27 September 2012

NEGERI KONON


Pagi kita disuguhi berita
Anak-anak beradu senjata dalam amuk
Ada yang mati
Ada yang protes
Tak ada yang peduli

Siang kita disuguhi berita
Ada lagi anak-anak yang mati
Untuk karyanya yang dipertahankan dengan darah di negeri orang
Tak ada yang peduli

Malam kita disuguhi berita
Ada anak-anak yang bertanya
Dimana batik dan ulos berasal
Karena dongeng mengajar keduanya berasal dari tanah leluhur
Namun museum negeri seberang yang memeliharanya

Negeri kita tinggal sekadar berita tivi dan online
Drama harian dengan rating bagus dengan aktor yang dibayar APBN

26 September 2012

MELACUR II



P e l a c u r
Kata yang sungguh kita murkai karena kehilangan arti

Feminis dikatai pelacur
Sosialis dikatai pelacur
Pluralis dikatai pelacur
Sedikit lebih manis dari istri atasan dikatai pelacur
Sedikit lebih modis dari pada sekadar munafik dikatai pelacur
Lalu apa beda dari sekadar bilang kue cucur
Bila merendahkan hanya soal rima
Sementara pelacur-pelacur sejati yang tak pernah siap mati,
adalah  mereka yang lupa amanah,
dan membuat hati rakyat bernanah!

MELACUR


jika kau pikir
melacur semata-mata soal gincu merah menyala
dan bau parfum murah
maka kau salah

pelacur dengan kesepakatan berdagang
setara dan memenuhi standar transaksi
dan dengan congkak kau anggap setengah manusia
maka kau salah

karena

banyak pelacur lebih murah bahkan murahan
yang tidak bekerja untuk kita
padahal makan dari cukai kita

banyak pelacur lebih murah bahkan murahan
yang tidak membela hak-hak kita
padahal makan dari jerat hutang negeri
dimana kita beserta turunan kita yang harus membayarnya

banyak pelacur lebih murah bahkan murahan
yang melacurkan diri atas nama rakyat
yang lapar
yang kedinginan
yang kehujanan dan kepanasan
yang ingin sekolah namun tak mampu
yang perlu berobat tapi disuruh pasrah pada kematian

banyak pelacur murah dan murahan
dengan bangga dan menepuk dada
menyamar jadi pemimpin!

Bencana


Alam pandai menulis
Tentang tawa dan air mata
Nyaris tanpa metafora
KIta, tak pernah pandai membaca!

HABIS

(kepada Para Buruh Migran)



kau tak dapat memilih

hidup tak memberi banyak

dan,

para pemimpin bahkan merampas juga

: kehormatanmu sebagai manusia

19 September 2012

Puisi: DENDAM II


Ingin kukemas diriku dan menyimpannya di sebuah tempat tak bernama

Membiarkan perang-perang kecil terkunci waktu

Menyelipkan peristiwa-peristiwa penting dalam lipatan ingatan



Kusimpan cermat dan rapat di sebuah sudut dalam diriku

Sejarah yang melahirkan dan menegakkanku kini

Yang lara dan murkanya tak lekang dimakan waktu

Aku menamainya DENDAM

Puisi: (fake) LONGING


aku menjaga jejak-jejakmu di sekujurku

menanti dengan tabah waktu yang lamban berlar
i

mencipta jarak dari kemarahan-kemarahan

menegarkan bekas-bekas luka

mengubur penyangkalan-penyangkalan

menyeret hati yang mulai mati

untuk mencapaimu lagi

Puisi: DENDAM



Malam turun lambat-lambat
Anakku menjelang lelap
“Ibu aku ingin bertanya”
“Tentu anakku, aku akan menjawab pertanyaanmu”
“Ibu, bila negeri kita kaya seperti lirik lagu-lagu,
…mengapa untuk makan ibu harus mengejar terbit matahari menuju tenggelamnya,
…mengapa untuk aku dan adikku sekolah ibu merendahkan diri menghiba pinjaman,
…mengapa untuk berteduh pun ibu memeras malu dimaki pemilik kontrakan?”

Aku menghela nafas panjang
Yang terpanjang selama aku hidup
Lalu diam
Mengumpulkan keberanian untuk menjawab
Memungutinya dari sudut-sudut tersembunyi dalam diri
Pada puisi-puisi aku bisa berteriak
Pada orasi-orasi aku mampu menantang
Namun berseberangan tatap dengan anakku aku luruh

Sambil menahan air mata, lirih aku menjawab
“Karena negeri ini sedang menunggumu Nak,
…menunggu anak pandai sepertimu menjadi hakim,
…yang akan mendudukkan para pejabat rakus,
….dan pengusaha tamak,
…di kursi pesakitan,
…mempertanggungjawabkan hak kita yang mereka nikmati,
…yang mereka rampas selagi kita lapar dan ketakutan dikejar hutang.”

Lalu anakku mengangguk dan menuju mimpi yang entah apa
Sementara aku lara
Telah menanam dendam dalam kepolosannya

Aku tak tahu bagaimana berdoa ,
memohon waktu berhenti mewariskan kebencian
Berhenti karena hari mulai pagi dan yang tersisa air mata
Ibu yang menanak doa,
tak lebih baik dari yang menanak air mata



Jakarta, 19 september 2012

Puisi: AKU MALAS MENULIS


Aku malas menulis
Kehilangan tempat untuk duduk tegak
Dimana aku bisa melihat wajah-wajah lelah dan palsu
Kalau pun aku berdiri di tempat yang sama tanpa bangku
Kelelahan dan kepalsuan itu bukan lagi penyamaran

Aku pernah diajari: Tak baik menulis tentang kejujuran, tak akan ada yang membaca

Aku malas menulis
Tak banyak yang membaca soal kejujuran
Luka semua orang terlalu dalam untuk diakui,
apalagi dimengerti

Aku berdiri di tempat aku biasa duduk untuk menulis
Lelah dan palsu
Penulis-penulis lain berebutan mencari sudutnya,
sibuk menulis tentang aku
Tak perlu mengakui atau mengerti,
hanya perlu menulis

Tentang kekelahan dan kepalsuan,
yang paling menarik dan berbeda cara,
dialah pemenangnya
Besok pagi, kita membaca tulisannya
di media terkemuka

Aku, makin malas
Jangankan menulis,
Membaca pun tidak
Diam di tempat aku biasa duduk untuk menulis
Memberi tempat untuk kelu
Membiarkan diri untuk bukan apa-apa
Nadir tapi tak patah
Agar tahu kapan merasa lelah dan palsu



Film Raya: Percakapan Hati dan Pikiran Saya di Ruang Bioskop



Sungguh, saya kehilangan gairah menulis akhir-akhir ini dan undangan mas ToTo Raharjo menuntun saya kembali menulis meski diiringi kemalasan yang menggantung di kepala dan di tangan.
Baiknya saya segera mambahas Film Rayya saja tanpa basa basi.

Ide cerita sederhana soal perempuan bernama Rayya yang sedang bersinar karena popularitas sebagai bintang sedang di puncak-puncaknya. Di titik ini justru ia merasa gelap. Atmosfir yang ingin atau ia harapkan dirasakan setiap orang dimana pun ia berada. Rayya berharap gelap yang ada dalam dirinya terbaca. Ia berharap kegelisahan, kemarahan sekaligus kesedihan yang mulai mengerak jadi dendam dirasakan juga oleh semua orang sampai dalam suatu proyek ia bertemu dengan Arya, fotografer senior yang memiliki luka yang sama dengan Rayya, namun bisa disikapinya berbeda.
Rayya meneggakan dendamnya menjadi kekuatan sedangkan Arya mengikhlaskannya menyatu mengalir sebagai bagian hidup yang memang harus dilewati dan terus berjalan maju.

Saya senang dengan pertemuan dua karakter Rayya dan Arya, siapa pun yang telah memilih nama-nama bagi kedua tokoh ini, ia sesungguhnya ingin penonton tahu bahwa selalu ada dua sisi berbeda dalam tiap diri manusia saat mengalami hal serupa yang dialami Rayya dan Arya.

Perjalanan Rayya (juga Arya) menemukan dan menentukan peristiwa mana yang harus dikunyah menjadi  pelajaran disekujur  film ini menuntun saya menuduh siapa pun di balik film ini memaksa penonton hanya menarik pelajaran-pelajaran positif. Beberapa penegasan yang tak perlu dimunculkan kembali di akhir film, padahal adegan respon Rayya di setiap penegasan itu cukup kuat. Kita lihat ekspresi  Rayya saat uangnya dikembalikan oleh ibu penjual kudapan khas Jogja. Ia terkesiap soal pelajaran menegakkan martabat, dan itu tak perlu ditegaskan lagi di akhir film.

Selain itu, saya percaya di balik film ini ada banyak orang pintar di bidangnya. Ini dibuktikan dengan kegaduhan kreatifitas dalam film ini. Kelihatan jelas kegaduhan itu di sepanjang film, semua orang kreatif memaksakan karyanya ke dalam setiap scene film. Yah, bagus sih, Cuma yaitu tadi, gaduh. Apapun itu, artistiknya menarik dan saya cukup terhibur dengan kombinasi-kombinasi warna, meski sedikit ngilu di adegan pemotretan Rayya di tengah perahu dengan bendera-bendera kecil beraneka warna. Saya yang awam kritik film menyebutnya “keramean” warna. Baju Rayya tenggelam dan mati di tengah warna-warni perahu dan bendera.

Kalau ingin mendapatkan pesan-pesan membangun dengan cara berbeda, saya menganjurkan untuk nonton film Rayya. Tapi bagi mereka yang hanya senang nonton film mudah cerna yaaa, film Rayya bukan tontonan remah-remah penghilang suntuk. Ini film cukup berat dengan dialog-dialog filosofis yang (diputis-)puitiskan. Temponya lambat tapi tertolong artistik yang cantik. Saya berharap ada perbaikan musik latar karena bisa jadi penolong adegan-adegan lambat dengan percakapan berat.

Bagi yang sedang mengalami titik puncak dalam bentuk apapun lalu merasa masih belum melakukan apa-apa, ini film yang saya anjurkan untuk ditonton. Tak ada pencapaian sebelum orang lain yang mengatakannya demikian, dan bila pun orang lain yang mengatakannya, belum tentu mampu mengisi relung-relung bisu dihati kita, yang digali luka dan pengalaman pahit. Dan banyak dari kita yang bertahan dengan hebat berkat dendam. Perlu kejujuran untuk mengakuinya.

10 September 2012

Kampanye Anti Perdagangan-Perbudakan Manusia Bersama MTV


Kampanye bermetode popular untuk isu yang jarang menarik perhatian anak muda nampaknya mulai menjadi strategi banyak pihak yang tak lelah berjuang. Sebut saja isu perdagangan manusia yang di dalamnya juga termasuk perdagangan dan perbudakan perempuan dan anak untuk tujuan seks komersial.
Isu yang cukup ‘purba’ ini telah menjadi bagian dari pekerjaan rumah bagi hampir semua pihak mulai dari pintu para pengelola negara hingga pintu rumah di dusun-dusun terpencil. Dari yang memiliki otoritas untuk mengendalikan hingga yang kerap menjadi sasaran kejahatan kemanusiaan ini.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut data International Organization for Migration (IOM), ada sekitar 6,5 hingga 9 juta tenaga kerja Indonesia bekerja di hampir seluruh penjuru dunia dan patut diduga 43 hingga 50 persen diantarnya adalah korban perdagangan manusia. Keadaan ini diperparah perantara perekrutan yang kita kenal dengan PJTKI (Perusahaan Jasa tenaga Kerja Indonesia) lebih sering beroperasi sebagai sindikat perdagangan orang dibanding menyalurkan tenaga kerja dalam koridor yang semestinya yang dapat menjamin tujuan kerja dan kondisi kerja yang aman.
Indonesia masih berada di urutan 2 indeks penanganan kasus perdagangan manusia dengan standar penanganan minimum sesuai standar penanganan kasus perdagangan manusia internasional.

Berita tentang tenaga kerja Indonesia perempuan yang pulang setelah mengalami berbagai kekerasan terutama kekerasan seksual menjadi makanan berita hampir setiap hari. Marah kita dibangkitkan sejenak, lalu karena begitu seringnya kita dihidangkan berita tentang hal ini, sesuatu yang mengerikan ini menjadi kewajaran bahkan kerap menjadi bahan menyalahkan korban yang dituduh merelakan diri dalam kondisi dijual dan disiksa demi lembaran rupiah. Betapa kejamnya ketidakpedulian….

Bukan hanya keluar negeri, pedagangan dan perbudakan manusia juga terjadi antar daerah di Indonesia, di depan mata kita. Pernahkah kita mencermati agen-agen penyalur tenaga kerja rumah tangga dengan pelbagai kasus kecurangan pihak penyalur? Dimana penyalur mencari tenaga-tenaga murah di desa-desa, terutama para perempuan muda, melatih mereka seadanya dan tak jarang juga melatih para calon pekerja rumah tangga ini menjadi bagian dari kejahatan dengan menyuruh mereka di periode tertentu menghilang hingga pemakai tenaga mereka harus menebus tenaga baru dari agen yang sama, sementara si PRT lama sudah ditempatkan lagi di tempat yang baru untuk melakukan modus yang sama. Para perempuan lugu dan polos ini ditakut-takuti akan dilaporkan ke polisi bila tak menuruti instruksi pemilik agen penyalur nakal. Ini membuat para korban perbudakan ini tak berani melawan dan terus mejadi bagian kejahatan hingga akhirnya tertangkap dan lalu tak pernah diakui sebagai bagian dari agen penyalur.

Lain lagi cerita yang pernah disampaikan kawan saya ketika mengunjungi sebuah rumah makan ++ di kota Balikpapan, yang pesonanya hampir menyamai pesona Jakarta, karena begutu banyak orang tertarik bekerja di sana dengan iming-iming gaji besar. Banyak gadis muda di”angkut” dari pulau Sulawesi untuk dipekerjakan mula-mula dijanjikan sebagai pelayan restoran atau setidaknya pegawai rendahan di salah satu perusahaan asing atau pertambangan, nyatanya setiba di kota tujuan, mereka dipekerjakan sebagai gadis-gadis penuang bir di resto-bar setempat. Pekerjaan yang rentan menjebak mereka ke kondisi menjadi korban perbudakan seksual.


Bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, United States Agency for International Development (USAID), the Australian Government’s Agency for International Development (AusAID), WALK FREE (gerakan pemberantasan perbudakan moderen) dan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), MTV Youth Focused Anti-Human Trafficking Campaign Program-MTV End Exploitation and Trafficking (MTV EXIT) menawarkan bentuk kampanye baru anti perdagangann dan perbudakan manusia yakni dalam bentuk konser musik dengan pesan-pesan penyadaran dan kepedulian terhadap persoalan perdagangan dan perbudakan manusia.
Di Indonesia, kegiatan ini dipusatkan di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat pada tanggal 1 September yang lalu. Mengapa Jawa Barat? Karena kenyataannya jumlah kasus perdagangan orang terbanyak terjadi di Jawa Barat dibandingkan di provinsi lain. Mengenaskan bukan?



Konser MTV EXIT ini didukung artis-artis peduli anti perdagangan dan perbudakan manusia. Setiap penampil ambil bagian meneriakkan pesan agar semua pihak terutama anak muda menjadi bagian yang turut memperkecil bahkan menihilkan angka kejahatan kemanusiaan ini baik denganedukasi bersambung mau pun turut melaporkan bila diduga terjadi perdagangan atau perbudakan manusia.

Sesuai misi utamanyanya, program MTV EXIT tak hanya lewat konser atau program live, juga lewat program televisi, konten online, dan kemitraan dengan banyak organisasi anti perdagangan manusia, mengampanyekan kebebasan kita sebagai manusia yang berhak memilih di mana kita hidup, bekerja, dengan siapa kita menjalin pertemanan, dan siapa yang patut kita cintai.  Kita juga diajak turut peduli nasib ratusan ribu orang di seluruh dunia yang hak-hak dasarnya sebagai manusia dirampas paksa untuk tujuan komersil dan kesenangan orang lain, yang merupakan korban perdaganan-perbudakan moderen.