12 September 2010

Refleksi


: yaa


bayangan bumi di garis pantai yang berhenti bercakap saat kau menatap batasnya
ombak malu mencapai sudut kakimu yang menjejak pantainya
ia boleh punya samudera yang maha luas sebagai ayah
ia boleh punya palungpalung curam dan dalam sebagai ibu
tapi
padamu
ia melihat hal yang tak pernah bisa ia bagi

: membagi ilmu dengan pena




(Jakarta, Sept 12 '10)

04 September 2010

DI NEGERIku



di negeriku,

setidaknya kau harus punya  keahlian untuk bisa memimpin :

menghilangkan
dan
 melupakan



di negeriku,

setidaknya kau harus menutup rapat dua indera untuk  memimpin :

 mata
dan
telinga



di negeriku,

setidaknya kau harus tidak memiliki HATI

agar,

 tak retak melihat lapar

 tak layu menyaksikan air mata

 tak luka ditusuk koruptor busuk

 tak patah diremuk hak hidup yang kian redup



(dan sisanya adalah

siapapun yang siap dengan kata LAWAN!)







Jakarta, 30 Agustus 2010

Permintaan Pagi

tuhanku

di atas kasur ini aku berlutut

aku memang tak selalu menurut

tapi bebaskan aku dari selalu menuntut!

Killing Miner

suatu waktu aku menimang-nimang belati

baru saja kuasah di batu gelisah

ia siap mengucurkan darah

dari kepala yang pasrah

agar aku dapat membaca jelas isinya



: aku hanya operator, bukan investor yang rajin hadir di kantor penguasa setempat untuk setor



oh!

Balikpapan #4 : Perangkap Rasa

bayang bulan jatuh di pangkuan kota

di sebuah tempat bersantap tanpa atap

siluet para pekerja yang menenggak bir dingin setengah buram

sepatu boot berlumpur kering

tanda pengenal dari perusahaan

diskusi tentang departemen personalia yang kaku

dan

mata yang lebih rindu pada gadis lokal ketimbang istri di tanah seberang







Balikpapan, 13 Agustus 2010

Merah Putih

berkibarlah

berkibar di seluruh pantai

berkibar di sebelah bendera partai-partai



berkibarlah

berkibar di air mata lapar yang masih berderai

berkibar di atas hak yang masih terbantai



saat kau berkibar

banyak dari kami berdebar

(atau mungkin sadar?)

negeri ini belum merdeka benar!

Fiksi mini : Mengasah Aku

Kau tahu belati paling tajam yang akan melukaimu seumur hidup tanpa membunuhmu?
Aku.

Islam, Agama Pengasih & Penyayang

Islam, Agama Pengasih dan Penyayang

(refleksi dari seorang non-Muslim)

Semalam saya berada di tengah beberapa kawan mantan pengurus Perbanas Balikpapan-Kaltim untuk berbuka puasa bersama. Agak risih berada di tengah-tengah para bankir ini karena saya sudah mantan bankir sementara karir mereka melejit bak meteor. Sebagian besar sudah tidak lagi menetap di jabatan manager, sudah minimal di pangkat Vice President. Obrolan mereka juga dipenuhi dengan topik seputaran dunia keuangan, perbankan dan ekonomi baik mikro maupun makro. Sesekali saya menimpali jika mereka membicarakan nasabah-nasabah besar tertentu yang saya juga masih ingat saat saya masih bergabung dengan salah satu bank swasta dan ditempatkan di cabang Balikpapan. Kami saling melempar joke tentang penglaman saling berebut nasabah besar yang waktu itu di Balikpapan memang bisa dihitung dengan jari. Bagaimana akhirnya kami saling berbagi dana besar milik mereka dan menempatkannya dalam penempatan berjangka dan mempertahankan cabang yang kami pimpin dengan kesepakatan “saling bantu” itu. Selebihnya saya pusing dan malas ikut bicara, karena teman-teman banker ini ujung-ujungnya meributkan soal kredit macet yang (lagi-lagi) disebabkan para pengusaha pemain proyek besar yang tak punya tanggung jawab sebesar proyek yang mereka jual ketika mengajukan pinjaman.

Saya tergelitik juga mengritik mereka, sebuah kritik pedas. Dengan agak ngotot saya sampaikan bahwa alih-alih mereka salurkan pinjaman mereka ke debitur-debitur besar yang tak punya tanggung jawab besar lebih baik menghidupkan pinjaman-pinjaman untuk unit-unit modal usaha kecil, menengah dan koperasi yang prosentase pengembaliannya jauh lebih baik meski memang jauh lebih repot karena memang harus mau ribet mengurusi pinjaman kecil-kecil yang sangat banyak, belum lagi pengajuan ke direksi yang jauh lebih ribet dan belum tentu disetujui.

Ini karena para direksi juga berangkat dari jalur dan tangga karir yang sama dengan mereka, yang bahagia ketika penempatan dana dan penyalurannya bisa dilakukan dengan cara dan waktu yang efisien (artinya dalam waktu yang tak lama, haha!)

Seorang kawan yang kini berada duduk jajaran direksi sebuah bank swasta besar, sebut saja namanya John berujar bahwa wajar saja saya berkomentar demikian mengingat saya tidak lagi berada di lingkaran yang sama dengan mereka. Katanya, saya sudah jadi aktivis dan penulis yang memang punya kepentingan menyuarakan kepentingan orang yang lebih banyak dan kawan-kawan lain ramai-ramai mengamininya.

Saya tersenyum dan menyampaikan bahwa saya menulis bukan karena saya penulis, tapi karena saya berjuang lewat menulis khususnya lewat puisi, juga aktif menjadi bagian dari kegiatan gerakan sosial bukan karena saya aktivis melainkan karena ini saatnya saya merasa apa yang selama ini saya lakukan mandiri harus mulai merapat ke dalam bentuk yang lebih nyata bersama kawan-kawan lain yang berjuang lewat organisasi massa dan lembaga swadaya masyarakat, dan untuk itu 2 tahun lalu saya memutuskan keluar dari dunia pekerjaan formal, keluar dari dunia perbankan. Keluar dari kemapanan.

Tiba-tiba seorang kawan perempuan bertanya, “Kalo begitu elu sekarang siap-siap jadi santapan FPI dong.......kan setahu gue aktivis kemanusiaan itu musuhnya FPI”

Loh?

Saya teringat beberapa kejadian ketika organisasi masa agama itu di awal bulan puasa yang lalu terlibat banyak kekerasan dan perbuatan anarkis, dan lalu semua media, baik media konvensional cetak, televisi, radio maupun media on line memberitakan hal tersebut secara terus-menerus. Sebagian besar bangsa ini “gerah” dan kesal. Kaum minoritas yang merasa hak dasarnya diinjak-injak mengutuk, menyayangkan hingga menggelar pernyataan keprihatinan bersama. Sebagian besar umat Muslim Indonesia bahkan merasa FPI telah mencoreng nama umat Muslim Indonesia. Menciptakan imaji buruk tentang Islam di mata internasional.

Ini baru bicara satu ormas, belum lagi ormas dengan ideologi yang sama lainnya yang juga sering melakukan hal yang sama dan tersebar di hampir seluruh penjuru negeri ini. Ormas-ormas yang membentuk citra kurang sedap tentang umat Islam khususnya umat Islam Indonesia.

Mengenai hal ini, dari link berita on line mengenai penghentian ibadah beberapa rumah ibadah yang beberapa hari lalu pernah saya bagikan di dinding facebook saya, dan apa yang mereka lakukan menuai komentar yang seluruhnya bernada menyayangkan bahkan pedas. Termasuk saya juga juga melontarkan komentar pedas yang lahir dari rasa gemas tentang betapa cueknya pengelola negara ini terhadap kegaduhan yang saya khawatirkan akan melahirkan perpecahan dan rasa saling tidak menghormati antar keyakinan berbeda.

Pada kawan-kawan saya semalam lalu saya menceritakan pengalaman saya beberapa waktu lewat dan berharap mereka memetik sesuatu dari apa yang saya ceritakan.

Sungguh prihatin ketika seorang kawan berkebangsaan asing dari belahan dunia lain dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu bercakap-cakap dengan saya, dan apa yang dia pikirkan tentang umat Muslim sungguh membuat saya yang bukan Muslim ikut “gerah” namun tidak bisa menyalahkannya mengingat apa yang telah dibacanya lewat media mengenai kebrutalan ormas-ormas tersebut telah terlanjur membentuk cara berpikirnya yang mengeneralisasi seluruh umat Islam (kecuali beberapa orang yang dia kenal betul) dengan sebagian ajaran sebagai hal yang tak akan bisa dipahaminya memang sangat mengganggu.

Saat itu kami sedang bercakap-cakap soal bulan Ramadhan.

Taxi argo yang kami tumpangi di sebuah kota di Kalimantan nyaris menabrak pembatas jalan. Tentu saja saya mengeluhkan cara sang supir mengemudikan kendaraannya. Dengan wajah memelas supir yang kira-kira berumur 50 tahunan itu memohon maaf karena ia mengemudi dalam keadaan mengantuk karena sedang puasa dan tidak tidur lagi setelah santap sahur karena takut melewatkan shalat subuhnya.

Rasa iba saya terbit, tidak patut bagi saya meneruskan kejengkelan saya ketika saya tahu seseorang yang taat beribadah dan sedang mencari sesuap nasi ini saya cereweti meski saya tahu benar ia bersalah. Saya ambil keputusan untuk turun dari taxi dan meneruskan perjalanan dengan angkutan kota yang menurut saya bersih dan saya yakin lebih minimal bahayanya karena hampir semua angkutan tersebut memutar musik cadas dengan volume sangat keras yang saya yakin mengurangi resiko supir mengantuk, dan syukurlah perkiraan saya benar.

Kawan saya saat itu sama sekali tidak mau naik angkot, tapi saat itu saya memberikan pilihan tegas, ikut atau saya tinggal (hahahaha....saya teman yang galak ya!). Tentu saja dia tidak mau ditinggal di kota, bahkan di negara yang belum benar-benar dikenalnya.

Sepanjang perjalanan saya harus mendengar omelannya. Tentang udara yang panas, makanan yang pedas sampai pelayanan publik yang jadi memble karena hampir semua orang berpuasa. Ia menilai berpuasa menurunkan produktifitas dan menyusahkan. Dan saya dengan sabar meski sebal mendengarkannya dengan seksama. Mencermati omelan cepat panjang lebar dalam bahasa asing bukan perkara mudah.

Lama-kelamaan omelannya merembet ke soal betapa sebalnya ia pada para penganut agama garis keras yang sangat memaksakan ideologi dan menjadi tuhan terutama bagi orang lain yang berbeda keyakinan. Lalu ke soal betapa dimanapun di muka bumi ini, kaum mayoritas akan melahirkan kelompok-kelompok garis keras yang selalu mengatasnamakan kaum mayoritas untuk menindas kaum minoritas. Untuk persoalan itu saya sepakat.

Setelah ia diam saya meminta kesediaannya untuk mendengarkan saya.

Saya ajak dia turun di tempat yang bukan tujuan kami, masuk ke sebuah restoran dengan suasana sejuk dan mohon kesediaannya untuk mendengarkan saya sebentar. Saya pikir ini kesempatan dimana kami punya waktu agak luang dan saya, dengan segala keterbatasan yang saya miliki ingin menjelaskan beberapa hal soal apa yang ia keluhkan sebelumnya. Saya senang karena keseriusan saya untuk menjelaskan hal-hal tersebut di atas ditanggapi baik dan juga serius. Kami berdiskusi, saling bertukar pikiran, saling bertanya dan menjawab juga saling menghargai pendapat.

Padanya saya jelaskan bahwa puasa bagi umat Muslim bukan penyikasaan, sepanjang yang saya tahu puasa bagi saudara-saudara Muslim saya adalah waktu dimana mereka mengekang keinginan dan nafsu yang selama ini hampir tak terkendali. Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus di jam-jam tertentu tapi juga bagaimana mengendalikan semua kehendak negatif seperti amarah dan niat untuk berbuat tak baik. Berpuasa juga mengajarkan umat untuk merasakan kepapaan kaum miskin yang sering tidak beruntung karena tidak bisa minum dan makan seharian karena ketidakpunyaan dan ketidakberdayaan. Di bulan puasa umat punya momentum untuk merefleksikan diri, me-recharge diri dan memperbaiki hubungan dengan sesama manusia dan terutama momen mendekatkan diri lebih kusyuk pada Tuhan yang menurunkan agama ini sebagai agama yang ketika setiap umatnya menyebut “Bismillahirohmanirrohim” (maaf bila saya salah menuliskan) maka mereka telah menyiarkan keberadaan mereka sebagai umat dengan prinsip-prinsip umat yang pengasih dan penyayang. Jadi lanjut saya, tak patut bila secara umum umat ini digambarkan dengan imaji negatif dan teror kekerasan (di titik ini kawan saya menghela nafas panjang dan menyela bahwa dia tidak percaya bahwa hal ini disampaikan oleh saya yang keras menentang kaum fundamentalis dan bukan pemeluk agama Islam).

Padanya juga saya jelaskan bahwa puasa di Indonesia justru mempererat tali silaturahmi antar umat berkeyakinan berbeda lewat saling menghormati yang luar biasa, yakni ketika yang non muslim menghormati kaum Muslim menjalankan ibadah puasa dengan tidak atau menghindari makan, minum dan merokok di depan orang yang sedang berpuasa dan sebaliknya, ketika umat Muslim dengan besar hati menyediakan makan dan atau minum bagi tamu non Muslim yang sedang bertandang ke rumah atau kantornya di waktu belum lagi berbuka.

Bagi keseluruhan orang Indonesia, bulan puasa adalah bulan istimewa ketika semua merayakan detik-detik berbuka, jajan-jajanan yang hanya ada di bulan puasa dan kegembiraan berbuka puasa bersama, bahkan sahur bersama.

Di titik ini saya sampaikan bahwa saya ikut merasa mesra dengan bulan puasa karena mengagumi para pekerja yang tetap ulet bekerja meski agak lemas di awal-awal puasa. Para supir, pelayan restoran dan toko, pekerja kantoran dan lapangan, buruh, pedagang hingga pelajar yang menjalaninya dengan ikhlas, tulus dan gembira demi meraih kemenangan di Hari Raya Idul Fitri nanti. Saya menggambarkan dengan detail bagaimana setiap malam takbiran saya juga ikut merinding, hanyut di bawah talu takbir yang buat saya indah dan mampu menghadirkan imaji dan sensasi hebat tentang Sang Pencipta dan betapa kecilnya saya. Kebahagiaan juga selalu ikut hadir ketika pagi harinya saya menyaksikan orang berbondong-bondong dengan pakaian rapi, bersih dan harum pergi shalat Ied ke mesjid-mesjid terdekat maupun yang jauh.

Entah karena cara saya menjelaskan yang sangat ekspresif atau karena apapun itu, kawan saya begitu terkesan. Berkali-kali saya memperhatikan matanya yang berbinar atau kadang meredup mengikuti apa yang saya jelaskan. Yang jelas saya tahu ia larut. Larut karena saya tahu kemudian bahwa apa yang ia gambarkan tentang Islam di Indonesia tidak lagi seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Bahwa betapa ia kini mengerti bahwa selain semata-mata karena persoalan kemanusiaan, umat Islam di mana pun mereka berada juga menjadi kaum minoritas tentu merasa hal yang sama ketika ditindas dan dipinggirkan separti yang terjadi di nagara-negara Barat.

Yang unik, caranya memandang perempuan berjilbab juga sedikit berubah ketika saya menjelaskan bahwa ketika seorang perempuan Muslim memutuskan berjilbab karena ia merasa bahagia menjalankan ketaatannya, maka jilbab menjadi rambut yang layaknya mahkota.

Mungkin apa yang saya jelaskan hanya akan menjadi sesuatu yang sambil lewat saja bila tak ada momen lainnya yang betul-betul membuat saya terkesan. Beberapa hari sesudahnya di akhir kunjungan, dia meminta saya mengantarkan ke tempat dimana ia bisa membeli beberapa scarf dengan corak lokal untuk oleh-oleh. Karena saat itu saya pikir karena bulan puasa maka saya mengajaknya untuk membelinya di sebuah toko baju Muslim di sebuah mal yang sudah pernah saya lihat sebelumnya. Asumsi saya, di bulan puasa tentu toko baju Muslim menjual lebih banyak scarf yang biasa dipakai untuk jilbab dengan corak yang lebih beragam.

Ketika memasuki toko tersebut, kawan saya justru tertarik dengan semacam selendang dan topi Muslim pria yang didisplayed di patung tepat dekat pintu masuk toko. “It looks nice” katanya.

Setelah memilih beberapa scarf saya terkejut karena ia juga meminta pelayan toko untuk mengambilkannya selandang dan topi seperti yang didisplayed di patung yang tadu kami lihat untuknya. Saya tak yakin, dan ia meyakinkan saya bahwa ia memang ingin membelinya. Ketika saya tanya untuk apa, ia hanya bilang bahwa selandang dan topi itu bagus.

Tiba-tiba rasa lega hadir di hati saya, bahwa ketika kawan saya itu kemudian setidaknya tidak melihat busana Muslim yang kerap jadi simbol kaum Muslim, bukan lagi simbolisasi kaum fundamentalis garis keras yang tidak bisa dipahami perbuatannya.

Setelahnya, beberapa hari kemudian kami berada di gereja kami masing-masing di belahan benua yang berbeda, mengucap syukur untuk setiap anugerah yang kami terima, anugerah yang diijinkan menjadi bagian hidup kami untuk kami bagikan kembali bagi pada orang banyak yang sangat membutuhkan lewat kerja dan karya kami dimanapun kami ditempatkan dan berada.

Kembali ke restoran tempat saya dan kawan-kawan bankir saya berbuka. Semua terdiam mendengar apa yang baru saya sampaikan. Uda John, demikian saya memanggil kawan saya yang berasal dari Bukit Tinggi menepuk-nepuk bahu saya, “Saya jadi pengen nangis In..... Saya kok merasa kamu secara tak sengaja dengan tanpa kamu sadari dipakai menjadi alat Tuhan untuk menjelaskan bahwa Islam bukan seperti yang orang-orang Barat itu pikirkan dan kamu yang bukan orang Islam dengan segala keterbatasanmu sebagai orang yang memilih tidak memeluk agama apapun*) mau menjelaskannya pada teman kamu. Sementara saya kalo denger ada orang yang njelek-jelekin Islam cuma bisa marah doang tapi segan menjelaskan apapun padahal jelas-jelas saya tahu jauh lebih banyak dari pada kamu”.

Saya cuma tersenyum, bagi saya itu bagian dari tanggung jawab saya demi kemanusiaan. Bagian dari tanggung jawab saya menghormati dan menghargai pilihan orang lain seperti saya menghormati dan menerima pilihan saya sendiri untuk berkeyakinan sebagai kesadaran saya atas hak dasar yang saya miliki.

Saya berang pada ulah sebagian kecil kaum garis keras yang menistai umat lain dengan keyakinan berbeda karena saya sangat menghormati pilihan setiap individu bagi hidupnya selama tidak menimbulkan kerugian bagi yang lainnya.

Malam itu kami tutup dengan berpindah lokasi nongkrong ke tempat dimana kami bisa menikmati kopi panas sambil menunggu kemacetan reda sebelum pulang ke rumah kami masing-masing dan bertemu dengan orang-orang yang kami cintai.

Jakarta, 1 September 2010

*) I am a Jesus follower with no particular religion

Janji

aku berjanj,

untuk tidak merasa ditinggalkan

untuk menjadi lebih baik demi diriku

untuk percaya bahwa waktu tak menentukan segalanya

untuk meyakini bahwa jarak bukan jurang yang curam,



tapi maaf,



aku lupa pada siapa aku berjanji

: diriku atau dirimu

31 July 2010

Luka Turunan

: ibu pertiwi


aku kehilangan ibu
yang lari membawa belati
dan meninggalkan luka tikaman berkali-kali di tembuni

ibu lari membawa lara basah
aku ditinggal belajar mengasah
: belatiku sendiri

Matahari Tak Lagi Ingin Menyanyi

mendung yang menggantung tak dapat meremas hujan dari langit,
namun
petir yang datang dan perginya seperti pencuri,
menghanguskan dan mencipta genangan lara yang dalam dan kelam
membuat belajar (lagi)

:kebodohan selalu dibayar dengan harga sangat mahal

matahari tak lagi ingin menyanyi

22 July 2010

YESUS

bila Yesus berdiri di muka pintuku dan mengetuk
aku akan berseru : sebentar!
lalu para fundamentalis berujar tentangku : ia menolak uluran kasih setiaNYA
tak tahukah mereka, aku bahkan tidak tahu bagaimana rupa Yesus?
benarkah IA seperti gambar-gambar yang ditoreh oleh para pelukis Eropa itu?
karena IA hanya berdiri dan mengetuk tanpa menyebutkan identitas diri,
wajar bukan?

yang kutahu dan kupercayai : kasih dan janjiNYA tetap bahkan bagi orang yang telat membuka pintu karena merasa harus mengenakan baju yang pantas untuk menerima tamu

My own quote - Gagal

"menghakimi orang lain menggagalkan kita menjadi alat bagi rencanaNYA"
(Helga Worotitjan)

Lagu Pagi

bila burung-burung bernyanyi bagimu
di pagi yang memberi hidup yang begitu kini
maka
aku
adalah lirik-lirik yang dibangkitkan
oleh mimpimu

Jejak 3

bercinta
adalah jelajah ruang-ruang
di sekujur kau dan aku
maka,
telah kau isi aku
dengan seluruhmu
dan kau
juga merasa semakin semu sebagai kau

luruh
menjelma
Kita

Pejam

aku dan malam-malam senyap
adalah sepasang kekasih
yang mengerti
bagaimana menikmati suara hati

Runtuh

padamu,
aku ingin jatuh dalam rengkuh
berpeluh dan luluh

namun kau angkuh
dan tekunku runtuh!

Menantimu

menantimu,
seperti orang tua yang duduk di sepanjang senja di akhir hari musim semi demi musim gugur yang sebenarnya tak sampai sehari

menantimu,
seperti segerombolan burung utara yang berarak menuju selatan dan kehilangan daratannya hingga mereka mesti menjelajah lebih jauh sementara sebagian betinanya mengandung tua

menantimu,
seperti pencuri roti yang menunggu lamanya hukuman kurungan yang menjadi berlipat lantaran ia mengambilnya dari piring raja

m
e
n
a
n
t
i
m
u
membuatku berkarat dan sekarat!

Kalibrasi Hati!

anak-anakku,
senyum kalian bagai pendar matahari yang membangunkan pagi
hangat
berkilau
kalibrasi hati!

Cemas

: ja

saat waktu dan jarak makin tipis, aku sedikit gemetar disertai gentar
karena bukan pertemuan yang aku khawatirkan
melainkan perpisahan yang pasti akan menusuk dalam dan kelam

di hadapan bayangmu
aku berlutut
menikam diriku

membunuh diri yang terus berharap!

Ada Musibah!

ada musibah!
ketika gempa semata bagi penguasa
ketika banjir bagi yang kafir
ketika longsor bagi ideologi berbeda
ketika ada mati
ketika ada sakit
ketika ada penjara
ketika ada lara

padahal tuhan juga menangis bersama yang menangis

29 April 2010


Telah terbit antologi puisi 9 penyair perempuan Indonesia :
- Magi Luna
- Weni Suryandari
- Susy Ayu
- Shinta Miranda
- Nona Muchtar
- Pratiwi Setyaningrum
- Kwek Li Na
- Helga Worotitjan
- Faradina Izdhihary

" Perempuan Dalam Sajak"

Dapatkan di Gramedia (segera) -atau- pesan langsung lewat INBOX fb masing2 penulis. Harga buku 36rb (termasuk ongkos kirim untuk Pulau Jawa)

Rindu 2

aku mencoba mengurai simpul-simpul rindu
semakin keras usahaku
semakin kuat ia mengikat
dan membuat seluruhku pucat pasi,
karena darah tak lagi mengalir dalamku
hanya rindu yang mengalir dingin bersama aroma mati
: mati sebagai aku dan makin sebagai kau

05 April 2010

Rindu

apa harus kukata ketika kau membuatku bisu?
aku terlalu letih untuk bicara,
namun terlalu bergairah untuk tidak meletakkan gerimis di sudut mata yang rindu

malam ini aku menuju ke mimpimu dengan gaun hijau giok
meletakkan setangkai puisi merah hati di tumit pintu tanpa mengetuknya
hanya ingin mengabari bahwa aku selalu menginginkanmu

14 February 2010

candu asmara

(1)
pada daun yang berjatuhan satu-satu
peluhmu turut
berdebam pelan pada tanahku
yang tak sakti lagi menolak
atau memancing salak
yang kutahu hanya terjerebab telak

(2)
bisa-bisanya kau menarikan gelisahku
di lekuklekukku
di selaselaku
di jejarianku

(3)
berhenti membuatku menikmatimu
aku cuma mau mati dalam belatimu
mari bunuhku dengan sakit sekali

(4)
berhari-hari yang lalu
liang ini masih sepi
karena aku belum menepi





jakarta 04.03.2009

27 January 2010

Antologi Puisi 10 Perempuan : MERAH YANG MEREMAH


komentar pembaca tentang buku ini:

Sungguh mengejutkan membaca perkembangan puisi penyair wanita Indonesia yang ditampilkan lewat media cyber. Tampak dengan jelas betapa kebebasan yang disediakan oleh media cyber ini terutama FB betul-betul tidak tersia-siakan. Dan kemampuan penyair wanita Indonesia “menjinakkan” media cyber ini jelas berperan penting bagi perkembangan sastra Indonesia. Terima-kasih kepada Kurniawan Junaedhie dengan ide besarnya bagi sastra Indonesia. (Medy Loekito, Penyair, mantan Direktur Yayasan Multimedia Sastra pengelola situs CybersastraNet)

"Puisi-puisi yang menyentuh, imajinatif, sarat makna, dan cerdas; telah dihadirkan oleh para kaum perempuan yang memiliki selera nan khas di dalam buku ini.(Leonowens SP, Esais & Sastrawan)

Cukup wajar bila FB menjelma menjadi media baru yang cukup ekspresif untuk mencurahkan berbagai ungkapan perasaan, termasuk puisi yang sebelumnya menjadi wilayah angker bagi orang awam seperti kata Chairil Anwar: “Yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Bukankah penyair itu bukan darah turunan dan siapa saja boleh menulis puisi? (Heru Emka,Penyair, peminat kajian budaya)

Apa yang menarik dari 'perempuan'? Semuanya !!! Baik yang nampak maupun yang tersembunyi darinya adalah 'sesuatu'. Menjadi perempuan tak berarti hanya menjadi sumber keindahan duniawi dan surgawi, namun sebuah kodrat yang menguntungkan. Maskulinitas dan feminitas yang dapat muncul bersamaan adalah sebuah kekuatan. Ia dapat menjadi sexy atau garang pada saat bersamaan, itulah keindahan! Prestasi kuno sebagai 'sumber inspirasi' tentu boleh dilebarkan. Hari ini perempuan dapat menjadikan dirinya sendiri sebagai sumber inspirasi. Ia boleh menjabarkan perasaan dan pikirannya dengan bebas dalam segala bentuk termasuk tulisan, tanpa perlu khawatir terhadap segala aturan baku yang memasung setiap orang untuk patuh pada agama sastra, toh tak ada surga dan neraka di dalamnya. Sebab sastra itu sejatinya ada di dalam jiwa setiap diri, dan bersifat maya. (Trie 'iie' Utami, penyair, penyanyi & pencipta lagu)

26 January 2010

Balikpapan #2

aku rindu bau laut di tubuhmu
yang terbawa bayu hingga pintuku
sepanjang bandara hingga pasar klandasan

jejak bahasa yang dijual di pinggiranpinggiran

bote' betul ikam ini!
aku pernah membeli campuran bahasa Bugis dan Banjar

sayang sekali
ketika aku berusaha mengatakannya lagi kini
pembeli lain berteriak :
ngarutnya ai!

: mungkin aku tak lagi beraroma pesisir

25 January 2010

From My friend Carter Slade : A Story Written by a Wise Man - FOOTPRINTS

A story for people of all religions and, indeed, none.

One night a man had a dream. He dreamt he was walking along the beach with the Lord. Across the sky flashed scenes from his life. For each scene he noticed two sets of footprints on the sand: one belonging to him and the other to the Lord. When the last scene had flashed before him, he looked back at the footprints and he noticed only one set.

He also noticed that this happened during the lowest and saddest times of his life. This bothered him and he questioned the Lord. 'Lord, you said that once I decided to follow you, you would walk all the way with me, but I noticed that during the most troublesome times of my life there was only one set of footprints. I don't understand why, when I needed you most, you deserted me.'

The Lord replied, 'My precious child, I love you and would never leave you. During your times of trial and suffering, when you see only one set of footprints, those were the times when I carried you in my arms.'


___________________________________________


Ini cerita yang pernah saya baca 22 tahun yang lalu, yang secara mengejutkan diposting oleh kawan saya Carter Slade hari ini, sungguh, saya terkejut dan merasa DISADARKAN...
I do thank you Carter....

Semoga bisa menyentuh kawan-kawan yang lain juga.....
GOD BLESS US ALL !

20 January 2010

PINTU

tinggalkan pintumu selagi kau masih di situ, sebatas pintu
saat kau tahu, ketika memasukinya kau remuk dan mesti bertahan dalam remuk
sebaik-baiknya dalam remukmu
jauh lebih sempurna kau keluar untuk hancur
lalu menjadi bentuk baru
yang tak pernah luput mengenali pintupintu
kemana pintu yang sungguh membuatmu pulang

14 January 2010

Kesan


sudahlah air mata itu
telah kutimbang-timbang
aku memang harus pergi
jangan tertahan tangismu
yang tak pernah mengikatku sungguh
hanya pecahan iba yang tak berhasil kurekatkan lagi
terkesan kejam?
tak apa,
aku tak ditumbangkan kesan!

09 January 2010

Cermin Topeng

kemarin dengan purapura
hari ini dengan katakata
besok dengan busana
tidakkah hidupmu lelah berdusta?

menunjukkan telunjukmu ke wajah cermin
bayangnya berbalik padamu
lalu kau terkurung sunyi
karena topeng tetaplah topeng
kulitnya akan retak juga
dan yang bukan tuhan kan tahu jua!




Duren Sawit, 9 Januari 2010

07 January 2010

MUTIARA

: Jesse Lantang


(dalam sebuah percakapan dengan Tuhan
kuikat pinta pada punggung katakataku
agar Tuhan menjaga sebuah mutiara.....)


I.
dinding jiwaku gelisah
aku terseretseret tak berdaya
dan kecipak air mata
memohon remahremah di bibir meja
remahremah kemarinpun tak apa
basipun tak apa
perut jiwaku lapar....
l a pa r !

II.
huluhulu malam yang kelam
aku didekap sangat senyap
dan bayangan telunjuktelunjuk
menggagahi masa lalu
maaf,
aku tak tegar,
gagal lari dari amarah!

III.
sebuah pertemuan
di ruang katakata
sambut-menyambut,
serta berkalikali kata maaf
dari perempuan tanpa percaya diri

IV.
aku hampir lompat dari diriku sendiri
ketika tahu kau berdarah cinta Ilahi
citra yang selama ini membuat gemetar!
aku rupanya sedang berdiri di pinggir meja
remahremah....
rebah!

V.
ini pagi baru
kuikat eraterat yakin itu
berpintu rindu padaNYA
lewat sebuah mutiara!



Jakarta, 7 Desember 2009

Selamat ulang tahun Kak Jesse, Mutiara Allah yang luar biasa!
bersyukur sekali selalu dikuatkan lewat kasih Kakak pada orang2 sepertiku,
tetaplah bersinar dimanapun Kakak berada, kilaunya menguatkan kami......
Tuhan Yesus memelukmu!