04 September 2010

Islam, Agama Pengasih & Penyayang

Islam, Agama Pengasih dan Penyayang

(refleksi dari seorang non-Muslim)

Semalam saya berada di tengah beberapa kawan mantan pengurus Perbanas Balikpapan-Kaltim untuk berbuka puasa bersama. Agak risih berada di tengah-tengah para bankir ini karena saya sudah mantan bankir sementara karir mereka melejit bak meteor. Sebagian besar sudah tidak lagi menetap di jabatan manager, sudah minimal di pangkat Vice President. Obrolan mereka juga dipenuhi dengan topik seputaran dunia keuangan, perbankan dan ekonomi baik mikro maupun makro. Sesekali saya menimpali jika mereka membicarakan nasabah-nasabah besar tertentu yang saya juga masih ingat saat saya masih bergabung dengan salah satu bank swasta dan ditempatkan di cabang Balikpapan. Kami saling melempar joke tentang penglaman saling berebut nasabah besar yang waktu itu di Balikpapan memang bisa dihitung dengan jari. Bagaimana akhirnya kami saling berbagi dana besar milik mereka dan menempatkannya dalam penempatan berjangka dan mempertahankan cabang yang kami pimpin dengan kesepakatan “saling bantu” itu. Selebihnya saya pusing dan malas ikut bicara, karena teman-teman banker ini ujung-ujungnya meributkan soal kredit macet yang (lagi-lagi) disebabkan para pengusaha pemain proyek besar yang tak punya tanggung jawab sebesar proyek yang mereka jual ketika mengajukan pinjaman.

Saya tergelitik juga mengritik mereka, sebuah kritik pedas. Dengan agak ngotot saya sampaikan bahwa alih-alih mereka salurkan pinjaman mereka ke debitur-debitur besar yang tak punya tanggung jawab besar lebih baik menghidupkan pinjaman-pinjaman untuk unit-unit modal usaha kecil, menengah dan koperasi yang prosentase pengembaliannya jauh lebih baik meski memang jauh lebih repot karena memang harus mau ribet mengurusi pinjaman kecil-kecil yang sangat banyak, belum lagi pengajuan ke direksi yang jauh lebih ribet dan belum tentu disetujui.

Ini karena para direksi juga berangkat dari jalur dan tangga karir yang sama dengan mereka, yang bahagia ketika penempatan dana dan penyalurannya bisa dilakukan dengan cara dan waktu yang efisien (artinya dalam waktu yang tak lama, haha!)

Seorang kawan yang kini berada duduk jajaran direksi sebuah bank swasta besar, sebut saja namanya John berujar bahwa wajar saja saya berkomentar demikian mengingat saya tidak lagi berada di lingkaran yang sama dengan mereka. Katanya, saya sudah jadi aktivis dan penulis yang memang punya kepentingan menyuarakan kepentingan orang yang lebih banyak dan kawan-kawan lain ramai-ramai mengamininya.

Saya tersenyum dan menyampaikan bahwa saya menulis bukan karena saya penulis, tapi karena saya berjuang lewat menulis khususnya lewat puisi, juga aktif menjadi bagian dari kegiatan gerakan sosial bukan karena saya aktivis melainkan karena ini saatnya saya merasa apa yang selama ini saya lakukan mandiri harus mulai merapat ke dalam bentuk yang lebih nyata bersama kawan-kawan lain yang berjuang lewat organisasi massa dan lembaga swadaya masyarakat, dan untuk itu 2 tahun lalu saya memutuskan keluar dari dunia pekerjaan formal, keluar dari dunia perbankan. Keluar dari kemapanan.

Tiba-tiba seorang kawan perempuan bertanya, “Kalo begitu elu sekarang siap-siap jadi santapan FPI dong.......kan setahu gue aktivis kemanusiaan itu musuhnya FPI”

Loh?

Saya teringat beberapa kejadian ketika organisasi masa agama itu di awal bulan puasa yang lalu terlibat banyak kekerasan dan perbuatan anarkis, dan lalu semua media, baik media konvensional cetak, televisi, radio maupun media on line memberitakan hal tersebut secara terus-menerus. Sebagian besar bangsa ini “gerah” dan kesal. Kaum minoritas yang merasa hak dasarnya diinjak-injak mengutuk, menyayangkan hingga menggelar pernyataan keprihatinan bersama. Sebagian besar umat Muslim Indonesia bahkan merasa FPI telah mencoreng nama umat Muslim Indonesia. Menciptakan imaji buruk tentang Islam di mata internasional.

Ini baru bicara satu ormas, belum lagi ormas dengan ideologi yang sama lainnya yang juga sering melakukan hal yang sama dan tersebar di hampir seluruh penjuru negeri ini. Ormas-ormas yang membentuk citra kurang sedap tentang umat Islam khususnya umat Islam Indonesia.

Mengenai hal ini, dari link berita on line mengenai penghentian ibadah beberapa rumah ibadah yang beberapa hari lalu pernah saya bagikan di dinding facebook saya, dan apa yang mereka lakukan menuai komentar yang seluruhnya bernada menyayangkan bahkan pedas. Termasuk saya juga juga melontarkan komentar pedas yang lahir dari rasa gemas tentang betapa cueknya pengelola negara ini terhadap kegaduhan yang saya khawatirkan akan melahirkan perpecahan dan rasa saling tidak menghormati antar keyakinan berbeda.

Pada kawan-kawan saya semalam lalu saya menceritakan pengalaman saya beberapa waktu lewat dan berharap mereka memetik sesuatu dari apa yang saya ceritakan.

Sungguh prihatin ketika seorang kawan berkebangsaan asing dari belahan dunia lain dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu bercakap-cakap dengan saya, dan apa yang dia pikirkan tentang umat Muslim sungguh membuat saya yang bukan Muslim ikut “gerah” namun tidak bisa menyalahkannya mengingat apa yang telah dibacanya lewat media mengenai kebrutalan ormas-ormas tersebut telah terlanjur membentuk cara berpikirnya yang mengeneralisasi seluruh umat Islam (kecuali beberapa orang yang dia kenal betul) dengan sebagian ajaran sebagai hal yang tak akan bisa dipahaminya memang sangat mengganggu.

Saat itu kami sedang bercakap-cakap soal bulan Ramadhan.

Taxi argo yang kami tumpangi di sebuah kota di Kalimantan nyaris menabrak pembatas jalan. Tentu saja saya mengeluhkan cara sang supir mengemudikan kendaraannya. Dengan wajah memelas supir yang kira-kira berumur 50 tahunan itu memohon maaf karena ia mengemudi dalam keadaan mengantuk karena sedang puasa dan tidak tidur lagi setelah santap sahur karena takut melewatkan shalat subuhnya.

Rasa iba saya terbit, tidak patut bagi saya meneruskan kejengkelan saya ketika saya tahu seseorang yang taat beribadah dan sedang mencari sesuap nasi ini saya cereweti meski saya tahu benar ia bersalah. Saya ambil keputusan untuk turun dari taxi dan meneruskan perjalanan dengan angkutan kota yang menurut saya bersih dan saya yakin lebih minimal bahayanya karena hampir semua angkutan tersebut memutar musik cadas dengan volume sangat keras yang saya yakin mengurangi resiko supir mengantuk, dan syukurlah perkiraan saya benar.

Kawan saya saat itu sama sekali tidak mau naik angkot, tapi saat itu saya memberikan pilihan tegas, ikut atau saya tinggal (hahahaha....saya teman yang galak ya!). Tentu saja dia tidak mau ditinggal di kota, bahkan di negara yang belum benar-benar dikenalnya.

Sepanjang perjalanan saya harus mendengar omelannya. Tentang udara yang panas, makanan yang pedas sampai pelayanan publik yang jadi memble karena hampir semua orang berpuasa. Ia menilai berpuasa menurunkan produktifitas dan menyusahkan. Dan saya dengan sabar meski sebal mendengarkannya dengan seksama. Mencermati omelan cepat panjang lebar dalam bahasa asing bukan perkara mudah.

Lama-kelamaan omelannya merembet ke soal betapa sebalnya ia pada para penganut agama garis keras yang sangat memaksakan ideologi dan menjadi tuhan terutama bagi orang lain yang berbeda keyakinan. Lalu ke soal betapa dimanapun di muka bumi ini, kaum mayoritas akan melahirkan kelompok-kelompok garis keras yang selalu mengatasnamakan kaum mayoritas untuk menindas kaum minoritas. Untuk persoalan itu saya sepakat.

Setelah ia diam saya meminta kesediaannya untuk mendengarkan saya.

Saya ajak dia turun di tempat yang bukan tujuan kami, masuk ke sebuah restoran dengan suasana sejuk dan mohon kesediaannya untuk mendengarkan saya sebentar. Saya pikir ini kesempatan dimana kami punya waktu agak luang dan saya, dengan segala keterbatasan yang saya miliki ingin menjelaskan beberapa hal soal apa yang ia keluhkan sebelumnya. Saya senang karena keseriusan saya untuk menjelaskan hal-hal tersebut di atas ditanggapi baik dan juga serius. Kami berdiskusi, saling bertukar pikiran, saling bertanya dan menjawab juga saling menghargai pendapat.

Padanya saya jelaskan bahwa puasa bagi umat Muslim bukan penyikasaan, sepanjang yang saya tahu puasa bagi saudara-saudara Muslim saya adalah waktu dimana mereka mengekang keinginan dan nafsu yang selama ini hampir tak terkendali. Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus di jam-jam tertentu tapi juga bagaimana mengendalikan semua kehendak negatif seperti amarah dan niat untuk berbuat tak baik. Berpuasa juga mengajarkan umat untuk merasakan kepapaan kaum miskin yang sering tidak beruntung karena tidak bisa minum dan makan seharian karena ketidakpunyaan dan ketidakberdayaan. Di bulan puasa umat punya momentum untuk merefleksikan diri, me-recharge diri dan memperbaiki hubungan dengan sesama manusia dan terutama momen mendekatkan diri lebih kusyuk pada Tuhan yang menurunkan agama ini sebagai agama yang ketika setiap umatnya menyebut “Bismillahirohmanirrohim” (maaf bila saya salah menuliskan) maka mereka telah menyiarkan keberadaan mereka sebagai umat dengan prinsip-prinsip umat yang pengasih dan penyayang. Jadi lanjut saya, tak patut bila secara umum umat ini digambarkan dengan imaji negatif dan teror kekerasan (di titik ini kawan saya menghela nafas panjang dan menyela bahwa dia tidak percaya bahwa hal ini disampaikan oleh saya yang keras menentang kaum fundamentalis dan bukan pemeluk agama Islam).

Padanya juga saya jelaskan bahwa puasa di Indonesia justru mempererat tali silaturahmi antar umat berkeyakinan berbeda lewat saling menghormati yang luar biasa, yakni ketika yang non muslim menghormati kaum Muslim menjalankan ibadah puasa dengan tidak atau menghindari makan, minum dan merokok di depan orang yang sedang berpuasa dan sebaliknya, ketika umat Muslim dengan besar hati menyediakan makan dan atau minum bagi tamu non Muslim yang sedang bertandang ke rumah atau kantornya di waktu belum lagi berbuka.

Bagi keseluruhan orang Indonesia, bulan puasa adalah bulan istimewa ketika semua merayakan detik-detik berbuka, jajan-jajanan yang hanya ada di bulan puasa dan kegembiraan berbuka puasa bersama, bahkan sahur bersama.

Di titik ini saya sampaikan bahwa saya ikut merasa mesra dengan bulan puasa karena mengagumi para pekerja yang tetap ulet bekerja meski agak lemas di awal-awal puasa. Para supir, pelayan restoran dan toko, pekerja kantoran dan lapangan, buruh, pedagang hingga pelajar yang menjalaninya dengan ikhlas, tulus dan gembira demi meraih kemenangan di Hari Raya Idul Fitri nanti. Saya menggambarkan dengan detail bagaimana setiap malam takbiran saya juga ikut merinding, hanyut di bawah talu takbir yang buat saya indah dan mampu menghadirkan imaji dan sensasi hebat tentang Sang Pencipta dan betapa kecilnya saya. Kebahagiaan juga selalu ikut hadir ketika pagi harinya saya menyaksikan orang berbondong-bondong dengan pakaian rapi, bersih dan harum pergi shalat Ied ke mesjid-mesjid terdekat maupun yang jauh.

Entah karena cara saya menjelaskan yang sangat ekspresif atau karena apapun itu, kawan saya begitu terkesan. Berkali-kali saya memperhatikan matanya yang berbinar atau kadang meredup mengikuti apa yang saya jelaskan. Yang jelas saya tahu ia larut. Larut karena saya tahu kemudian bahwa apa yang ia gambarkan tentang Islam di Indonesia tidak lagi seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Bahwa betapa ia kini mengerti bahwa selain semata-mata karena persoalan kemanusiaan, umat Islam di mana pun mereka berada juga menjadi kaum minoritas tentu merasa hal yang sama ketika ditindas dan dipinggirkan separti yang terjadi di nagara-negara Barat.

Yang unik, caranya memandang perempuan berjilbab juga sedikit berubah ketika saya menjelaskan bahwa ketika seorang perempuan Muslim memutuskan berjilbab karena ia merasa bahagia menjalankan ketaatannya, maka jilbab menjadi rambut yang layaknya mahkota.

Mungkin apa yang saya jelaskan hanya akan menjadi sesuatu yang sambil lewat saja bila tak ada momen lainnya yang betul-betul membuat saya terkesan. Beberapa hari sesudahnya di akhir kunjungan, dia meminta saya mengantarkan ke tempat dimana ia bisa membeli beberapa scarf dengan corak lokal untuk oleh-oleh. Karena saat itu saya pikir karena bulan puasa maka saya mengajaknya untuk membelinya di sebuah toko baju Muslim di sebuah mal yang sudah pernah saya lihat sebelumnya. Asumsi saya, di bulan puasa tentu toko baju Muslim menjual lebih banyak scarf yang biasa dipakai untuk jilbab dengan corak yang lebih beragam.

Ketika memasuki toko tersebut, kawan saya justru tertarik dengan semacam selendang dan topi Muslim pria yang didisplayed di patung tepat dekat pintu masuk toko. “It looks nice” katanya.

Setelah memilih beberapa scarf saya terkejut karena ia juga meminta pelayan toko untuk mengambilkannya selandang dan topi seperti yang didisplayed di patung yang tadu kami lihat untuknya. Saya tak yakin, dan ia meyakinkan saya bahwa ia memang ingin membelinya. Ketika saya tanya untuk apa, ia hanya bilang bahwa selandang dan topi itu bagus.

Tiba-tiba rasa lega hadir di hati saya, bahwa ketika kawan saya itu kemudian setidaknya tidak melihat busana Muslim yang kerap jadi simbol kaum Muslim, bukan lagi simbolisasi kaum fundamentalis garis keras yang tidak bisa dipahami perbuatannya.

Setelahnya, beberapa hari kemudian kami berada di gereja kami masing-masing di belahan benua yang berbeda, mengucap syukur untuk setiap anugerah yang kami terima, anugerah yang diijinkan menjadi bagian hidup kami untuk kami bagikan kembali bagi pada orang banyak yang sangat membutuhkan lewat kerja dan karya kami dimanapun kami ditempatkan dan berada.

Kembali ke restoran tempat saya dan kawan-kawan bankir saya berbuka. Semua terdiam mendengar apa yang baru saya sampaikan. Uda John, demikian saya memanggil kawan saya yang berasal dari Bukit Tinggi menepuk-nepuk bahu saya, “Saya jadi pengen nangis In..... Saya kok merasa kamu secara tak sengaja dengan tanpa kamu sadari dipakai menjadi alat Tuhan untuk menjelaskan bahwa Islam bukan seperti yang orang-orang Barat itu pikirkan dan kamu yang bukan orang Islam dengan segala keterbatasanmu sebagai orang yang memilih tidak memeluk agama apapun*) mau menjelaskannya pada teman kamu. Sementara saya kalo denger ada orang yang njelek-jelekin Islam cuma bisa marah doang tapi segan menjelaskan apapun padahal jelas-jelas saya tahu jauh lebih banyak dari pada kamu”.

Saya cuma tersenyum, bagi saya itu bagian dari tanggung jawab saya demi kemanusiaan. Bagian dari tanggung jawab saya menghormati dan menghargai pilihan orang lain seperti saya menghormati dan menerima pilihan saya sendiri untuk berkeyakinan sebagai kesadaran saya atas hak dasar yang saya miliki.

Saya berang pada ulah sebagian kecil kaum garis keras yang menistai umat lain dengan keyakinan berbeda karena saya sangat menghormati pilihan setiap individu bagi hidupnya selama tidak menimbulkan kerugian bagi yang lainnya.

Malam itu kami tutup dengan berpindah lokasi nongkrong ke tempat dimana kami bisa menikmati kopi panas sambil menunggu kemacetan reda sebelum pulang ke rumah kami masing-masing dan bertemu dengan orang-orang yang kami cintai.

Jakarta, 1 September 2010

*) I am a Jesus follower with no particular religion

No comments:

Post a Comment