16 April 2017

Cerpen: P U L A N G

Dimuat di Jurnal Perempuan No.71 edisi RAPE. Didedikasikan untuk Lentera Indonesia, para survivors, dan para perempuan yang dengan teguh melawan berbagai bentuk kekerasan lintas latar belakang. Memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 25 November 2011.

----------------

Ekklesia berdiri gamang di depan pintu bercat oranye cerah. Keberaniannya melangkah melalui pintu itu tiba-tiba lenyap. Seketika hatinya mengerdil dan menggigil. Unntuk pertama kalinya ia merasa gentar pada sebuah pintu.
“Kemana pintu ini akan membawaku ?” Sebuah suara dalam kepalanya terus menanyakan hal yang sama sejak 34 menit yang lalu.
-----------------
Semua bermula dari keaktifannya di jejaring sosial. Ekel, demikian teman-temannya memanggil, percaya bahwa apa yang dilakukannya secara terus-menerus dengan hanya berkonsemtrasi pada isu yang sama akan berbuah suatu saat.
“Kel, posting-postinganmu tak ada artinya kalo kau tak mewujud diri dalam gerakan nyata yang lebih aktif...” Dimas, laki-laki batak bernama Jawa, karib Ekel berujar.
“Ah, masak suatu isu terus-menerus dibuzzing dlam jangka waktu yang panjang tak akan menarik perhatian orang, aku percaya suatu saat berbuah Dim !” Ekel membantah. Untuknya pernyataan-pernyataan pesimis siapa pun tak pernah dianggap penghalang perjuangannya menyuarakan kekerasan seksual yang dialaminya puluhan tahun lewat agar tak terjadi lagi pada perempuan dan anak-anak lain. “ Tapi aku sudah mulai bergerak sejak setahun lalu loh Dim ! Kalo gak ada penyintas yang berisik soal ini gak akan ada orang yang akan benar-benar peduli.”
“Iya sih Kel, tapi mbok inget-inget kondisi, kamu bisa mati mendadak kalo ngoyo begitu. Anak-anakmu masih kecil... ” Kata Dimas lirih.
Ekel menatap Dimas iba. Sahabatnya ini berkali-kali mengingatkannya soal kondisi kesehatannya. Ekel lahir dengan klep jantung bocor. Lalu keruntuhan rumah tangganya 6 tahun silam membuat Ekel sempat terapi dengan obat-obat penenang yang harus dibayarnya mahal, ginjal kirinya sempat bengkak dan kini tak berfungsi baik.
Ekel meraih Dimas dan memeluknya, “I'll be okay Dim....I promise you, I'll be okay...”
“Pastikan kamu memenuhi janjimu Kel. Aku kehilangan orang-orang yang kusayangi baru 2 tahun lewat. Tak mampu kehilangan seorang lagi. I do care about you Ekel.” Di pundak Ekel Dimas membenamkan matanya yang mulai digantungi genangan bening.
Ekel menemukan Purple Lantern, sebuah grup dukungan untuk para penyintas kekerasan seksual dari sebuah media sosial. Ia tak pernah menemukan model pelayanan dukungan seperti ini sebelumnya dimana pun. Ia hanya menemukan model layanan seperti ini di film-film barat yang pernah ditontonnya. Ada grup dukungan untuk pecandu alkohol dan pecandu belanja, sejauh ini, itu yang Ekel tahu. Itu pun lewat film fiksi.
Ia bersyukur karena menemukan grup ini di tengah kecanduannya berinteraksi dan beraktifitas lewat media sosial. Ekel merasa menemukan jalan pulang.
Setelah bergulat dengan dirinya sendiri, Ekel memutuskan datang ke pertemuan tertutup. Ia mendorong pintu oranye cerah di hadapannya perlahan. Langsung menemukan lorong bercat putih persis seperti yang disampaikan perempuan yang memberi arahan lewat telepon 40 menit lalu. Setelah sekitar 3 meter, Ekel menaiki tangga di sisi kiri lorong, sesuai arahan.
Lantai 2 tempat itu tak begitu luas, namun cat putih bersih mebuatnya terlihat lebih luas dan bersih. 4 perempuan duduk santai di atas lantai dengan cemilan-cemilan kecil, sekotak tisu dan 6 gelas es teh di gelas cukup besar.
Tak banyak yang dibicarakan mereka malam itu. Tak ada juga yang berbagi cerita malam itu. Semua malah beramai-ramai membahas soal perkosaan yang baru dialami bayi berusia 8 bulan di sebuah dusun nelayan di selatan Pulau Sulawesi.
Semua, termasuk Ekel bicara emosional soal itu. Ekel yang biasa selalu waspada dan menjaga jarak saat bertemu dengan orang-orang yang baru ia kenal, tanpa sadar lebur tak berjarak.
Beruntung grup ini tak mewajibkan penyintas yang baru datang untuk langsung bercerita pengalaman buruknya. Psikolog pemimpin grup dukungan ini memahami bahwa ia tak mungkin memaksa penyintas langsung bisa menceritakan pengalaman yang pasti telah terikat erat dalam sejarah mereka dan menjadi bekas luka yang mereka bawa seumur hidup.
Di pertemuan ke-3 baru Ekel mampu menceritakan pengalamannya. Mimiknya datar tanpa kesedihan saat menceritakan kejadian yang disimpannya rapat-rapat lebih dari 30 tahun itu. Ekel tak tahu harus merasa apa saat ia berhasil menceritakannya, namun sepulang dari pertemuan rutin penyintas itu, Ekel diserang efek psikosomatik yang cukup hebat.
Ia tak mampu makan dan tidur malam berhari-hari, bobotnya tubuhnya merosot hingga 9 kilogram. Ia bahkan sempat pingsan saat mengambil laporan tengah semester anak sulungnya. Ibu tunggal 2 anak perempuan ini seperti baru merasa mengalaminya sekali lagi. Keringat dingin selalu mengucur deras bahkan saat ia sedang tidak melakukan apa-apa.
“Ekel, kamu bisa mati kalo terus tak makan seperti itu”, suara Dimas di telepon bergetar.
“Iya Dim, aku janji akan makan sesuatu...” Ekel bicara tak kalah gemetar.
“Penuhilah janjimu Kel...” Kata Dimas sebelum menutup teleponnya. Selalu dengan permintaan yang sama.
Dan demi anak-anak dan sahabat yang selalu ada kapan pun Ekel membutuhkan mereka, Ekel mulai makan dan mengonsumsi vitamin-vitamin yang dianggapnya perlu. Kondisi Ekel membaik. Ia mampu melewati masa ber-konfrontasi dengan pengalaman pahitnya dengan cukup baik.
Di pertemuan ke-10 tangis Ekel baru pecah.
“Selama ini saya nggak bisa menangis. Diperkosa saat saya masih begitu kecil dan berulang 3 tahun sesudahnya menciptakan lubang besar dan dalam dalam hati saya.... Demikian juga saat saya harus bercerai berkali-kali. Trauma-truma itu memperdalam lubang itu. Setiap kali saya menangis, air mata saya tak pernah mencapai mata. Air-air mata itu deras mengalir ke dalam lubang itu.....tak pernah mencapai mata saya. Tapi saya selalu tahu, saya punya lubang yang begitu dalam di hati saya...... Sekarang saya bisa menangis karena saudari-saudara saya di sini sudah mengisi lubang itu.” Demikian Ekel berterima kasih pada grup dukungannya sambil terisak.
Waktu berlalu cepat, tak terasa setahun sudah Ekel bergabung di Purple Lantern. Ekel memutuskan melanjutkan hidupnya dan mengabdi untuk grup dukungan yang telah memberinya jalan pulang. Bergiat menjadi pendamping banyak penyintas dan korban kekerasan seksual membuat Ekel menjadi lebih fokus. Ia bahkan mulai berani menjalin pertalian asmara dengan seorang dokter kandungan yang dulu pernah menolong kelahiran anak keduanya. Laki-laki bernama Soelaiman. Bahu-membahu Iman, demikian Ekel memanggilnya, membantu kegiatan Ekel dan kelompoknya. Bertiga dengan Dimas yang selalu menjadi sahabat terbaik Ekel, mereka juga mendampingi dan memberikan konseling gratis pada penghuni sebuah panti di tengah daerah kumuh di bilangan Jakarta Utara. Panti itu juga rumah perlindungan rahasia bagi beberapa korban kekerasan seksual.
Ekel tetap tekun hadir di setiap pertemuan para penyintas. Ia merasa, proses pemulihan adalah proses seumur hidup. Ia perlu terus bersama dalam lingkaran kekuatan bersama penyintas lain. Lingkaran yang disebutnya rumah baru. Ia bersyukur untuk jalan pulang yang pernah dipilihnya lewat grup dukungan itu.
Siang itu mendung gelap menggantung di atas panti. Hari Selasa kali ini Dimas tak menemani jadwal kunjungannya ke panti. Tidak juga Iman, namun Iman yang hari intu bertugas di Rumah Sakit Tarakan berjanji akan menjemput Ekel selepas tugas pendampingan. Ekel tak khawatir dengan anak sulungnya hari itu karena kali ini ia tak lupa meninggalkan uang jajan dan ojek untuk anak sulungnya yang memang masuk siang. Biasamya Ekel lupa dan malamnya saat pulang, disambut omelan panjang si kakak.
“Sun shine !” Iman membuyarkan kantuk Ekel yang sedang menunggu di pendopo depan panti. Iman selalu memanggilnya seperti itu. Aneh dan kepanjangan menurut Ekel.
Ia menghempaskan tubuhnya ke jok belakang dan langsung berbaring. Kepalanya direbahkan di pangkuan Iman. Tak peduli supir Iman memperhatikannya lewat kaca spion. Iman punya 2 mobil tapi tak bisa mengendarai keduanya. Selalu memakai supir. Bukan benar-benar tak bisa. Iman tak tahan dengan kemacetan dan tubuhnya yang cukup besar, demikinan ia menyebut kegemukannya, membuat ia mudah kelelahan melawan macet. Sementara ia perlu selalu dalam kondisi prima untuk jadwal praktek, kelahiran dan operasi yang sangat padat.
Hari ini Ekel sangat kelelahan. Ia langsung memjamkan mata. Mereka meluncur membelah Kemayoran menuju Rawamangun untuk santap malam bebek rica warungan kesukaan Ekel.
“Sorry nggak nemenin tadi yaaaa...kamu jadi kecapekan begini”, Iman menepuk bahu Ekel perlahan.
Ekel menyodorkan blackberry-nya pada Iman, “Tolong bbm Dimas dong, suruh nyusul.”
“Yah, aku mo ngomomng sama kamu Kel, boleh nggak kali ini kita berdua aja ?” Iman menyentuh pipi Ekel hati-hati. Perempuan ini tak terlihat seperti berumur 40 tahun. Cantik, keras dan berani. Ia tak manja dan tak suka dimanja sepert perempuan lain. Bahkan saat Ekel pernah tak mampu membayar uang sekolah anakanya karena sempat sakit selama hampir sebulan dan praktis tak punya pemasukkan yang hanya mengandalkan tulisan dan sebagai pembicara soal kekerasan seksual, ia tak mau meminta bantuan pada Iman atau Dimas.
Saat Iman memaksa membantunya, 2 bulan kemudian Ekel mengganti uang yang hanya ia mau terima bila diperbolehkan dibayarkan kembali padanya.
“Ada apa ? Serius amat. Bukan mo ngelamar gue lagi kan ? Gak akan berhasil sil sil sil...” Ekel menjawab sekenanya sambil tetap memejamkan mata.
“Nggaaaaak, parno amat.” Iman menjawil ujung hidung Ekel. Iman tahu, untuk yang satu itu, ia tak akan pernah bisa menundukkan Ekel. Iman sudah 4 kali melamar Ekel. Selalu berakhir dengan penolakan dan kemungkinan berpisah. Iman tak ingin kehilangan Ekel untuk selembar surat nikah meski ia sangat menginginkannya.
“Terus apa dong, jangan bikin jantung gue jebol yah Da”, Ekel memanggilnya Uda. Panggilan khas Minangkabau. Iman laki-laki yang lahir dan besar di Bukit Tinggi.
“If you don't mind, I want you to move to my condo.”
“Huh ? Serius nih ?”
“Also the kids.”
Ekel melongo namun ada binar-binar gembira di bola mata indahnya., “Beneran nih ?”
“I want to be with you and your kids all the time for the rest of my life...and of course my son on the weekend if it's okay with you.” Iman berujar mantap.
Ekel tiba-tiba duduk. Meski migren masih bercokol di kepala bagian kirinya, tak pelak permintaan Iman membuatnya terkejut, tapi sekaligus senang. Ada gelombang hangat merambat di hatinya. Ia memandangi Iman yang sejak ia menaiki mobil tak lepas memandanginya.
"Beneran pindah doang kan, nggak ujung-ujungnya diminta kawin', Ekel memastikan.
"Tidak', jawab Iman tegas.
Ekel beringsut lebih mdekat pada Iman, tangan kirinya menggengam tangan Iman dengan erat. Ekel merasa bahagia. Empat detik kemudian Ekel sudah dalam pelukan Iman.
"Don't hurt me more, I won't stand. aku gak janji kita akan selalu baik-baik saja. Tapi aku berusaha keras untuk pulih."
“Lama-lama aku ketinggalan pesawat nih Da”, Ekel mengomeli Iman panjang pendek sejak tadi. Padahal bukan salah Iman bila semua jalan yang mereka lalui bahkan jalan bebas hambatan sekali pun, dari kondominium Iman di bilangan Kuningan ke Bandara Soekarno-Hatta macet gila-gilaan seperti ini. Sementara Ekel akan berangkat ke Papua dengan penerbangan jam 23.05 wib, waktu sudah menunjukkan pukul 22.10 wib.
10 menit kemudian mereka tiba. Anak-anak Ekel berhamburan keluar mobil. Sudah sejak tadi mereka juga tak tahan, selama 3 jam berada dalam mobil dan didera macet.
Iman membantu Ekel mengeluarkan koper kecilnya.
“Kamu cuek amat sih, hampir seminggu di sana pake ke pedalaman juga tapi cuma bawa baju segini”, giliran Iman mengomeli Ekel.
“Hehehe....gak mo ngeceng ke sana Udaaaa. Mo nengok korban dan mo ngurus pendirian Purple Lantern chapter Papua.” jawab Ekel sambil bergegas masuk terminal. Petugas pintu masuk sudah sempat memeriksa tiketnya namun Ekel berlari kembali. Menciumi anak-anaknya dan Iman di bibir mereka lalu kembali bergegas masuk. Iman, sambil menggandeng si bungsu Syaza yang sudah sangat lengket padanya dan si sulung Mega yang memeluk tangan kirinya memandangi kepergian Ekel yang tergesa, lucu melihat perempuan itu berlari kecil dengan tas menggantung di bahu hampir sebesar setengah tubuhnya.
Meski sering ditinggal Ekel bertugas ke luar kota, Iman merasa tetap ramai bersama anak-anak Ekel dan akan semakin ramai di akhir minggu nanti saat Andre anak laki-lakinya yang kuliah pada sebuah universitas negeri di Depok pulang. Iman merasa tak pernah sebahagia ini sejak kematian istrinya akibat tumor otak 3 tahun lalu.
Iman masih sempat melihat Ekel melambaikan tangan. 20 menit kemudian Ekel mengirimkan blackberry messenger pada Iman dan Mega kalau ia sudah dalam antrian masuk pesawat. Cepat sekali. Seperti biasa, Ekel selalu menutup bbmnya dengan “I'm home” semacam pengganti “aku sayang kalian”, yang berarti dimana pun ia berada, selama ia bersama orang-orang yang sangat dicintainya atau tengah mengerjakan pekerjaan yang dicintainya, ia merasa pulang. Merasa berada dalam rumah yang dirindukannya.
Dimas kesal, telepon genggam di sakunya terus bergetar. Ia sedang berkonsentrasi mendengarkan presentasi anak buah barunya. Ide anak baru lulus ini menarik dan kreatif untuk diterapkan ke seluruh departemennya. Karenanya telepon genggam yang sedari tadi bergetar di saku celananya tak digubrisnya sama sekali, meski lama-kelamaan membuatnya jengah juga.
Ia mengangkat tangan untuk memberi tanda agar presentasi dihentikan sejenak.
“Sebentar, saya ada telepon penting.” demikian Dimas menjelaskan mengapa ia menghentikan presentasi itu sesaat setelah dilihatnya kode area Papua muncul di layar telepon genggamnya. Ia merindukan sahabatnya. Sejak Ekel berangkat 4 hari lalu, Dimas hanya menerima bbm Ekel sekali, itu pun karena menurut Ekel dia baru dapat sinyal. Tapi Dimas tetap kesal, bukankah bila sinyal blackberry tak berfungsi Ekel bisa mengirimkan pesan pendek biasa ? Sahabat yang menyebalkan.
Tak lama kemudian Dimas terlibat pembicaraan cukup serius. Wajahnya tegang dan memerah. Tak lama ia menutup pembicaraannya di telepon dengan ucapan terima kasih yang lirih. Ia menghentikan rapat dan presentasi hari itu, meminta ijin pulang mendadak untuk suatu urusan yang sangat penting. Dimas bahkan hanya diam saat sekretarisnya bertanya ada apa dan baru menjawab setelah ditanyai pertanyaan yang sama untuk keempat kali,”Saya akan tidak masuk beberapa hari.” itu saja yng diucapkan Dimas. Sari, sekretaris Dimas melongo. Seminggu lagi departemen Dimas akan diaudit dan menghadapi even tahunan perusahaan besar yang tahun ini ditangani departemen yang Dimas pimpin. Ini pasti kejadian luar biasa yang lebih penting dari pekerjaan yang sesungguhnya tak pernah ditinggalkan Dimas apalagi dalam keadaan sibuk seperti sekarang. Sari mengerti, sejak istri dan anak-anak Dimas meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat 4 tahun lalu, Dimas menenggelamkan diri dalam pekerjaan.
Sepanjang pengetahuan Sari, hanya Ibu Eklesia, sahabat Dimas, satu-satunya orang yang bisa menghentikan Dimas dari urusan pekerjaannya.
Setahun setegah belakangan, ada nama Pak Soelaiman juga kadang menghubungi Dimas, tapi Sari tahu, kalau Pak Soelaiman sampai menelpon atasannya di kantor, itu pasti menyangkut Ibu Eklesia.
Hujan mengguyur Jakarta deras sekali. Dua laki-laki berdiri mematung di pinggir laut, tepatnya Pantai Indah Taman Impian Jaya Ancol. Seorang diantaranya, Iman, mendekap guci keramik putih bermotif kembang-kembang biru, tempat abu kremasi. Keduanya bermata duka.
Bila mereka berdua pernah kehilangan perempuan-perempuan dalam kehidupan mereka di masa yang lalu mereka dengan cara yang berbeda, kini, Iman dan Dimas kehilangan lagi. Kali ini mereka kehilangan perempuan yang sama. Sama-sama mereka cintai dengan cara yng berbeda.
Keduamya menyimpan pesan akhir yang sama dari perempuan ini : I'm home.
Mereka tahu, ia pergi dalam keadaan bahagia, karenanya kesedihan mereka tak melebihi kelegaan mereka mengetahui perempuan yang mereka cintai berpulang di tengah rasa bahagia.
Ekel gugur di tengah kunjungannya ke sebuah rumah perlindungan untuk korban perkosaan tak jauh dari sebuah komplek perumahan angkatan darat di Abepura, setengah jam dari Jayapura. Mobil yang membawanya pulang darishelter tersebut tergelincir karena Ekel memerintahkan supirnya menghindari menabrak babi kecil yang tiba-tiba muncul dari semak-semak di pinggir jalan saat melintasi sebuah dusun miskin. Ekel tahu, betapa berharganya babi bagi masyarakat Papua. Seluruh penumpang selamat, Ekel tidak. Demi melindungi kamera yang memuat bukti-bukti kekerasan pada perempuan-perempuan di shelter itu, ia memeluk kamera itu di dadanya hingga saat mobil menabrak sebuah pohon besar kamera yang didekapnya itu menekan ulu hatinya cukup keras. Ekel tewas dalam perjalanan ke rumah sakit. Sebelum menghembuskan nafas terakhir Eklesia Agustine sempat berbisik pada Febby, istri mantan suaminya yang kini sudah berkeluarga dan berdiam di Jayapura. Ia ikut menemani Ekel berkunjung ke shelter tersebut, bisikan lirih di tengah senyum tanpa rasa sakit sedikit pun, “I'm home...”. (selesai)
Jakarta, 23 November 2011

No comments:

Post a Comment