05 September 2011

Menemukan Jalan Pulang : Lingkaran Kekuatan

Catatan pengantar :
Aku berterima kasih pada seorang pendiri grup yang dalam catatan ini aku paparkan. Ia menginspirasiku untuk melakukan segala sesuatu dengan memulainya dari langkah sederhana : membangun lingkaran kecil dukungan demi pemulihan, demi perubahan.

Aku dengan tangan kecil ini, dengan nafas yang singkat ini, ingin sempat melakukan sesuatu.....


                                                                (jeda)


Biar bagaimanapun ini hasil bergaul dengan media sosial. Sekeras apapun argumen tentang berapa banyaknya waktu yang aku gunakan untk bermain-main, demikian kawan baikku menyebut aktivitasku yang dinilainya berlebihan di media sosial.
Dari media sosial aku “menemukan” grup ini. Bukti aku tak sekadar bersenang-senang saja dengan akun-akunku. Walau ia sangsi mengingat aku cukup sering mengeluhkan hal-hal pribadi di time line'ku. So what gitu loh, pembicara publik kaliber internasional saja melakukannya cukup sering kok aku tak boleh melakukannya sesekali, huh !

Soal protes itu aku tak terlalu memikirkannya. Hanya aku yang benar-benar tahu apa yang tengah kuyakini sebagai salah satu bentuk perjuangan, adalah lewat media sosial. Memanfaatkan jumlah koneksi yang ribuan. Membangun kesadaran dan kepedulian dari dunia manapun termasuk dunia maya. Dengan peringkat Indonesia yang rata-rata masuk lima besar pengguna media sosial di dunia, mustahil bila apapun yang disampaikan secara berulang-ulang nggak ada yang nyantol di kepala para pengguna media sosial. Paling tidak mereka tahu. Dari tahu diharapkan beberapa diantaranya akan peduli. Dari yang peduli aku yakin ada yang tergerak dan dari yang tergerak tentu ada yang mewujudkannya dalam gerakan nyata. Aku terus mempercayainya. Tak ada sesuatu yang ditanamkan dengan tekun yang tidak berbuah.

Intinya aku memang keras kepala dan sulit ditundukkan terutama pada apa yang aku yakini benar.

Dari Dari beberapa postingan sebuah grup yang aku temukan di twitter, aku mendapati semacam “jalan pulang”. Memberanikan diri bertanya lebih jauh perihal grup tersebut membawaku ke sebuah perjuangan yang makin mengerucut. Aku menemukan potongan diriku yang aku kira sudah tak akan kutemukan lagi.........


Juni 2011

Jantung berdegup kencang. Sejak turun dari ojek aku tak berhenti menguatkan diri. Setelah masuk pintu oranye sesuai panduan perempuan yang masih berbicara denganku di telepon genggam, aku mendapati tangga menuju lantai atas sesuai yang dikatakannya. Di sana hanya ada 4 orang perempuan yang sedang duduk di lantai keramik putih bersih. Semua terlihat santai. Tidak seperti bayanganku semula, dengan jumlah peserta yang jauh lebih banyak dan tentu lebih menakutkanku. Ini kali pertama aku bergabung dengan sebuah grup berbagi, demikian aku awalnya aku menamai grup ini. Di dalamnya tegak perempuan-perempuan kuat yang berhasil bertahan dari ganasnya sejarah.

Kami survivor kekerasan seksual masa kanak-kanak. Menyebutkan hal ini, butuh banyak keberanian. Keberanian mengaku dan menerima. Keberanian berbagi dan saling menguatkan. Keberanian menyuarakan dan membangun kekuatan unuk mencegah hal yang sama berulang.

Pada pertemuan pertama kami lebih banyak memperbincangkan kasus penculikan dan pemerkosaan yang menimpa bayi perempuan yang baru berumur 8 bulan. Kemarahan tak tertahankan membuat kami bergantian memaki pelakunya dengan berbagai umpatan dan kutukan. Luapan kemarahan yang luar biasa. Meledak dan menyakiti. Sesungguhnya menyakiti diri kami.
Kami menyimpan murka pada para predator seksual yang hanya berani melakukannya pada anak-anak. Yang bagi kami, tak berhasil membangun konsep diri sebagai manusia. Kami sebut mereka, para predator seksual yang melakukan perbuatannya pada anak-anak, BINATANG. Sebutan yang keluar begitu saja karena terdorong emosi sesaat.
Ada rasa ingin menangkap predator ini hidup-hidup dan menyiksanya. Aku juga. Sangat. Para predator ini tak pernah tahu kerusakan apa yang mereka ciptakan di masa si korban tumbuh dewasa.
Padaku, kerusakan itu sedemian parahnya..... It's a long term damages!

Pada kasusku, keinginan itu sudah terkubur dalam-dalam. Sedemikian dalamnya hingga aku hampir-hampir tak mampu menggali kembali meski hanya berbentuk kenangan. Sudah terkubur bersama pelakunya yang sudah beberapa tahun mangkat.
Seorang psikolog dalam grup ini menyebutnya mekanisme hebat otak manusia yang entah bagaimana caranya secara otomatis membuat para survivor melupakan apa yang dialaminya. Sesuatu yang dirasa tak pantas diingat atau terlalu menjijikan untuk menjadi bagian dari ingatan.

Aku percaya tak ada hal yang terjadi secara kebetulan. Di dalam grup ini ada beragam profesi, mulai dari penulis, akademisi, paramedik dan sebagainya. Di pertemuan selanjutnya ada profesional muda, juga jurnalis senior. Bencana ini tak memilih orang tertentu dari bangsa tertentu. Ia merusak, menghantui dan menimbulkan kerusakan besar dalam jangka waktu yang panjang. Dari yang pernah mengalaminya, ia meninggalkan lubang besar dalam dan gelap. Di dalamnya kami pernah berkubang merasa nista dan sendirian, sampai kami bertemu dan saling berpegangan tangan dalam sebuah lingkaran. Saling menguatkan dan memberi ruang. Ruang untuk menghela nafas sedalam-dalamnya, memberi oksigen baru bagi paru-paru jiwa yang kepayahan dimakan rutinitas yang mengubur sedalam-dalamnya kesadaran untuk memulihkan diri dari kenangan-kenangan hitam yang tak pernah kami inginkan terjadi di masa kanak-kanak kami.
Sebagian dari kami masih bermata duka dan luka. Masih mencari jawab atas apa yang telah terjadi dan mengapa harus menimpa kami yang saat mengalaminya adalah tunas mungil yang harusnya dijaga kemurnian dan kepolosannya. Kebeningan mata kanak-kanak yang lalu digelayuti mendung yang hampir abadi. Yang sewaku-waktu menjelma hujan saat potongan-potongan kenangan itu datang tanpa permisi. Melukai berkali-kali.

Setiap dari kami percaya, lingkaran ini adalah lingkaran pemulihan. Setiap seorang dari kami berbagi kisah baru, ia tak lagi menjelma luka, tapi ketegaran. Semakin mengerikan kisah yang kami bagi, semakin kuat kami bergenggaman tangan. It helps, a big help.


                                                              (jeda hening)


Untuk pertama kalinya secara detail aku menceritakan apa yang terjadi pada diriku hampir 33 tahun yang lalu saat sepanjang ingatanku, seorang pemuda, anak ke-3 tetangga sebelah rumah, berumur sekitar 18 hingga 20 tahun saat itu melakukan pelecehan seksual yang merupakan pengalaman awal pembuka ikatan ingatan akan perlakuan tak senonoh lain yang terjadi atas diriku saat umurku masih kanak-kanak. Masa kanak-kanak yang sungguh mengerikan dan menyedihkan.

Memori kecilku mencatat beberapa kejadian mengerikan baik yang langsung aku alami maupun tidak. Tidak langsung berarti aku menyaksikan. Kekerasan dan pelecehan. Tidak di luar rumah, tapi di dalam rumah tempat aku diasuh. Dimana seharusnya aku memperoleh kasih sayang dan perlindungan dari orang-orang dewasa terdekat, yang oleh kita disebut keluarga dalam. Tapi tidak, penghinaan seumur hidup itu justru paling parah aku alami dari orang dewasa terdekat yang mengasuhku saat itu. Bukan laki-laki, tapi perempuan. Ibu dari mamaku yang kupanggil oma. Oma kandungku sendiri!

Malam itu, di pertemuan pertama, dengan hati yang sesungguhnya hancur (lagi) aku membagi kenangan hitam tentang oma yang entah sengaja atau tak sengaja dalam waktu yang cukup panjang telah melakukan yang kini aku pahami sebagai kekerasan seksual padaku. Waktu itu umurku masih sekitar 8 tahun, saat ia memulainya. Hampir setiap saat hingga aku berumur 11 tahun dan sesudahnya terus menyaksikan kerasan demi kekerasan hingga aku berumur sekitar 13 tahun.
Malam itu aku terlalu arogan untuk menangis. Mengakuinya sebagai pengakuan kedua setelah melakukannya pada psikiater bertahun-tahun yang lalu. Sesungguhnya secara detail, baru malam itu aku berani mengakuinya. Di depan survivor lain. Karena di situ aku merasa tak sendirian lagi. Merasa bersama yang lainnya yang juga pernah mengalami hal yang sama.
Dari lingkaran itu, meskipun di pertemuan pertama, aku menemukan kekuatan yang lebih segar. Kekuatan untuk mengakui, untuk menerima bahwa aku mengalami hal yang jauh lebih buruk dari yang ingin aku ingat. Bukan penyangkalan.

Bahkan hingga bagian ini aku tuliskan aku tak sempat menguraikan pada para survivor lain betapa aku merasa hampir seluruh tubuhnya kebas hingga aku tiba di rumah beberapa jam kemudian. Tentu karena pengaruh psikis yang cukup kuat menjalar cepat menjadi efek fisik.

“Membongkar” ingatan yang membuatku tak nyaman setengah mati, membuatku marah luar biasa berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Yang juga berimbas pada orang-orang terdekatku. Aku jadi sangat sensitif waktu itu. Sedikit pemicu, bisa meledakkan emosiku dengan membabi-buta. Menyakiti tak hanya orang-orang terdekatku, juga diriku sendiri. Ada binatang buas meraung-raung dalam diriku yang minta dilepaskan dan siap menerkam siapapun yang menyakiti. Aku seperti ingin melukai siapapun, memroyeksikan kesakitanku dengan menyakiti orang lain, terutama orang-orang terdekat. Secara fisik, aku menyakiti diriku dengan membiarkan tubuhku lelah dan tersiksa. Tidak makan teratur dan tidak tidur berhari-hari. Melibatkan diri pada pekerjaan-pekerjaan yang melelahkan secara fisik dan mental. Aku benar-benar terluka oleh ingatan dan kenyataan bahwa aku pernah mengalaminya. Malu dan perasaan sanga terhina menghntui kemanapun dan kapanpun. Sampai suatu saat aku lelah. Lelah marah, lelah menyiksa diri. Aku tidak pantas memperlaukan diriku seperti itu, karena bukan salahku menerima perlakuan tak sepantasnya di usia sebelia itu. Si pelakulah yang harus dihukum, bukan aku. Selama berminggu-minggu aku justru menghukum diriku sendiri.
Beruntung di sebuah media sosial aku berkoneksi dengan sebuah lembaga anti kekerasa pada anak yang berbasis di Amerika Serikat. Dengan bekal koneksitas itu setiap hari aku mengikuti apa yang mereka posting tentang bahwa sesungguhnya anak-anak berhak mendapat penghormatan dan penghargaan yang proposional dari orang tuanya. Bahwa anak-anak korban kekerasan & kekerasan seksual adalah mereka yang layak didengar dan dianggap serius keluhannya. Bahwa bila hal tersebut terjadi maka orang tualah yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, yang paling berkewajiban melindungi anak-anaknya dari para predator seksual.
Dari berbagai sumber aku mendapatkan bahwa cara paling tepat menghindari hal tersebut terjadi adalah dengan mencegahnya.
Salah satu usaha adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu kekerasan seksual ini beserta efeknya sebagai upaya pencegahan dini.

Bahwa dibalik kekerasan seksual pada anak, ada banyak faktor yang membuat situasi ini menjadi mungkin seperti diantaranya pola pikir maskulin dan macho dari budaya patriaki yang memandang bahwa dengan mengontrol dan mendominasi pihak lain yang dianggap lebih lemah maka menjadi lambang kekuasaan dan kekuatan mutlak. Bahwa fundamentalisme dan ideologi radikal tertentu telah menjadi penyumbang besar terhadap lahirnya para predator seksual yang “berkemasan” lebih terpandang, santun dan mempesona di mata masyarakat.
Bahwa kondisi ekonomi juga turut ambil bagian menjadi salah satu alasan mengapa seorang dewasa melakukan aktifitas pelampiasan seksualnya pada anak-anak yang sejatinya mahluk yang tidak berdaya untuk melawan apalagi mengerti apa yang menimpanya. Belum lagi faktor penyimpangan psikis. Rumit sekali....

Hanya dua hal bagi seorang survivor sepertiku pahami, whatever happened, sexual predator is sick and no one deserved that !


(jeda hening)


pada malam-malam aku padam
kenangan memburu, membunuh
tapi tidak mati, hampir mati
cukup sebuah lubang yang dalam
dimana kusimpan dengan berduka
segaris masa......

18 comments:

  1. Kita terus berjuang untuk sama-sama menyadarkan sekitar dan diri sendiri agar tidak ada kekerasan terhadap anak.

    Semangat mbak akan selalu jadi energi supaya terus bergerak :)

    Aku juga punya "kenangan" masa remaja. Nanti akan kushare juga, mudah2an bisa jadi inspirasi

    ReplyDelete
  2. @ Amet : Can't wait to read it!

    @ Ajeng : peluk Ajeng erat2, makasih sdh singgah ya

    ReplyDelete
  3. Ine. Aku enggak mampu komentar yg ada cuma rasa kaget dan salut pada kekuatan kamu berjuang merebut kehidupan kamu. Di balik wajah ayu dan kelembutan kamu ada kekuatan yg maha dahsyat yg enggak dimiliki orang lain. Yakinlah Ine, Tuhan mendengar semua doamu dan mengabuklannya. Di balik kegelapan pasti ada cahaya terang yg menyinari kehidupan kamu. Big hug.

    ReplyDelete
  4. ada doa yg selalu bersama-sama kami ucapkan setiap akhir pertemuan......kekuatan untuk merubah hal2 yg dpt diubah, keihlasan utk menerima hal2 yg tak dpt diubah & kebijakan utk bisa membedakannya....terima kasih Mbak Anny :)

    ReplyDelete
  5. Ne, ada saatnya ingin menyerah pada kebrengsekan hidup sebab berserah cuma kata yg lugu.Kita tetap berjalan karena kita bukan orang-orang yg brengsek meski punya kerapuhan. Dirimu ada oleh sebuah misi utk melawan semua kebrengsekan yg diakibatkan oleh orang-orang brengsek. Satu hal yg kukenal sangat darimu: Hatimu indah dan emas. Inne patut mendapat yg terbaik dari semua perjuangan hidup. Berhiduplah dan lawanlah !

    ReplyDelete
  6. Ne, ada kalanya kita ingin menyerah akibat kepahitan orang-orang yg melakukan kebrengsekan di hidup kita. Berserah adalah kata dan tindakan lugu, sebab keberadaan dirimu adalah sebuah misi yg dibebankan kepd org baik spt dirimu.

    Di antara kerapuhan, berjalanlah dan hadapilah meski dgn susah payah. Satu hal yg kukenal sangat dalam pribadimu, Ne: Dirimu indah dan hatimu emas. Dengan itu dikau melawan dan berjalan. Luv you !

    ReplyDelete
  7. ah Mbak Shinta, u r my best supporter, when u said u love me, i can feel it very much, i strengthens me! i love u too!

    ReplyDelete
  8. oh my God.... mb Helgaaaa..... tegar yaaa... miss u....(peluk hangat)

    ReplyDelete
  9. jangan sampai terjadi pd orang2 yg disayangi & dikenal Mbak.....hug u back

    ReplyDelete
  10. saut poltak tambunanSeptember 7, 2011 at 1:21 PM

    Be strong, Inne. Tuhan tidak tidur. IA tidak mematahkan buluh terkulai, IA tidak memadamkan sumbu meredup. IA menjagamu beserta seluruh yang kau cinta, tanpa 'tetapi'.

    ReplyDelete
  11. Terima kasih Bang, IA yang pernah tergantung antara bumi dan langit pasti menguatkan, juga menyertai Bang Saut sekeluarga :)

    ReplyDelete
  12. you're one brave woman to come and tell us about everything you experienced in your past. glad to have you with us :)

    ReplyDelete
  13. I'm so lucky to know u all, it's really like home :)

    ReplyDelete
  14. semoga tidak ada lagi kekerasan seksual pada anak yang dapat meningglkan luka psikis kelak..
    salam dari banda aceh. semoga ada pencerahan dari catatan ini...

    ReplyDelete
  15. terima kasih telah membaca & ikut peduli

    ReplyDelete