29 March 2011

Agama Seorang Perempuan

Petang tak lagi sama saat saya meninggalkan sebuah café di bilangan Thamrim beberapa hari lalu. Bertemu dan berbincang dengan seorang perempuan peraih mimpi, demikian lalu saya menggambarkannya, benar-benar membuat hidup saya berubah dari titik sejak saya menemukannya.

Namanya Kuncup, perempuan yang usianya hampir menyentuh empat puluh, ibu tunggal dua orang anak perempuan. Saya menemukannya di sebuah situs pertemanan. Beberapa kawan menyebutnya penyair maya. Kenyataannya saya tak hanya menemukan puisi-puisinya tapi juga beberapa tulisan lain yang menarik dan tak biasa. Belakangan saya juga tahu ia juga aktivis independen pemerhati masalah perempuan dan hak asasi manusia, sesekali diundang menjadi pembicara tamu di seminar-seminar motivasi dan bersama beberapa kawan penyairnya sudah menerbitkan beberapa buku kumpulan puisi.

Pertemuan dengan Kuncup sungguh sebuah kebetulan yang saya syukuri tiap detiknya. Saya menjadi semakin percaya bahwa tak ada setitik kejadian dalam hidup ini terjadi tanpa sebuah maksud. Hanya karena membaca Twitter’nya yang memuat soal keberadaannya di mal yang sama saat saya juga berada di tempat yang sama lalu kami memutuskan untuk bertemu. Sesederhana itu. Jadi ini untuk pertama kalinya saya bertemu dengannya.
Kopi darat biasa, dibuka dengan basa-basi biasa, dan saya menangkap ketidaknyamanan di matanya dan teringat bahwa di kolom “tentang saya” ia menulis : tidak suka berbasa-basi.
Matanya baru bersinar-sinar riang saya bertanya tentang anak-anaknya, dia bercerita panjang lebar dengan gembira. Terhenti mendadak saat saya bertanya apa ia tidak ingin menikah lagi, karena di beberapa percakapan sebelumnya di dunia maya, Kuncup, perempuan yang sebenarnya saya yakin secara fisik disukai kaum pria, menyatakan memilih untuk tidak menikah lagi.
“Saya ingin memusatkan hidup saya pada anak-anak yang masih kecil dan pada orang-orang yang memerlukan inspirasi utuk bisa melanjutkan hidupnya dengan berani”

Oh!

Tiba-tiba saya merasa berhadapan dengan perempuan yang tidak biasa. Tiba-tiba saya ingin menggali apa yang ada di dalam pikiran dan hatinya. Tiba-tiba saya jatuh hati padanya. Sepotong jawaban yang membuat saya jeda.

Kuncup lalu bercerita tentang mengapa ia perlu menggerakkan orang lain untuk berani menghadapi hidup dan mensyukuri setiap masalah yang menghampiri hidup. Dari ceritanya itu saya kemudian tahu, dia pernah berada di titik nadir, pernah tidak merasa manusia. Hancur yang tak lagi berkeping-keping tapi mendebu. Didera sakit fisik dam psikis yang oleh akal sehat harusnya sudah membuatnya mangkat sejak lama. Saya kaget luar biasa ditabrak kenyataan bahwa perempuan Kuncup, dengan segala kiprahnya adalah pengidap bipolar disorder*) yang mungkin akan seumur hidup harus mengonsumsi obat-obat penyetabil mood karena setahu saya pengidap BP harus berjuang dua atau tiga kali lebih keras dari pada orang-orang biasa untuk bisa hidup normal, dan untuk perempuan Kuncup, hati saya luruh mengingat kiprahnya dimana-mana bukan kiprah biasa, kiprahnya adalah kiprah dengan cara sederhana namun dengan tujuan besar yang memuliakan hidup sesamanya.

Di ujung percakapan saya berucap, “Sang Maha sangat mencintaimu apapun yang kamu yakini…”

Perempuan Kuncup menunduk dan dengan berkaca-kaca ia berkata lirih, “Agama saya adalah Saya Hanya Merasa Bahwa Segala Sesuatu Ada Yang Mengatur dan Menggerakkan, Dan Saya Sangat Berharap Yang Saya Lakukan Saat Ini Dihitung Sebagai Tabungan Yang Akan Memudahkan Hidup Anak-anak Saya Kelak……..”

*) bipolar disorder : kekurangan psikis yang membuat pengidapnya berubah mood secara drastic (maniak & depresi), di periode maniak seorang kreator akan menghasilkan banyak ide &karya, di periode ini penderita BP bisa tidak makan dan tidur berhari-hari tanpa merasa lelah. Sebaliknya di periode “low” penderita BP akan merasa depresi yang bisa jadi tanpa pemicu. Merasa nothing dan tak bersemanagt, merasa sedih berlebihan dan tertekan.

2 comments:

  1. sepertinya Kuncup sosok yg familiar sekali..;) Tulisan yg inspiratif.. Met berkarya selalu Mbak Helga..:)

    ReplyDelete
  2. Wew,,agama ini pasti gak cukup kalau ditulis di KTP ^_^
    Tapi sebenarnya keyakinan macam inilah yg dibutuhkan Indonesia. Nice post, Mbak!

    ReplyDelete