07 February 2013

IDENTITAS PEREMPUAN


Barusan saya terlibat percakapan dengan seorang kerabat jauh. Masih terhitung paman. Kami sudah lama sekali tidak berjumpa. Terakhir bertemu dengan beliau saya masih kanak-kanak.
Mengetahui umur saya tahun ini menginjak empat puluh tahun, ia melontarkan komentar yang membuat saya tersenyum geli, “Wah sudah besar ya…”
Dalam hati saya membatin….bukan sekadar sudah besar, tapi juga sudah separuh baya.
Mungkin juga mengingat umur saya lalu si paman menanyakan hal-hal yang dalam percakapan sangat saya tidak sukai: menanyakan sudah berkeluarga atau belum dan berasal dari mana suami saya. Seolah-olah perempuan seumuran saya wajib sudah berkeluarga dan punya suami. Aduh!


Kebiasaan melekatkan perempuan di usia tertentu pada keharusan sudah berkeluarga dan bersuami adalah bentuk domestikisasi terhadap perempuan yang menyebalkan. Alih-alih bertanya pencapaian atau pilihan eksistensinya, perempuan jarang sekali diberi hak untuk memiliki identitas pilihannya sendiri. Baru dianggap mahluk sosial beridentitas jelas bila melekat pada keluarga atau pasangan, dalam hal ini suami.
Perempuan yang mandiri dalam memilih identitasnya masih dianggap keluar dan mengkhianati kodratnya. Ini pandangan purba yang mengukuhkan stigma dan kontruksi sosial terhadap perempuan. Perempuan mandiri, seperti yang pernah dimuat di media sosial Twitter oleh kawan saya Dewi Chandraningrum adalah ancaman bagi pembawa sistem nilai patriarki. Dianggap perebut kekuasaan dan pemberontak, yang melewati batas norma. Norma siapa? Norma bentukan sistem nilai yang sudah tak bisa menjadi pegangan rasional dalam peradaban yang semakin berkembang.


Perempuan yang mampu mengukuhkan identitasnya dan mempertahankannya, harus bertarung dengan stigma negatif. Stigma yang diciptakan oleh mereka yang merasa kedudukan dan keberadaannya terancam. Yang dipupuk secara terus-menerus dan diupayakan kesuburannya di tengah masyarakat. Dipertahankan menjadi budaya dengan embel-embel norma yang patut, baik dengan topeng agama, adat, dan sebagainya agar pembawa dan penyandangnya mudah diterima (baca: dengan dogma dan doktrin, bahkan mitos dan tahayul).
Ada kejengkelan saya tangkap saya seorang kawan perempuan lajang hendak mengurus kredit kepemilikan rumah. Ia dimintai paksa persetujuan dan data suami, padahal stausnya lajang dan itu salah satu syarat mutlak di hampir semua bank.
Bayangkan saja, bahkan untuk memiliki propertinya sendiri, dari uangnya sendiri, perempuan harus dirampas identitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan di dunia bisnis pun perempuan lajang dianggap bukan pemegang peran ekonomi. Padahal bahkan seorang ibu rumah tangga pun, ia memiliki peran ekonomi yang penting. Yang harus berhadapan dengan fluktuasi harga dan kerumitan pengaturan keuangan keluarga tapi yang perannya paling dianggap kurang penting karena peran domestic dinggap peran mudah dan sepele. Lagi-lagi identitas perempuan dinggap tak ada.


Sepanjang jaman, perempuan menerima identitas  (baca: dipaksa dan dikondisikan) dari orang lain. Anak siapa, jadi seperti siapa, istri siapa adalah pertanyaan langganan terhadap perempuan saat melakukan interaksi sosial. Seolah-olah tanpa kehadiran “siapa”, perempuan tak menjadi dirinya, tak menjadi manusia utuh.
Saya pernah memberi pelajaran pada seorang pekerja media yang mewawancarai saya untuk profil sebuah majalah. Saat akhir wawancara, si penanya lebih serius bertanya soal pasangan saya. Berkali-kali menekankan pada dukungannya pada kerja dan karya saya, seolah-olah itu hal paling penting dalam perjalanan perjuangan di isu yang saya usung. Klimaks yang membuat saya kesal.
Sambil berkelakar saya mengusulkan padanya untuk menyediakan waktu khusus mewawancarai pasangan saya bila ia memang sangat ingin tahu. Karena untuk saya, apa yang sekarang saya jalani dan capai saya bangun dengan kerja keras yang sebagian besar saya upayakan sendiri, bukan dicapai dengan sorak sorai macam cheerleader oleh pasangan saya. Ia hadir setelah saya seperti sekarang ini. Jadi tentu bisa dibayangkan betapa bete ditanyai soal tersebut.
Model wawancara profil macam ini juga saya temui di hampir setiap rubrik profil perempuan lain. Tokoh-tokoh perempuan pemimpin juga tak luput dari model wawancara seperti itu. Penghujung wawancara selalu menanyakan hal yang sama: pasangan dan keluarga, dukungan mereka. Tak salah memang, tapi keseragaman cara berpikir soal eksistensi perempuan yang selalu dilekatkan pada urusan domestik ini membuat saya eneg. Tak bisakah perempuan memiliki ruangnya sendiri dalam hal ini?
Mungkin masih sulit diterima nalar sementara orang bahwa perempuan mampu memiliki identitas dan prestasinyanya sendiri lewat usahanya sendiri.


Soal identitas ini sebenarnya jadi dilema tak hanya perempuan. Sesungguhnya laki-laki juga tak kalah tertekan saat identitasnya dipertanyakan bila ia tak memenuhi perannya seperti yang dituntut sistem nilai yang mngontruksinya harus manjadi tiang kehidupan dan penghidupan. Laki-laki dewasa dituntut bekerja di luar rumah dari pagi hingga petang. Laki-laki yang bekerja di rumah atau mencari nafkah dengan berkegiatan di rumah dianggap tak lazim. Laki-laki yang mengerjakan pekerjaan domestik sementara pasangannya bekerja di luar rumah dilemahkan dan diejek. Padahal pekerjaan domestik bukan pekerjaan gampang. Butuh keterampilan dan sangat melelahkan. Tak beda dari kerja kantoran, juga butuh berpikir. Bagaimana mengatur segalanya menjadi seimbang, rapi, bersih dan terpenuhi dengan biaya yang seminim mungkin. Sungguh tak mudah.

Pada identitas bentukan sosial, laki-laki juga jarang diperkenankan mengekspresikan emosinya. Laki-laki yang menangis dianggap cengeng dan feminin, salah satu contohnya. Laki-laki dituntut macho dan jadi penakluk. Harus bisa beradu fisik dan menjadi pemenang. Identitasnya sebagai laki-laki ditentukan dengan cara yang keras baik langsung maupun tak langsung.


Oleh sebagian besar feminis, perjuangan menggugat identitas perempuan dianggap sebagian besar masyarakat sebagai pemberontakan terhadap laki-laki. Padahal yang dituntut adalah kesetaraan, bukan perebutan kedudukan dan kekuasaan. Upaya membentuk keseimbangan.
Saya kutip pernyataan Marianna Amiruddin, peminpin redaksi Jurnal Perempuan di sebuah majalah, bahwa mencapai setara adalah upaya memberi keseimbangan dalam kehidupan. Lewat dari setara adalah penindasan.


Perempuan yang memperjuangkan identitasnya bukan sedang menggugat siapa pun yang tak seide dengan dirinya tapi sedang menggugat dirinya sendiri agar mampu mencapai titik nyaman yang seimbang. Ini upaya menempatkan dirinya ke kondisi dimana akhirnya selain berguna untuk dirinya juga memberi guna bagi banyak orang di sekitarnya. Oleh karenanya, sangat penting bagi perempuan memiliki identitasnya sendiri dan bukan semata yang dibentuk oleh orang lain. Dan upaya ini adalah soal belajar, bekerja dan berkarya lebih giat dimana pun, kapan pun dan apapun peran yang dipilih.
Identitas kita bukan pemberian, tapi diusahakan dan dibentuk oleh kita sendiri.

5 comments:

  1. Yang ditanya soal udah berkeluarga atau belum bukan cuma perempuan kali. Cowok juga. Jadi ya, untuk kalimat ini:

    "Kebiasaan melekatkan perempuan di usia tertentu pada keharusan sudah berkeluarga dan bersuami adalah bentuk domestikisasi terhadap perempuan yang menyebalkan."

    Itu bukan cuma diderita kaum perempuan. Laki-laki yang udah menua dan nggak berkeluarga juga mendapatkan tekanan yang serupa kok.

    Tapi untuk penutupnya, saya setuju: "Identitas kita bukan pemberian, tapi diusahakan dan dibentuk oleh kita sendiri."

    ReplyDelete
  2. @Wisnu: Sayangnya yg lebih banyak alami pertanyaan ini perempuan, bahkan sejak masih umur2 20an awal.

    ReplyDelete
    Replies
    1. yep, itu pertanyaan menyebalkan yg standar :D

      Delete
  3. iya, standar orang2 tanpa pilihan....hehe

    ReplyDelete