerah di penghujung persiapan menuju kontes nasional GPMB. Penonton diajak ikut berdebar-debar berharap MBBPKT dengan segala ujian yang dilewatinya bisa memenangkan kontes tersebut. Puncak perjuangan dan konflik sungguh menguras air mata. Beberapa gambar kontes merupakan rekaman asli even GPMB di Istora Senayan Jakarta dengan bahkan menampilkan Jokowi sebagai pembuka kontes.
gambar: plus.google.com
Film ini membawa pesan penting untuk tidak menyerah dan bekerja keras dalam mewujudkan mimpi. Tontonan bagus penuh inspirasi. Mungkin beberapa kelambatan tempo dari adegan satu ke adegan lain dalam beberapa bagian sedikit membuat kita kedodoran momen. Perpindahan cepat beberapa adegan bisa menutupi sedikit kebakuan akting dan blocking beberapa tokoh yang memang diambil dari anggota asli marching band. Tentu, untuk ukuran baru pertama kali berakting, mereka sudah termasuk lumayan, tak terlalu jomplangdengan penampil-penampil lain yang lebih luwes berakting karena lebih lama pengalamannya.
Marching band masih belum secara luas dilirik sebagai kelompok bermusik yang populer. Keindahan penampilan MBBPKT di film ini diharapkan mampu mengangkat marching band menjadi kegiatan bermusik dengan menjunjung kerja sama dan kerja keras untuk mencapai keberhasilan. Saya tak ingin melupakan peran besar sang pelatih asli MBPKT, Rene Conway (aslinya adalah laki-laki) yang sudah membawa MBBPKT ke arena-arena nasional bahkan ke arena internasional. Kita bisa dengan mudah mengakses video-video penampilan mereka di Youtube. Rene Conway sempat hadir di bagian akhir film, sesaat sebelum MBBPKT berlaga, mengenakan seragam tim pendukung kuning-hitam.
gambar: vimeo.com
Dengan tak malu-malu, saya mengimbau untuk bergegas menonton dan mengajak yang lainnya juga. Tulisan ini adalah upaya promosi sukarela saya untuk film 12 Menit Untuk Selamanya. A must seen film!

01 February 2014

Menemukan



bila waktu pulang dalam wujud yang tak kukenali

maka aku memilih sunyi

tak bicara seperti makam murung

penungguan panjang hingga mati

aku selesai mengenal sia-sia

25 January 2014

Manipulasi Seksual juga "Pembunuhan"

Sumber: http://senidankreasiperempuan.tumblr.com/post/72539749457/manipulasi-seksual-juga-pembunuhan


Kurang lebih dua bulan lalu seorang pemimpin redaksi sebuah Stasiun Televisi menghubungi saya dan menanyakan pendapat saya mengenai sebuah kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang mahasiswi. Saat ia menyebutkan nama pelakunya saya terkejut. SS, pelaku yang disebutnya itu bukan nama asing. Saya mengenalnya dari  keaktifan saya menulis puisi beberapa tahun silam, dari pertemuan-pertemuan dan interaksi dengan para sastrawan. Sesekali saya bahkan pernah menautkannya di puisi yang saya tulis dan muat di jejaring sosial Facebook. Saya sempat berharap kritik dan komentar SS dan beberapa pegiat sastra lain karena saya merasa masih belajar.
Menulis, terutama menulis puisi, beberapa tahun silam saya pakai menjadi salah satu cara terapi mengelola efek trauma trauma berlapis akibat kekerasan seksual dan kekerasan domestik yang saya alami di masa lalu. Dimulai sejak saya masih kecil, belum lagi genap berumur lima tahun saat harus berpisah dengan masa kanak-kanak yang gembira dan polos. Direnggut predator seksual yang tinggal berdekatan. Karena kejahatan seperti itu bagi orang tua saya bukan hal yang baik dibicarakan, maka keluhan seorang anak kecil seperti saya tak pernah disikapi serius. Saya mengerdilkan dan mengubur rapat peristiwa itu dalam kepala kecil. Saya berdiam dan paham bahwa ini hal yang sangat tabu untuk dibicarakan, apalagi diadukan untuk mendapat perlindungan. Tiga tahun kemudian neraka itu berulang, bahkan dilakukan salah seorang anggota keluarga yang sehari-hari mengasuh saya. Saya alami selama tiga tahun sampai saya menjelang remaja. Ini melempar saya ke lubang yang lebih dalam dan kali ini saya tak berani mengadukannya, tahu tak akan mendapat tanggapan yang semestinya. Saya menyimpannya lagi rapat-rapat, berusaha melupakan meski pun tak pernah bisa benar-benar melupakannya.
Saya tumbuh dengan trauma mengerikan, berkembang membawa pemahaman keliru tentang tubuh saya. Hingga dewasa saya sulit mengenali dan menandai orang-orang yang hanya ingin mengeksploitasi keuntungan seksual dari tubuh perempuan. Para penjahat yang bahkan tak pernah benar-benar bertanya apa interaksi seksual yang dilakukannya juga mendapat kegairahan yang sama mengingat relasi yang timpang. Relasi yang hanya akan menguntungkan satu pihak dan menciptakan kemarahan dan kesedihan terpendam di pihak yang lebih rentan. Sulit menolak dan melawan, karena  melakukan sebuah upaya setelahnya saya takut  ditertawakan dan dihakimi.
Jangan pernah mengira para pemangsa tak tahu siapa yang akan mereka mangsa, mereka tahu dan paham cara memanfaatkan pengaruh mereka untuk menguasai dan mendominasi korbannya. Bahkan ada yang mampu mempertahankan pola relasi manipulasi menahun karena korbannya merasa dibina, diterima dan hanya dicintai oleh pemangsanya. Korban baru akan paham apa yang sebenarnya menimpanya setelah pemangsanya sudah meninggalkannya dan sedang mengejar atau sudah sedang memangsa korban lain. Pemangsa lebih pintar bahkan akan menahan diri beberapa lama sebelum melakukan aksinya lagi untuk memberi kesan “setia” pada korban sebelumnya.
Yang saya yakin tak pernah terpikirkan oleh siapapun, bahkan oleh korbannya, adalah manipulasi seksual dari relasi tak setara seperti ini memiliki efek trauma yang bisa sama dengan bentuk kejahatan kekerasan seksual lain. Manipulasi seksual seperti ini adalah bagian dari kerasan seksual itu sendiri. Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan yang mengakibatkan efek trauma terburuk dan terpanjang. Korban kekerasan seksual tak hanya terampas hidup dan kehidupannya, ada bagian dari jiwanya yang terbunuh, mati bersama pengalaman kekerasan yang dialaminya.  Begitu rumit proses atau upayanya melupakan dan mengubur dalam-dalam ingatan akan kejadian yang menimpanya. Yang mengerikan, korban umumnya lalu tidak memiliki kemampuan memahami hak atas tubuhnya sendiri. Banyak korban menjadi korban berulang karena luput paham dirinya di”properti”kan (dianggap milik orang tertentu). Ini disebabkan relasi-relasi yang dibangun oleh para pemangsa sebagai bentuk hubungan wajar dan diterima diam-diam oleh masyarakat sebagai bentuk hubungan (yang dianggap) suka sama suka. Ironis sekali, di lain pihak masyarakat mengecam hubungan seks yang dianggap tak dalam koridor yang benar. Tapi permisif atau menerima manipulasi seksual sebagai hubungan suka sama suka sebagai bentuk relasi. Kasus manipulasi seksual berkontribusi pada tingginya korban kekerasan seksual. Para korban yang hanya bisa diam dan tunduk pada kesepakatan yang tidak pernah dia dibuat, tapi “kesepakatan semu” masyarakat umumnya dengan pemangsa, yang tentunya pada akhirnya menguntungkan pemangsa.
Karena kondisi ini pulalah maka sebagian besar korban atau hampir semua korban manipulasi seksual urung menangani traumanya. Padahal trauma yang disimpan terlalu lama, akan terus menggunung efeknya dan puncaknya sama persis seperti efek trauma kekerasan seksual lain seperti pemerkosaan dengan kekerasaan fisik berat. Tidak jarang, adanya penyangkalan, menyalahkan diri sendiri dan usaha menutupi serta melupakan adalah beberapa efek trauma khas korban.
Untuk benar-benar memahami efek trauma korban, berikut daftar panjang efek-efek trauma korban kekerasan seksual:
Efek umum trauma paska kejadian yang langsung dialami korban kekerasan seksual:
  1. Syok
  2. Kedinginan
  3. Perasaan ingin pingsan
  4. Kebingungan mental
  5. Disorientasi (tokoh, peran, waktu & tempat)
  6. Gemetar
  7. Mual
  8. Muntah-muntah
Sedangkan pada penyintas (survivor) gejala trauma fisik meliputi: 
  1. Masalah ginekologi (kesehatan reproduksinya)
  2. Pendarahan atau infeksi
  3. Rasa sakit di seluruh tubuh
  4. Memar/luka gores/luka yang lebih dalam
  5. Mual dan muntah-muntah
  6. Iritasi tenggorokan (menyebabkab tercekat)
  7. Sakit kepala karena meningginya tekanan darah
  8. Rasa sakit di punggung bagian bawah dan/atau perut
  9. Gangguan makan
  10. Gangguan tidur
Ini adalah berbagai penyimpangan kebiasaan akibat trauma kekerasan seksual :
  1. Menangis lebih sering dari biasanya
  2. Kesulitan konsentrasi
  3. Kurang bisa mengatur pola istirahat
  4. Kurang bisa menikmati waktu santai
  5. Selalu waspada dan berjaga-jaga
  6. Gangguan kemampuan bersosialisasi ATAU bersosialisasi berlebihan
  7. Tidak suka ditinggalkan sendirian
  8. Gagap atau terbata-bata lebih dari biasanya (akibat tercekat)
  9. Menghindari hal-hal yang mengingatkan pada kejadian kekerasan seksual yang dialami
  10. Mudah takut dan terkejut
  11. Cepat kesal untuk hal sederhana
  12. Kehilangan ketertarikan pada hal-hal yang bagi orang lain menarik
  13. Selalu bermasalah pada hubungan/relasi yang melibatkan emosi
  14. Mudah kecewa
  15. Lebih sering menarik diri dalam kondisi tertentu
  16. Mengonsumsi alkohol/rokok/obat-obatan (atau meningkat bila sebelumnya sudah mengkonsumsi)
  17. Lebih sering mencuci tangan dan/atau mandi
  18. Penyangkalan bahwa kekerasan seksual yang dialami tidak pernah terjadi
Gejala trauma psikis:
  1. Gangguan pikiran dan kekesalan
  2. Merasa kotor
  3. Ingatan berulang
  4. Mimpi buruk
  5. kesal pada hal-hal yang mengingatkan pada kejadian
  6. Fobia dan/atau trauma phobia
  7. Amnesia sementara
  8. Kebas atau rasa kehilangan emosi
  9. Bingung harus merasakan apa
  10. Merasa akan mati lebih cepat
  11. Depresi dan kesedihan
  12. Ingin bunuh diri
  13. Gusar dan kemarahan
  14. Lebih takut dan cemas berlebihan
  15. Malu dan terhina
  16. Merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri
  17. Merasa bertanggung jawab atas kejadian
  18. Merasa berbeda dan berjarak dengan orang lain
  19. Merasa tak tertolong dan tak berdaya
  20. Kehilangan penghormatan pada diri sendiri
  21. Kehilangan percaya diri
  22. Merasa selalu lebih kurang dari yang lain dan tak berharga
  23. Pada kekerasan seksual masa kanak-kanak, perkembangan emosi penyintas akan berhenti di usia pertama kali penyintas mengalami kejadian/serangan pertamanya
  24. Tidak lupa tapi selalu menemukan cara menghadapi/menghindari kenyataan (otak & otot)
  25. Merasa konseling/terapi belum tentu menolong
  26. Ragu dan takut menceritakan kejadian
  27. Kalau pun berani bercerita, di awal-awal, penyintas akan mengingat dan merasakan hal yang persis sama dan kembali menggerakkan gejala-gejala awal, tapi dengan lebih seringnya penyintas mengungkap dan menerima keadaan diri, pemulihan akan terjadi secara perlahan-lahan.
Efek khas lain:
  1. Migren
  2. Bulimia atau anoreksia
  3. Ketidakmampuan untuk mempercayai
  4. Perfeksionis atau malah sebaliknya, sangat sembarangan
  5. Menghindari ikatan/keintiman emosi
  6. Tidak mempercayai intuisi diri
  7. Belajar mengadaptasi kejadian sesungguhnya menjadi seolah-olah itu imajinasi (penyangkalan)
  8. Bisa saja membela pelaku
  9. Problem mengasuh anak
  10. Khawatir berlebihan
  11. Kebingungan berhubungan seks, apakah karena dorongan nafsu atau cinta
  12. Kebingungan berhubungan seks, antara mengontrol dan menguasai atau menjadi pasif 
(di kutip dari bahan pelatihan konseling yang diadakan oleh Lentera Indonesia tahun 2011, dibawakan oleh dr.Veronica Salter, terapis kekerasan terhadap perempuan lulusan Oxford University yang kini berdomisili di Jamaica)
Penutup
Pada trauma yang berlarut hingga menahun, seringkali korban pada saat terapi medis didiagnosa mengalami gangguan kejiwaan spesifik. Ini disebabkan banyaknya korban tak mengurai kejadian traumatis yang dialami dan disimpannya sampai menahun, dengan efek trauma yang berkepanjangan.
Jangan mengira bahwa saat korban sudah menjalani serangkaian terapi maka itu akan menghilangkan efek trauma yang dibawanya, tidak. Terapi hanya bisa mengurangi dan memberdayakan korban untuk mengelola efek traumanya; terutama upaya mendampingi korban untuk menjadi penyintas. Usaha terapi untuk membantu survivor berfungsi secara social kembail, memperjuangkan bagian hidup yang dirampas karena kejahatan yang menimpanya. Beberapa efek trauma bahkan bisa muncul kembali bila penyintas mengalami kondisi sangat sulit yang membuatnya stress berat dan depresi di kemudian hari. Ini trauma yang dibawa hingga akhir hayat, yang efeknya terus bekerja menghantui para penyintas, seperti yang saya alami.
Oleh sebab itu, selalu saya ingatkan ke khalayak luas, bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan, mengingat efek trauma yang harus kami -para penyintas dan korban bawa terus seumur hidup. Kami pernah “dibunuh” dan setiap hari, harus berjuang melawan efek traumanya!
Dari pengalaman dan kesadaran bahwa begitu banyak korban kekerasan seksual, saya mempelajari isu kemanusiaan lebih dalam. Saya belajar memahami akar kekerasan berbasis gender dan seks, belajar segala sesuatu yang menyangkut isu kelompok rentan khususnya perempuan dan anak. Lalu saya dan teman-teman juga terus berupaya mengampanyekan bahwa anti kekerasan seksual bukan sekadar gerakan perlawanan tapi sebagai ide perubahan. Semua usaha ini adalah perubahan cara pandang, dari sekadar nuansa seksual (kriminal) ke kejahatan kemanusiaan. Saya juga berharap juga negara ini segera memiliki undang-undang khusus kekerasan seksual yang utuh agar perempuan bisa dilindungi sesuai hokum dan implementasi hokum yang komprehensif. Harapan kita bersama demi keadilan untuk para korban dan penyintas. Keadilan untuk semua.
7 Januari 2014