14 June 2009

It Feels Like Magic

Malam itu aku berbincang dengan seorang kawan, Endy. Bukan kawan biasa tapi juga bukan seorang kekasih. Tentu, karena Endy berorientasi seksual bukan pada perempuan, kumanis-maniskan saja istilahnya.
Saat bersama selalu kami habiskan dengan ngopi bersama meski aku selalu memesan teh chamomile atau teh hijau hangat sedang Endy tergila-gila pada latte dengan extra krim; tentu lebih sering Endy yang seorang General Manager sebuah hotel mewah di pusat Jakarta menraktirku karena aku bukan orang yang bisa sering-sering kongkow di tempat-tempat mahal dengan pendapatan seorang penulis pemula.
Kami biasa membicarakan berbagai tema, mulai politik, masalah-masalah gender, sastra, pendidikan, sejarah hingga bertengkar untuk hal-hal tidak penting tentang apa yang dapat kami lihat yang tidak bisa dilihat orang lain, karena kami terlahir dengan bakat unik yang oleh kalangan ahli jiwa disebut indigo.

Hari itu begitu kami sedang membicarakan pemilihan presiden yang baru berlalu. Pembicaraan kami mengenai pemilihan umum selalu dibarengi ngotot hingga urat-urat serasa ingin loncat dari sekujur tubuh kami. Kami punya partai politik jagoan berbeda juga jagoan capres berbeda.
Setelah beberapa saat menyelesaikan debat dengan saling cubit yang bias dipastikan membuat biru, aku tiba-tiba bertanya :

“Ndi, is it true that if I touch someone and feel like something magic happened then he must be my true love?”

Endy menatapku dalam-dalam.

“I thought You found someone? Dari mana kamu dapat ide itu?”

“Who ? That handsome liar ? Owh..please, just answer my question….I watched Sleepless in Seattle last night”

“Owh that film, but You asked a gay for God’s sake”

“Emang kenapa? You’re much older than me, You had married twice also and finally found what You really really need in Your life….but hey, knock..knock…look at me!”

Sekali lagi, Endy menatapku dalam-dalam. Kali ini sambil meraih tangan kiriku.

“Ya, aku melihat seorang perempuan, teman istimewaku yang melulu terluka…”

“Ya…..” kataku lirih, “Tapi aku tak sedang bertanya soal mengapa aku selalu dikalahkan oleh those bastards, I was asking You about……”

“Ya…ya…I’ve heard what You asked ah, cerewet!” sambarnya.

“So?”

“Yes, it feels like magic…..”

Aku terpekur…. Bila benar begitu sungguh, aku belum pernah merasa seperti itu. Aku selalu memiliki standar tertentu yang kurasa sudah cukup rumit. Kurasa bila aku mencintai seseorang dan merasa selalu ingin menjadi lebih baik ketika bersamanya maka cukuplah. Dan standar bakuku ini tak pernah berhasil membuatku menemukan seseorang yang benar-benar menjadi yang selalu aku inginkan : seorang cinta sejati.

Tidak, menurut Endy, itu saja tidak cukup.

“You look so beautiful, You are smart, You are great and You have a very sensitive heart. Hatimu serapuh lapisan es tipis yang sewaktu-waktu dapat retak, pecah berantakan atau mencair atau bahkan membeku hanya dalam hitungan singkat. Untukmu, perlu seseorang yang tah hanya dapat membuatmu merasa dapat melakukan segala hal dengan lebih baik karena sesungguhnya tanpa siapapun kamu bias menjadi lebih baik. Ingat, bukankah setelah perceraianmu kamu justru bisa mengembangkan kemampuan menulismu kan?” Endy memberondongku, “Bila kamu bertemu dengan seseorang yang setiap kamu menyentuhnya selalu terasa seperti sebuah keajaiban plus setiap kamu bersamanya kalian akan selalu merasa segala sesuatu adalah mungkin dan merasa kalian tak perlu menemukan sebuah alasan mengapa kalian harus saling mencintai, that You had someone for real….”

Aku menarik nafas panjang. Sebuah penjelasan singkat yang menusukku begitu dalam. Aku tak pernah menemukan pria yang membuatku merasa sekomplit itu.
Lama aku dan Endy terdiam.

“I need a hug….” kataku begitu pelan.

Endy meraihku perlahan, begitu lembut dan hangat.
Aku luruh dalam pelukan seorang kawan istimewa yang baru saja menyadarkanku tentang hal yamg sebelumnya tqak pernah teripikir olehku, seorang Marcia Satwika, mantan praktisi pemasaran yang kini menyimpan semua blazer dan sepatu hak tinggi untuk menjadi penulis, dan memulainya dengan menulis puisi. Sebuah ketertarikan yang kugeluti sejak aku masih berumur sembilan tahun.
Puisi-puisi cinta yang sungguh menipu. Yang semua kata-katanya indah namun tak seindah nasib percintaan penulisnya. Yang jawabannya baru saja aku temukan malam ini, di Starbucks Grand Indonesia dan oleh seorang gay berumur 46 tahun, berbeda 10 tahun di atasku.

Tiba-tiba aku merasa begitu lelah. Begitu ingin segera pulang dan bertemu kedua putriku yang sedari tadi sudah begitu cerewet dan memenuhi kotak masuk pesan singkat telepon genggamku.

Tiba-tiba juga aku tersadar sesuatu…….. Ya ! aku baru sadar betapa uraian Endy sesungguhnya telah aku alami setiap hari, hampir setiap jam.
Yaitu saat aku menyentuh kedua putriku, aku selalu merasakan keajaiban dan bersama mmereka aku selalu merasa segala sesuatu mungkin.

Aku menyambar wajah Endy, menciumnya dengan penuh semangat, bukan di pipi tapi di bibir ! Tak aku pedulikan wajah-wajah terperangah pengunjung café itu.
Aku bergegas meninggalkan meja kami.

“Bye Endy, I gotta go home now!”

“Hei…hei…aku anter gak?”

“Gak Darling, aku gak mau buang banyak waktu ngikut kamu cari tempat parker. Naik taxi aja!”

Aku terus bergegas meninggalkan Endy yang masih bengong yang pasti sebentar lagi akan menelponku menuntut penjelasan sambil ngomel-ngomel. Tapi aku benar-benar harus bergegas karena tiba-tiba disergap rindu yang begitu kuat dan dalam.

Anak-anakku, tunggu mama yah, jangan tidur dulu…….




Jakarta, 14 Juni 2009
Untuk Vitae & Abby, belahan jiwaku