18 November 2012

Bincang Publik Keragaman dan Agama - Lembaga Bhinneka


Kamis pagi, 15 November 2012. Setelah sukses menemukan  alamat Reading Room Jakarta dengan hanya satu kali bertanya, saya turun dari taksi disambut sinar matahari yang mulai tak ramah. Waktu menunjukkan hampir  pukul   10.00 WIB.
Perputustakaan sekaligus toko buku dengan konsep unik dan menarik ini lebih sederhana dari yang saya bayangkan sebelumnya. Mungkin peraturan waralaba mengharuskannya demikian, karena hasil pencarian saya mendapati ada beberapa di negara lain, dengan nama yang sama. Hanya ekor namanya yang berbeda, mengikuti lokasi kota di mana tempat seperti  ini berdiri.
Reading Room Jakarta memiliki dua pintu masuk untuk mengakses ruang yang sama. Di teras saya bertemu dua kawan lain yang sudah lebih dulu datang dan mengeluhkan pilihan berbusana saya yang terlalu formal. Tentu saja.  Saya tak diberi tahu kalau keharusan berbusana batik seperti yang sehari sebelumnya diinformasikan, bisa dalam penampilan yang lebih santai.
Tak lama kemudian satu-persatu kawan mulai berdatangan dan kami mulai tepat waktu. Dibuka lantunan lagu dan beberapa sambutan cair oleh ketua pelaksana kegiatan, Bondan, dan pendiri Lembaga Bhinneka, Soe Tjen Marching, acara bincang publik terasa lebih santai. Ini baik untuk mereduksi kesan topik yang pasti dinilai berat oleh hampir semua yang hadir.

Dipandu moderator Difa, sesi pertama dimulai. Soe Tjen Marching memperbincangkan pengertian-pengertian menyangkut keagamaan dan respon psiko-sosial. Blasphemy1) dan hate speech2) dibahas sebagai bagian penting dari topik awal mengingat di grup Facebook tempat Lembaga Bhinneka berinteraksi dengan anggota-anggotanya, kedua hal ini sangat sering dibahas dan terjadi.
Diangkat juga soal bagaimana memaknai Tuhan sabagai bagian yang hidup atau mati sesuai konsep yang diyakini dan juga yang tidak diyakini.  Pada dasarnya,  pembuktian tentang keberadaan segala sesuatu adalah hal substantif dan ini yang dinilai pembicara penting untuk dipahami.

Pembicara kedua, Rocky Gerung, mengangkat persoalan bagaimana manusia memandang dan mengikatkan diri pada konsep Tuhan sesuai pengalaman batin dan pemikirannya.
Dikatakan,  keyakinan yang hanya dikuatkan oleh keimanan tanpa keinginan terus mencari kebenaran lewat wawasan lain selain wawasan agama, akan membunuh keingintahuan dan menumpulkan usaha pengejaran ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan keagamaan dan ketuhanan. “Fanatisme membunuh curiousity”, demikian katanya.
Pembicara ketiga, Musdah Mulia tak kalah menarik. Mengangkat persoalan intoleransi dalam kesehariannya sebagai bagian dari sivitas akademika dan intelektual berbasis komunitas agama, mendorong kesadaran besar dalam dirinya untuk terus mengembangkan pola pengajaran pro-toleransi keberagaman.
Ia juga menyatakan kegembiraannya berada dalam komunitas Lembaga Bhinneka yang dinilainya memberi ruang yang luas bagi keragaman. Sesuatu yang belum pernah ditemuinya dalam jumlah penggerak dan anggota yang cukup besar.


Setelah berbincang dengan tiga pembicara, acara diskusi  jeda  sejenak untuk menikmati penampilan stand up comedy3) yang dibawakan oleh Maldi. Comedian muda yang habis-habisan mengritisi keberadaan Tuhan dan persoalan seksualitas yang masih secara umum dianggap tabu. Semua orang diajak menertawai dirinya sendiri lewat komedi satir.
Setelah penampilan Maldi. Semua beranjak untuk makan siang. Sambil menikmati makan siang, hiburan lagu-lagu dilantunkan oleh beberapa kawan. Sangat menyenangkan. Dilengkapi penampilan stand up comedy kedua oleh Lionky Tan yang  lagi-lagi dengan getir tapi lucu mengangkat persoalan rasial di Indonesia. Nampaknya Lembaga Bhinneka memiliki  referansi cukup lumayan unuk komedian yang cukup mengerti  isu yang diusung Lembaga Bhinneka.

Usai istirahat, Achmad Nurcholis menjadi pembicara terakhir yang mengangkat persoalan pernikahan beda agama berikut segala macam masalah turunan seperti pengasuhan anak sampai ke masalah perceraian.

Pada umumnya seluruh pembicara direspon peserta dengan cukup aktif. Ini dibuktikan dengan banyaknya pertanyaan dan tanggapan. Tak hany itu, penyelenggara juga menerima respon pesan singkat lewat nomor yang sudah disosialisasikan sepanjang acara.
Tak sedikit yang berharap agar kegiatan serupa diadakan secara rutin dengan tema yang berbeda. Pesan singkat yang diterima juga termasuk sekitar dua atau tiga pesan kritik yang walau terkesan negatif namun menjadi perhatian penting pendiri dan penggerak Lembaga Bhinneka.

Tidak terasa waktu beranjak cepat. Memasuki pukul enam petang, acara usai. Semua merasa lega dan bergembira karena acara ini dianggap sukses untuk ukuran kegiatan yang baru pertama kali diadakan. Seluruh panitia, penggerak dan anggota Lembaga Bhinneka merasa puas.
Keseluruhannya adalah hasil kerja sama dan buah manis dinamika komunitas yang paham bagaimana wawasan yang terus dikembangkan akan mendorong perubahan cara berpikir dan bersikap. Sebuah bekal penting upaya menghargai perbedaan yang merupakan kekayaan, demi kebaikan dan peradaban masa depan.


Keterangan beberapa istilah asing:

1.       Blasphemy             : Penghujatan terhadap Tuhan, agama dan hal-hal lain lain yang dianggap suci

2.       Hate speech          : Ungkapan kebencian dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, kecacatan, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain, yang berpotensi kuat mendorong terjadinya kekerasan dalam segala bentuk.

3.       Stand up comedy : seni komedi atau melawak yang disampaikan secara monolog kepada penonton.

27 September 2012

NEGERI KONON


Pagi kita disuguhi berita
Anak-anak beradu senjata dalam amuk
Ada yang mati
Ada yang protes
Tak ada yang peduli

Siang kita disuguhi berita
Ada lagi anak-anak yang mati
Untuk karyanya yang dipertahankan dengan darah di negeri orang
Tak ada yang peduli

Malam kita disuguhi berita
Ada anak-anak yang bertanya
Dimana batik dan ulos berasal
Karena dongeng mengajar keduanya berasal dari tanah leluhur
Namun museum negeri seberang yang memeliharanya

Negeri kita tinggal sekadar berita tivi dan online
Drama harian dengan rating bagus dengan aktor yang dibayar APBN

26 September 2012

MELACUR II



P e l a c u r
Kata yang sungguh kita murkai karena kehilangan arti

Feminis dikatai pelacur
Sosialis dikatai pelacur
Pluralis dikatai pelacur
Sedikit lebih manis dari istri atasan dikatai pelacur
Sedikit lebih modis dari pada sekadar munafik dikatai pelacur
Lalu apa beda dari sekadar bilang kue cucur
Bila merendahkan hanya soal rima
Sementara pelacur-pelacur sejati yang tak pernah siap mati,
adalah  mereka yang lupa amanah,
dan membuat hati rakyat bernanah!

MELACUR


jika kau pikir
melacur semata-mata soal gincu merah menyala
dan bau parfum murah
maka kau salah

pelacur dengan kesepakatan berdagang
setara dan memenuhi standar transaksi
dan dengan congkak kau anggap setengah manusia
maka kau salah

karena

banyak pelacur lebih murah bahkan murahan
yang tidak bekerja untuk kita
padahal makan dari cukai kita

banyak pelacur lebih murah bahkan murahan
yang tidak membela hak-hak kita
padahal makan dari jerat hutang negeri
dimana kita beserta turunan kita yang harus membayarnya

banyak pelacur lebih murah bahkan murahan
yang melacurkan diri atas nama rakyat
yang lapar
yang kedinginan
yang kehujanan dan kepanasan
yang ingin sekolah namun tak mampu
yang perlu berobat tapi disuruh pasrah pada kematian

banyak pelacur murah dan murahan
dengan bangga dan menepuk dada
menyamar jadi pemimpin!

Bencana


Alam pandai menulis
Tentang tawa dan air mata
Nyaris tanpa metafora
KIta, tak pernah pandai membaca!

HABIS

(kepada Para Buruh Migran)



kau tak dapat memilih

hidup tak memberi banyak

dan,

para pemimpin bahkan merampas juga

: kehormatanmu sebagai manusia

19 September 2012

Puisi: DENDAM II


Ingin kukemas diriku dan menyimpannya di sebuah tempat tak bernama

Membiarkan perang-perang kecil terkunci waktu

Menyelipkan peristiwa-peristiwa penting dalam lipatan ingatan



Kusimpan cermat dan rapat di sebuah sudut dalam diriku

Sejarah yang melahirkan dan menegakkanku kini

Yang lara dan murkanya tak lekang dimakan waktu

Aku menamainya DENDAM

Puisi: (fake) LONGING


aku menjaga jejak-jejakmu di sekujurku

menanti dengan tabah waktu yang lamban berlar
i

mencipta jarak dari kemarahan-kemarahan

menegarkan bekas-bekas luka

mengubur penyangkalan-penyangkalan

menyeret hati yang mulai mati

untuk mencapaimu lagi

Puisi: DENDAM



Malam turun lambat-lambat
Anakku menjelang lelap
“Ibu aku ingin bertanya”
“Tentu anakku, aku akan menjawab pertanyaanmu”
“Ibu, bila negeri kita kaya seperti lirik lagu-lagu,
…mengapa untuk makan ibu harus mengejar terbit matahari menuju tenggelamnya,
…mengapa untuk aku dan adikku sekolah ibu merendahkan diri menghiba pinjaman,
…mengapa untuk berteduh pun ibu memeras malu dimaki pemilik kontrakan?”

Aku menghela nafas panjang
Yang terpanjang selama aku hidup
Lalu diam
Mengumpulkan keberanian untuk menjawab
Memungutinya dari sudut-sudut tersembunyi dalam diri
Pada puisi-puisi aku bisa berteriak
Pada orasi-orasi aku mampu menantang
Namun berseberangan tatap dengan anakku aku luruh

Sambil menahan air mata, lirih aku menjawab
“Karena negeri ini sedang menunggumu Nak,
…menunggu anak pandai sepertimu menjadi hakim,
…yang akan mendudukkan para pejabat rakus,
….dan pengusaha tamak,
…di kursi pesakitan,
…mempertanggungjawabkan hak kita yang mereka nikmati,
…yang mereka rampas selagi kita lapar dan ketakutan dikejar hutang.”

Lalu anakku mengangguk dan menuju mimpi yang entah apa
Sementara aku lara
Telah menanam dendam dalam kepolosannya

Aku tak tahu bagaimana berdoa ,
memohon waktu berhenti mewariskan kebencian
Berhenti karena hari mulai pagi dan yang tersisa air mata
Ibu yang menanak doa,
tak lebih baik dari yang menanak air mata



Jakarta, 19 september 2012

Puisi: AKU MALAS MENULIS


Aku malas menulis
Kehilangan tempat untuk duduk tegak
Dimana aku bisa melihat wajah-wajah lelah dan palsu
Kalau pun aku berdiri di tempat yang sama tanpa bangku
Kelelahan dan kepalsuan itu bukan lagi penyamaran

Aku pernah diajari: Tak baik menulis tentang kejujuran, tak akan ada yang membaca

Aku malas menulis
Tak banyak yang membaca soal kejujuran
Luka semua orang terlalu dalam untuk diakui,
apalagi dimengerti

Aku berdiri di tempat aku biasa duduk untuk menulis
Lelah dan palsu
Penulis-penulis lain berebutan mencari sudutnya,
sibuk menulis tentang aku
Tak perlu mengakui atau mengerti,
hanya perlu menulis

Tentang kekelahan dan kepalsuan,
yang paling menarik dan berbeda cara,
dialah pemenangnya
Besok pagi, kita membaca tulisannya
di media terkemuka

Aku, makin malas
Jangankan menulis,
Membaca pun tidak
Diam di tempat aku biasa duduk untuk menulis
Memberi tempat untuk kelu
Membiarkan diri untuk bukan apa-apa
Nadir tapi tak patah
Agar tahu kapan merasa lelah dan palsu



Film Raya: Percakapan Hati dan Pikiran Saya di Ruang Bioskop



Sungguh, saya kehilangan gairah menulis akhir-akhir ini dan undangan mas ToTo Raharjo menuntun saya kembali menulis meski diiringi kemalasan yang menggantung di kepala dan di tangan.
Baiknya saya segera mambahas Film Rayya saja tanpa basa basi.

Ide cerita sederhana soal perempuan bernama Rayya yang sedang bersinar karena popularitas sebagai bintang sedang di puncak-puncaknya. Di titik ini justru ia merasa gelap. Atmosfir yang ingin atau ia harapkan dirasakan setiap orang dimana pun ia berada. Rayya berharap gelap yang ada dalam dirinya terbaca. Ia berharap kegelisahan, kemarahan sekaligus kesedihan yang mulai mengerak jadi dendam dirasakan juga oleh semua orang sampai dalam suatu proyek ia bertemu dengan Arya, fotografer senior yang memiliki luka yang sama dengan Rayya, namun bisa disikapinya berbeda.
Rayya meneggakan dendamnya menjadi kekuatan sedangkan Arya mengikhlaskannya menyatu mengalir sebagai bagian hidup yang memang harus dilewati dan terus berjalan maju.

Saya senang dengan pertemuan dua karakter Rayya dan Arya, siapa pun yang telah memilih nama-nama bagi kedua tokoh ini, ia sesungguhnya ingin penonton tahu bahwa selalu ada dua sisi berbeda dalam tiap diri manusia saat mengalami hal serupa yang dialami Rayya dan Arya.

Perjalanan Rayya (juga Arya) menemukan dan menentukan peristiwa mana yang harus dikunyah menjadi  pelajaran disekujur  film ini menuntun saya menuduh siapa pun di balik film ini memaksa penonton hanya menarik pelajaran-pelajaran positif. Beberapa penegasan yang tak perlu dimunculkan kembali di akhir film, padahal adegan respon Rayya di setiap penegasan itu cukup kuat. Kita lihat ekspresi  Rayya saat uangnya dikembalikan oleh ibu penjual kudapan khas Jogja. Ia terkesiap soal pelajaran menegakkan martabat, dan itu tak perlu ditegaskan lagi di akhir film.

Selain itu, saya percaya di balik film ini ada banyak orang pintar di bidangnya. Ini dibuktikan dengan kegaduhan kreatifitas dalam film ini. Kelihatan jelas kegaduhan itu di sepanjang film, semua orang kreatif memaksakan karyanya ke dalam setiap scene film. Yah, bagus sih, Cuma yaitu tadi, gaduh. Apapun itu, artistiknya menarik dan saya cukup terhibur dengan kombinasi-kombinasi warna, meski sedikit ngilu di adegan pemotretan Rayya di tengah perahu dengan bendera-bendera kecil beraneka warna. Saya yang awam kritik film menyebutnya “keramean” warna. Baju Rayya tenggelam dan mati di tengah warna-warni perahu dan bendera.

Kalau ingin mendapatkan pesan-pesan membangun dengan cara berbeda, saya menganjurkan untuk nonton film Rayya. Tapi bagi mereka yang hanya senang nonton film mudah cerna yaaa, film Rayya bukan tontonan remah-remah penghilang suntuk. Ini film cukup berat dengan dialog-dialog filosofis yang (diputis-)puitiskan. Temponya lambat tapi tertolong artistik yang cantik. Saya berharap ada perbaikan musik latar karena bisa jadi penolong adegan-adegan lambat dengan percakapan berat.

Bagi yang sedang mengalami titik puncak dalam bentuk apapun lalu merasa masih belum melakukan apa-apa, ini film yang saya anjurkan untuk ditonton. Tak ada pencapaian sebelum orang lain yang mengatakannya demikian, dan bila pun orang lain yang mengatakannya, belum tentu mampu mengisi relung-relung bisu dihati kita, yang digali luka dan pengalaman pahit. Dan banyak dari kita yang bertahan dengan hebat berkat dendam. Perlu kejujuran untuk mengakuinya.

10 September 2012

Kampanye Anti Perdagangan-Perbudakan Manusia Bersama MTV


Kampanye bermetode popular untuk isu yang jarang menarik perhatian anak muda nampaknya mulai menjadi strategi banyak pihak yang tak lelah berjuang. Sebut saja isu perdagangan manusia yang di dalamnya juga termasuk perdagangan dan perbudakan perempuan dan anak untuk tujuan seks komersial.
Isu yang cukup ‘purba’ ini telah menjadi bagian dari pekerjaan rumah bagi hampir semua pihak mulai dari pintu para pengelola negara hingga pintu rumah di dusun-dusun terpencil. Dari yang memiliki otoritas untuk mengendalikan hingga yang kerap menjadi sasaran kejahatan kemanusiaan ini.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut data International Organization for Migration (IOM), ada sekitar 6,5 hingga 9 juta tenaga kerja Indonesia bekerja di hampir seluruh penjuru dunia dan patut diduga 43 hingga 50 persen diantarnya adalah korban perdagangan manusia. Keadaan ini diperparah perantara perekrutan yang kita kenal dengan PJTKI (Perusahaan Jasa tenaga Kerja Indonesia) lebih sering beroperasi sebagai sindikat perdagangan orang dibanding menyalurkan tenaga kerja dalam koridor yang semestinya yang dapat menjamin tujuan kerja dan kondisi kerja yang aman.
Indonesia masih berada di urutan 2 indeks penanganan kasus perdagangan manusia dengan standar penanganan minimum sesuai standar penanganan kasus perdagangan manusia internasional.

Berita tentang tenaga kerja Indonesia perempuan yang pulang setelah mengalami berbagai kekerasan terutama kekerasan seksual menjadi makanan berita hampir setiap hari. Marah kita dibangkitkan sejenak, lalu karena begitu seringnya kita dihidangkan berita tentang hal ini, sesuatu yang mengerikan ini menjadi kewajaran bahkan kerap menjadi bahan menyalahkan korban yang dituduh merelakan diri dalam kondisi dijual dan disiksa demi lembaran rupiah. Betapa kejamnya ketidakpedulian….

Bukan hanya keluar negeri, pedagangan dan perbudakan manusia juga terjadi antar daerah di Indonesia, di depan mata kita. Pernahkah kita mencermati agen-agen penyalur tenaga kerja rumah tangga dengan pelbagai kasus kecurangan pihak penyalur? Dimana penyalur mencari tenaga-tenaga murah di desa-desa, terutama para perempuan muda, melatih mereka seadanya dan tak jarang juga melatih para calon pekerja rumah tangga ini menjadi bagian dari kejahatan dengan menyuruh mereka di periode tertentu menghilang hingga pemakai tenaga mereka harus menebus tenaga baru dari agen yang sama, sementara si PRT lama sudah ditempatkan lagi di tempat yang baru untuk melakukan modus yang sama. Para perempuan lugu dan polos ini ditakut-takuti akan dilaporkan ke polisi bila tak menuruti instruksi pemilik agen penyalur nakal. Ini membuat para korban perbudakan ini tak berani melawan dan terus mejadi bagian kejahatan hingga akhirnya tertangkap dan lalu tak pernah diakui sebagai bagian dari agen penyalur.

Lain lagi cerita yang pernah disampaikan kawan saya ketika mengunjungi sebuah rumah makan ++ di kota Balikpapan, yang pesonanya hampir menyamai pesona Jakarta, karena begutu banyak orang tertarik bekerja di sana dengan iming-iming gaji besar. Banyak gadis muda di”angkut” dari pulau Sulawesi untuk dipekerjakan mula-mula dijanjikan sebagai pelayan restoran atau setidaknya pegawai rendahan di salah satu perusahaan asing atau pertambangan, nyatanya setiba di kota tujuan, mereka dipekerjakan sebagai gadis-gadis penuang bir di resto-bar setempat. Pekerjaan yang rentan menjebak mereka ke kondisi menjadi korban perbudakan seksual.


Bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, United States Agency for International Development (USAID), the Australian Government’s Agency for International Development (AusAID), WALK FREE (gerakan pemberantasan perbudakan moderen) dan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), MTV Youth Focused Anti-Human Trafficking Campaign Program-MTV End Exploitation and Trafficking (MTV EXIT) menawarkan bentuk kampanye baru anti perdagangann dan perbudakan manusia yakni dalam bentuk konser musik dengan pesan-pesan penyadaran dan kepedulian terhadap persoalan perdagangan dan perbudakan manusia.
Di Indonesia, kegiatan ini dipusatkan di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat pada tanggal 1 September yang lalu. Mengapa Jawa Barat? Karena kenyataannya jumlah kasus perdagangan orang terbanyak terjadi di Jawa Barat dibandingkan di provinsi lain. Mengenaskan bukan?



Konser MTV EXIT ini didukung artis-artis peduli anti perdagangan dan perbudakan manusia. Setiap penampil ambil bagian meneriakkan pesan agar semua pihak terutama anak muda menjadi bagian yang turut memperkecil bahkan menihilkan angka kejahatan kemanusiaan ini baik denganedukasi bersambung mau pun turut melaporkan bila diduga terjadi perdagangan atau perbudakan manusia.

Sesuai misi utamanyanya, program MTV EXIT tak hanya lewat konser atau program live, juga lewat program televisi, konten online, dan kemitraan dengan banyak organisasi anti perdagangan manusia, mengampanyekan kebebasan kita sebagai manusia yang berhak memilih di mana kita hidup, bekerja, dengan siapa kita menjalin pertemanan, dan siapa yang patut kita cintai.  Kita juga diajak turut peduli nasib ratusan ribu orang di seluruh dunia yang hak-hak dasarnya sebagai manusia dirampas paksa untuk tujuan komersil dan kesenangan orang lain, yang merupakan korban perdaganan-perbudakan moderen.

09 June 2012

puisi: CINTA

Saya membaca kitabkitab cinta 
Merasa kalah oleh kemurniannya
Ayatayat yang menjilati hati berpeluh darah

Cinta mengalahkan masamasa dan tempattempat
Menusuk dalamdalam logika tempat saya bersembunyi

Bahwa cinta membuat bodoh, itu dusta
Ia mencerdaskan kemampuanmu mengolah luka

Jakarta 08062012

02 April 2012

10 Ciri Laki-laki Feminis (baca: Yang Menghargai Kesetaraan)



Memasuki tahun baru kerapkali diawali dengan pencapaian baru, perubahan positif yang semuanya tertuang pada daftar resolusi tahun ini. Apakah resolusi Anda juga memuat harapan perubahan pada diri pasangan, saudara, ataupun teman laki-laki? Apalagi jika selama setahun atau bahkan bertahun-tahun ke belakang Anda dan pasangan bergelut dalam hubungan yang tidak membahagiakan.
Jika Anda mendambakan laki-laki baru, yang memperlakukan Anda sebagai perempuan dengan lebih adil dan setara, artinya Anda mendamba laki-laki yang menggunakan bahasa feminisme dalam kesehariannya. Kebanyakan laki-laki memang berbicara dan bersikap dengan bahasa dan aturan laki-laki. Seperti dikatakan filsuf Perancis, Jacques Lacan, dunia kita memang penuh dengan aturan laki-laki, yang didominasi lewat cara berpikir dan bahasa laki-laki.
Nah, apakah pasangan, teman, saudara laki-laki Anda sudah berbicara dengan bahasa baru, bahasa feminis? Laki-laki yang punya nyali menyeimbangkan dunia (dari dominasi aturan dan dunia pria) dengan bahasa dan sosok baru tahun ini.  Anda bisa mengenali dari perilakunya. Inilah 10 ciri lelaki feminis yang dituliskan Gadis Arivia dalam bukunya Feminisme: Sebuah Kata Hati.
1. Memiliki rasa peduli 
Berbahasa feminis, melatih laki-laki untuk peduli terhadap lingkungan terdekatnya, seperti keluarga, lalu menjalar ke tingkat lebih luas dalam masyarakat. Dengan kepedulian ini, laki-laki sensitif pada hati dan perasaan orang lain. Alhasil, laki-laki dapat menjadi pendengar dan pemerhati yang baik dalam bidang apapun.
2. Toleran
Toleransi menjadi senjata ampuh untuk melawan agresivitas, konflik, dan sikap fundamentalis. Laki-laki yang mengembangkan sikap toleran berarti yakin dengan pluralisme. Bukankah individu yang meyakini dan menghargai pluralisme menjadi lebih toleran? Dengan toleransi tinggi, konflik berpasangan yang merugikan salah satu pihak akan terhindarkan, hubungan berpasangan pun lebih setara dan memberikan keadilan baik pada laki-laki, dan terutamanya perempuan.
3. Berbudaya
Laki-laki yang tertarik pada seni, sastra, musik, dan teater memiliki pendekatan budaya dalam dirinya. Sedangkan, salah satu sumber pluralisme adalah budaya. Bisa Anda bayangkan, bagaimana laki-laki yang berbudaya ini menjalani kesehariannya, dengan sikap toleransi tinggi yang berakar dari keyakinannya atas pluralisme dan bersumber dari budaya. Nilai positif yang akan muncul pada diri laki-laki berbudaya adalah budaya membangun, bukan destruktif. Laki-laki berbudaya tentu akan mendukung pasangan atau perempuan di sekelilingnya, dan bukan merusak atau melakukan kekerasan terhadap lawan jenisnya.
4. Membebaskan
Dalam relasi interpersonal, laki-laki feminis mengumbar aura kebebasan dan bukan kesesakan dada. Relasi yang dibangunnya dengan setiap individu bersifat demokratis dan parsipatoris. Artinya, ia berusaha untuk berpartisipasi dalam setiap pikiran dan tindakan partner-nya. Sikap yang membebaskan ini memberikan pengaruh positif pada diri partner-nya untuk berkembang, bukan meninggalkan rasa bersalah, ketakutan, dan penolakan.
5. Menggunakan bahasa positif
Laki-laki feminis menggunakan bahasa yang memberdayakan. Yakni bahasa yang menghindari kosa kasa yang merendahkan. Laki-laki ini menggunakan bahasa sebagai ajang komunikasi untuk saling menikmati percakapan dan memahami diri masing-masing. Bahasa yang digunakan bukan untuk mengatur strategi saling menjebak.

6. Memahami pembagian kerja domestik

Laki-laki feminis akan selalu peduli pada beban domestik. Ia paham dan peduli pada beban kerja domestik. Pengaturan kerja domestik dilakukan dengan kesetaraan. Artinya, laki-laki feminis tidak malu untuk mencuci baju, memasak, dan membersihkan rumah. Membuatkan teh atau kopi untuk pasangannya tidak membuatnya merasa kurang macho. Menggantikan popok bayi dan merawat anak merupakan suatu kewajiban yang dijalankannya dengan rasa bahagia.
7. Peduli hak reproduksi
Gadis menuliskan salah satu kontribusi angka kematian ibu yang tinggi adalah tidak pahamnya pria akan pentingnya hak-hak reproduksi perempuan. Keterlibatan pria pada kehamilan perempuan dan konstrasepsi sangat penting. Pria feminis mau belajar tentang seluk-beluk reproduksi perempuan karena ia peduli pada kehidupan pasangannya.
8. Menggairahkan dalam aktivitas seksual
“Pria feminis selalu bersikap sensitif pada kebutuhan-kebutuhan seksual partner-nya,” kata Gadis. Orgasme perempuan selalu diperhatikan dan dijadikan fokus dalam setiap aktivitas seksualnya. Percakapan seksual selalu dipastikan terbina dengan sehat. Tujuannya agar aktivitas seks menjadi suatu kenikmatan secara fisik dan psikis.
9. Transparan
Laki-laki feminis memberlakukan anggaran dengan transparan dalam pengaturan keuangan. Ekonomi keluarga berkaitan erat dengan kesejahteraan dan kebahagiaan. Karenanya, ia menyadari perencanaan yang melibatkan pasangannya dibutuhkan untuk membangun masa depan yang lebih bertanggung jawab. Transparansi anggaran rumah tangga inilah yang menjauhkan dirinya dari praktik korupsi. “Korupsi menjadi bagian yang merusak rumah tangga,” jelas Gadis.
10. Antipoligami
Laki-laki feminis menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan. Ia tidak dapat hidup dengan pasangan yang bergantian dalam satu perjanjian. Kebebasan pria feminis dipertanggungjawabkan dengan loyalitas dan hormat pada pasangannya. Dengan berpegang pada prinsip ini, laki-laki feminis menolak dan antipoligami.


Sumber :
http://female.kompas.com/read/xml/2011/01/03/11494486/Kenali 10.Ciri Laki-Laki.Feminis-12

20 February 2012

Perempuan-perempuan Yang Menolak Diam




Kemarin sore saya menyetujui ajakan kawan Mariana Amiruddin menghadiri bedah buku puisi karya Zubaidah Djohar. Buku puisi berjudul Pulang Melawan Lupa yang sebagian besar isinya diangkat dan terinspirasi dari apa yang pernah dialami para perempuan penyintas konflik Aceh.
Dari tuturan para pembicara, Ibu Fre Hearty, Handoko Zainam dan Marianna Amiruddin, saya tahu, Ibed, demikian sang penulis disapa, adalah peneliti persoalan perempuan di Aceh pasca konflik. ia berjumpa, berbincang dan mencermati. Ibed masuk ke relung-relung terdalam luka para perempuan penyintas konflik Aceh.

Dari beberapa puisi yang baru sempat saya baca, Ibed mengupas lapis ingatan yang terekam selama konflik terjadi. Perih yang dibawa Ibed ke dalam puisi-puisinya adalah sekaligus gambaran kuat ketegaran para perempuan ini melintasi pintu pedih masa-masa didekap ketakutan, kesedihan dan kemarahan, keluar menjadi mereka yang memenangkan pertarungan dengan trauma dan kembali menjalankan fungsi sosialnya.

Dari banyak informasi saya tahu, perempuan Aceh pasca konflik tak pernah benar-benar menemukan kemerdekaannya. Perda berbasis keyakinan tertentu yang kini diberlakukan, lebih banyak meminggirkan hak perempuan atas dirinya sendiri. Banyak dari mereka bahkan yang masih harus merendahkan suaranya saat bercerita tentang kejadian-kejadian kekerasan masa konflik.
Seperti diungkap ibed, untuk masyarakat di luar kebisingan kota-kota besar di Aceh, yang bermukim jauh dari kantor-kantor perwakilan LSM-LSM asing, nasional maupun lokal, bicara soal keadilan yang utuh dan menciptakan rasa damai dan merdeka belum lagi benar-benar bisa menyentuh mereka.
Bagi mereka berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan termasuk kemungkinan terburuk kehilangan orang-orang terdekat seperti saat mamsa-masa konflik adalah bagian utuh keseharian.

Di puisi-puisi yang Ibed tuliskan, perih adalah kekuatan yang menegarkan para perempuan penyintas konflik untuk tetap bertahan hidup. Perih dalam kata-kata puisi Ibed menggumpalkan kekuatan untuk tidak melupakan, untuk tidak diam, tapi luar biasa karena tidak jua melaahirkan dendam dan upaya pembalasan. Dari rahim kelembutan perempuan lahir kesadaran untuk memaafkan dan ikut mendorong kondisi damai. Para perempuan ini mencuci lampin masa lalu yang sarat lara untuk masa depan anak-anak mereka dengan air mata, dengan kehormatan dan dengan harga diri yang pernah dirobek-robek pelaku kekerasan semasa konflik.

Bila dulu sebagian perempuan Aceh mesti berjuang melawan kenangan kehilangan laki-laki yang dicintainya karena kondisi perang, lalu apa bedanya dengan apa yang kini dialami oleh para perempuan yang merasa lebih moderen di Jakarta dan kota-kota lainnya di seluruh Indonesia?
Bila dalam konflik bersenjata perempuan kehilangan para laki-lakinya karena tewas atau diculik, maka para perempuan di kota besar saat ini juga sebenarnya sedang kehilangan para laki-lakinya yang “ditewaskan dan diculik” kepentingan besar kapitalisme rakus dan birokrasi pekerjaan serta usaha yang kejam bangunan sistem negara yang lebih berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan uang. Kondisi ekonomi sosial yang akhirnya mendorong seluruh masyarakat menelan dan mereduksi kekerasan sistemik yang ikut dibentuk hampir semua pihak termasuk media penyaji informasi dan komunikasi, menjadi bentuk wajar cara menjalani keseharian.

Kita jadi merasa biasa membaca, mendengar dan menonton kejadian-kejadian kekerasan di berita-berita, adegan kekerasan verbal dan fisik di sinetron dan tayangan komedi sekalipun. Alam bawah sadar kita dibuat toleran dengan kekerasan, sehingga saat terjadi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan baik yang bermuatan sekterian, rasial, berbasir gender dan sebagainya, kita hanya bisa mengutuk, menyayangkan dan mengemukakan keprihatianan sebatas ruang yang kita anggap cukup aman, sementara mereka-mereka yang menjadi korban kekerasan tak jua bisa beranjak dari kondisi dikorbankan baik oleh perlakuan hukum mau pun sikap ketidakpedulian kita yang merasa sudah mapan, aman dan nyaman.

Tapi benarkah kita betul-betul bebas dari kemungkinan menjadi korban kekerasan? Sebenarnya TIDAK.
Mari mencermati sejarah dan perkembangan kejadian kekerasan di Indonesia. Bukankah lalu ada ruang-ruang yang dulu kita anggap tak akan pernah disentuh kekerasan kini juga ikut jadi korban kekerasan maupun efek kekerasan secara tidak langsung? Saya sebut dengan segenap kesadaran, meningkatnya kasus-kasus kekerasan seksual di institusi keagamaan dan pendidikan bahkan di dalam rumah, penyerangan ke kelompok-kelompok minoritas dan etnis tertentu, pembelaan dalam bentuk ancaman kekerasan saat ada pejabat tertentu yang hendak dijatuhi hukuman dan sebagainya.
Semua itu akan terus berlangsung selama kita diam dan tidak peduli. Dengan diam, kita ikut menyumbang kemungkinan terjadinya kekerasan dalam bentuk apapun pada diri kita atau orang-orang terdekat yang kita sayangi.


Kembali ke buku puisi ibed, Pulang Melawan Lupa. Saya yang bukan kritikus sastra tidak berkompeten mengurai kaedah dan aspek literasi puisi-puisi di dalamnya. Tapi menarik untuk saya, bahwa ibed sebagai perempuan yang terinspirasi oleh para perempuan penyintas konflik Aceh adalah juga bagian dari para perempuan yang bangkit menolak diam terhadap kekerasan. Saya catat dari berbagai sumber bahwa aksi damai Indinesia Tanpa Kekerasan (Tanpa FPI sebagai simbolisasi) hari Selasa lalu ternyata juga digagas beberapa perempuan warga Jakarta yang sejak lama terganggu dengan aksi-aksi kekerasan ormas-ormas tertentu yang disinyalir dibiarkan tumbuh subur dan tidak diperlakukan sama oleh aparat hukum seperti warga lainnya.
Para perempuan ini juga korban kekerasan sistemik yang menolak terus diam disuguhi berita-berita kekerasan setiap hari, yang gemas karena anak-anaknya juga ikut jadi korban pengonsumsi produk-produk media yang abai dengan program edukatif.
Saya sendiri berada di sana sebagai bagian dari mereka yang terus menyuarakan pesan-pesan anti kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Saya juga menulis puisi seperti Ibed dan berkeinginan menelurkan buku puisi tunggal, rekaman apa yang saya dengar, lihat, rasa dan alami.

Bila Ibed gemilang menuang perih para perempuan penyintas kekerasan dan konflik Aceh menjadi suara lantang untuk seruan damai, maka suatu saat saya yang memang penyintas kekerasan, harus menyempatkan waktu membukukan rekaman perih sebagai bagian dari proses pemulihan trauma yang saya alami ke dalam bentuk seruan damai lainnya sebagai pendukung upaya-upaya lain yang saya dan banyak kawan perempuan lain lakukan untuk Indonesia Tanpa Kekerasan.

Selamat Ibed untuk buku puisimu yang luar biasa, Mengasah Pejuang, Mengasah Perempuan.




Jakarta, 20 Februari 2012

Pers Rilis Gerakan Indonesia Tanpa Kekerasan


Pers Rilis 


#IndonesiaTanpaKekerasan
#IndonesiaTanpaFPI 


Salam DAMAI untuk semua, Demi Indonesia Kita.

Melalui pers rilis ini kami ingin menjawab semua kesimpangsiuran informasi mengenai AKSI DAMAI
#IndonesiaTanpaFPI #IndonesiaTanpaKekerasan. Juga disampaikan tentang kronologis peristiwa
pemukulan Bhagavad Sambadha oleh berapa orang yang tidak dikenal pada saat aksi berlangsung.
Berikut uraiannya:

    1.  Siapakah kami? 

    -   Awal terbentuknya.

Berawal dari sosial media twitter, kami mencurahkan segala pikiran dan hati tentang keadaan sosial di
sekeliling kami, salah satunya mengenai pembiaran ormas yang menggunakan kekerasan untuk
memaksakan kehendaknya. Berita mengenai penolakan warga Kalteng terhadap pendirian cabang FPI,
menginspirasi kami untuk berbuat sesuatu. Diskusi di twitter terus bergulir sampai akhirnya
tercetuslah keinginan untuk melakukan “kopi darat”, bertemu dan berbincang-bincang diantara kami
secara terbuka, siapapun boleh datang.

Kami tidak mengira kopi darat ini banyak yang datang kira-kira 50 orang di suatu kedai kopi yang
beralamat di Cikini. Limapuluh orang tersebut terdiri dari berbagai kalangan dan datang sebagai
individu. Dalam suasana santai, satu dengan yang lain mengemukakan pendapat apa yang perlu
dilakukan untuk menyikapi kekerasan sampai akhirnya disepakati untuk melakukan AKSI DAMAI. Aksi
tersebut kami umumkan secara terbuka di twitter, dan ternyata banyak sekali yang merespon. Dalam
waktu yang singkat, kami sepakat untuk memakai nama #IndonesiaTanpaFPI untuk gerakan ini.
Di twitter sendiri, kampanye kami menggunakan hashtag #IndonesiaTanpaFPI dan
#IndonesiaTanpaKekerasan.

    -   Alasan pemakaian nama #IndonesiaTanpaFPI.

Kami sebagai orang awam memakai kata ini, karena tuntutan aksi kami bukan untuk membubarkan
FPI, melainkan menghentikan kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh FPI. Setiap orang
berhak untuk berserikat dan berkumpul, dengan tidak menggunakan kekerasan (sesuai dengan
Deklarasi HAM).

    -    Kekecewaan dan keinginan kami.

Aksi kami adalah bentuk ekspresi kemarahan dan rasa kecewa pada negara. Kekerasan demi
kekerasan terus terjadi dan negara tidak mendidik masyarakat bahwa kekerasan bukanlah tindakan
yang patut dicontoh, bukanlah tindakan yang benar.
FPI seperti kita tahu melalui media massa sebagai kelompok sering menyerang, memaki, atas sesuatu
yang tidak dia setujui, bahkan tega memukuli orang, dan lain-lain. Kejengkelan kami berujung pada
aksi ini. Kami telah memakai surat ijin dan melaporkan soal aksi kami ini ke polisi atas nama
masyarakat Jakarta, dan aksi kami berupa aksi damai. Tujuan kami adalah mengajak dan menggugah
kesadaran masyarakat bahwa kekerasan yang dibiarkan ini tidak bisa dibenarkan dengan alasan
apapun.
Kami tidak ingin menyakiti siapa-siapa, justru kami ingin mengajak masyarakat untuk bergabung
menolak dengan aksi damai.

    2.  Kronologis Aksi 

Kami berkumpul disepakati pukul 15 dengan meeting point di pos polisi dekat Bundaran HI. Pinggiran
kolam Bunderan HI digenangi air tidak seperti biasanya. Pada saat itu sudah ada massa di Plaza
Indonesia. Beberapa dari kami mendatangi massa di Plaza Indonesia. Sebagian kecil massa
mendatangi pos polisi. Massa yang di pos polisi kemudian memilih untuk menggabungkan diri dengan
massa di depan Plaza Indonesia. Setelah massa terkumpul, kemudian massa bergerak ke Bundaran HI.
Belum sampai 15 menit berkumpul, kami diminta polisi untuk membubarkan diri karena katanya FPI
datang.

Posisi kami pada saat itu di Bundaran HI. Massa bertahan, namun kami berusaha untuk memindahkan
massa ke depan Plaza Indonesia, lalu ke depan Grand Hyatt. Kami lanjutkan aksi damai di sana dan FPI
tidak datang. Diantara kami ada kebingungan,  kenapa kami yang sudah meminta izin tetapi kami yang
dibubarkan kalau FPI datang.

Pada saat aksi masih terus berlangsung (orasi), seorang yang tidak dikenal di barisan kami sejajar
dengan spanduk yang kami bentangkan tiba-tiba merebut spanduk kami sambil marah-marah.
Lalu ada orang memakai baju hitam ikut memukul teman kami, Bhagavad Sambadha, hingga terjatuh.
Kemudian Bhagavad Sambadha dibawa polisi menjauh dari massa. Beberapa orang bereaksi atas hal
ini, “Loh, kok yang ditangkap malah teman kami yang juga korlap?”
Setelah peristiwa tersebut, diputuskan aksi dibubarkan tetapi massa memilih tetap bertahan di Plaza
Indonesia hingga kemudian membubarkan sendiri.

    3.  Klarifikasi terhadap sebutan bahwa aksi ini berafiliasi dengan kelompok tertentu 

Disebutkan dalam surat ijin, bahwa jelas kami adalah dari Warga Jakarta. Diatas juga sudah
disampaikan siapa kami, yaitu individu-individu, warga Jakarta. Jika ada yang menyebutkan ada
afiliasi dengan kelompok tertentu, kami tegaskan sekali lagi bahwa kami adalah individu warga
Jakarta.

    4.  Sikap Kami 

    a.  Bahwa #IndonesiaTanpaFPI adalah sebuah gerakan, bukan organisasi.
    b.  Gerakan #IndonesiaTanpaFPI  tetap bergulir kepada aksi-aksi selanjutnya,apakah itu aksi
        turun ke jalan, kampanye ataupun langkah-langkah politis.
    c. #IndonesiaTanpaFPI bukan gerakan elemen-elemen, ormas, LSM ataupun kelompok-kelompok
       masyarakat lainnya. Gerakan #IndonesiaTanpaFPI adalah reaksi dari individu-individu warga
       Jakarta, bagian dari masyarakat Indonesia, terhadap berbagai aksi kekerasan dan intoleransi
       yang dilakukan ormas atau kelompok masyarakat yang mengatasnamakan SARA.
    d. #IndonesiaTanpaFPI mengutuk keras aksi kekerasan dan intoleransi yg dilakukan ormas atau
       kelompok masyarakat yang mengatasnamakan SARA.
    e. #IndonesiaTanpaFPI terlahir dan akan tetap melakukan gerakan selama masih terjadi
       pembiaran oleh negara terhadap aksi-aksi   kekerasan dan intoleransi yang dilakukan ormas
       tertentu dengan mengatasnamakan SARA.
    f. Gerakan#IndonesiaTanpaFPI menjunjung tinggi HAM dan Demokrasi,oleh karenanya
       #IndonesiaTanpaFPI tidak menghendaki terjadinya pembubaran ormas dan pengekangan
       kebebasan berkumpul dan berserikat. #IndonesiaTanpaFPI mendesak pemerintah mengambil
       tindakan hukum tegas,transparan dan tidak tebang pilih terhadap ormas atau kelompok
       masyarakat yang melakukan aksi kekerasan, melanggar hukum, dan intoleransi.
    g. #IndonesiaTanpaFPI mendesak pemerintah untuk segera menuntaskan kasus-kasus
       kekerasan, melanggar hukum, dan intoleran yang telah terjadi di Indonesia selama ini.
    h. Gerakan #IndonesiaTanpaFPI menyerukan kepada saudara-saudara kami di seluruh Indonesia
       agar tetap menjaga damai di setiap aksi-aksi penolakan terhadap hadirnya kekerasan serta
       tidak tersulut provokatif yang tidak menginginkan bangsa ini damai.
    i. Terkait tindakan pemukulan terhadap teman kami Bhagavad Sambhada, kami ingin Polisi
       memproses pelaku pemukulan sesuai hukum yang berlaku.


Terimakasih,
Jakarta, 19 Februari 2012

Salam Damai
#IndonesiaTanpaKekerasan
#IndonesiaTanpaFPI