10 February 2009

telepon genggam

mengapa kau begitu gundah telepon genggamku?
adakah aku meminggirkanmu untuk hal lain?
atau hanya menggeletakkanmu tanpa memandangimu dengan kagum?
pantaskah kau merajukiku?
menjadi sunyi tanpa kutahu mengapa?
mengancing deringmu rapat-rapat,
mengunci getarmu senyap-senyap,
memelukku dalam lenyap,
mendekapku dalam degup ramai yang demam.

hingga sesiang ini,
meski tampak subuh sesubuh-subuhnya
karena musim belum berganti kemarau kering,
cuma mendung gemuk yang siap hujan hingga ke mata hati dan banjir hingga ke mata kaki,

tetap kau tak bergeming mengantar namanya
agar diriku tak lebam-lebam
harus mengerti ia tak menyimpan angka-angkaku lagi,
atau huruf-hurufku lagi,
atau hatiku lagi,
atau buku puisi penyair yang kukagumi,
atau pesan-pesanku lagi
atau dia lupa bagaimana menarikan jari-jarinya
sebagai ritual yang kuminta bila hendak menalikan perasaannya pada apa yang kurasa lewat suara atau teks pesan singkat.

kau begitu tenang sedangkanku tidak

dalam lima kali duapuluh empat jam kau mengajarku bagaimana merdeka
bagaimana membangkitkan pilihan
mengajarku bahwa hari-hari yang kusebut sulit,
adalah hanya hari-hari biasa,
yang sama-sama kita rapihkan menjadi meja kerja yang menyimpan semua pada tempatnya dan waktunya

sebagai hanya sebuah telepon genggam,
kau tak sekedar hanya,
kau juga adalah sebuah juga.





*jakarta sesiang gelap ini, hari ke sepuluh bulan febuari dua ribu sembilan*

No comments:

Post a Comment