26 December 2011

Kekerasan oleh Media dari Sudut Pandang Penyintas Kekerasan Seksual


Dari Materi Pelatihan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia - Medan 3 Desember 2011
(oleh Helga Worotitjan - Medan, 2 Des 2011)



  1. Simulasi
  2. Testimoni
  3. Kekerasan Seksual
  4. Meliput & Menayangkan Tentang Penyintas

  1. Simulasi Umur (metode pengantar pelatihan)
Plan A
  • Mengelompokkan peserta yang memiliki anak/keponakan/adik/istri/ berumur 5/8/24
  • Menanyakan : kegiatan anak/ponakan untuk kelompok 5/8.
  • Menanyakan kgiatang-kegiatan menyenangkan untuk kelompok 24.
  • BANG !!!
Plan B
  • Hanya BANG pada kelompok umur 5/8

  1. Testimoni
  • Peristiwa 5 tahun, 8 tahun & 24 tahun
  • Beda korban & penyintas : KORBAN obyek kejahatan yang masih berada dalam kondisi pasca trauma dan tidak/belum berfungsi secara sosial (belajar, bekerja, hubungan sosial, hubungan emosi dll), sedangkan PENYINTAS adalah korban kejahatan yang sudah melewati masa-masa teberat setelah kejadian, berfungsi secara sosial & berusaha berfungsi secara emosi.

  1. Kekerasan Seksual (dari sudut pandang penyintas)
Berdasarkan pengalaman sebagai penyintas kekerasan seksual dan pengalaman pendampingan korban dan penyintas, -Helga Worotitjan- : Seluruh tindakan pendekatan dan penyerangan dengan menggunakan seks sebagai alat/senjata, yang menimbulkan rasa tidak nyaman, terancam, trauma, kerusakan fisik jangka pendek/panjang & kerusakan psikis jangka panjang.

Pendekatan seksual :
  • Manipulasi (berhubungan dengan relasi kekuasaan yang tak setara, baik emosi, ekonomi maupun kekuasaan) dan
  • Pelecehan (pandangan, verbal &; perbuatan).

Penyerangan seksual : Pencabulan & Pemerkosaan.


* Gejala pasca kekerasan seksual pada KORBAN :
1. Ingatan berulang.
2. Tidak mampu menunjukkan ekspresi dari situasi perasaan yang sedang dirasakan/dialami namun
3. MUDAH marah dan menangis tanpa sebab pasti hanya dengan terpicu sebab sederhana.
4. Menghindari tempat-orang/kelompok orang serupa/seprofesi/sefigur dengan pelaku-kondisi/keadaan yang bisa mengingatkan.
5. Cemas
6. Sulit konsentrasi
7. Gangguan makan (tidak bernafsu makan/bulimia/mual dll)
8. Gangguan tidur (mimpi buruk/insomnia parah)
9. Tidak berfungsi secara sosial (keluarga/pasangan/pekerjaan/pertemanan/dll)
10. Masalah kejiwaan berat (PTSD, bipolar, borderline disorder, schizophrenia dll)
11. Bunuh diri.

* Gejala panjang pasca trauma pada PENYINTAS :
1. Penyangkalan, menyalahkan diri sendiri atas kejadian yang terjadi.
2. Gangguan makan-tidur
3. Trust issue pada siapapun
4. Gangguan fungsi seksual : avoidance to sex, addicted to sex & kemungkinan perubahan orientasi seksual
5. Tidak bisa merasakan emosi/freezing saat mendengar, melihat & mengalami perilaku/peristiwa/kondisi sama atau serupa atau SEBALIKNYA bereaksi berlebihan,
6. Pada kejadian kekerasan seksual masa kanak-kanak pertumbuhan emosi penyintas berhenti saat peristiwa terjadi (cara menanggapi masalah yang menggerakkan emosi akan dilakukan persis seperti saat usia mengalami peristiwa kekerasan seksual),
7. Tidak percaya diri (tapi pada sebagian orang ketidakpercayadriannya diekspresikan sebaliknya
8. Mekanisme melindingi diri baik oleh otak maupun tubuh (otak dengan cara “menguburkan” dalam-dalam, tubuh dengan “vibration alert” atau respon otomatis saat dianggap berada dalam situasi serupa atau yang membahayakan dirinya)
9. Struktur tubuh (relatif),
10. Terkikisnya nilai kemanusiaan



  1. Bagaimana Media Meliput & Melaporkan Korban/Penyintas Kekerasan Seksual


  1. Tidak Dilindunginya Identitas (korban & orang-orang di sekitar korban )

KEJ Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan.

Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang
memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.


2. Menyalahkan korban (penampilan, perilaku & kondisi)

Wajah perempuan dalam pemberitaan cenderung meng-gambarkan perempuan sebagai korban, pihak yang lemah, tak berdaya, atau menjadi korban kriminalitas karena sikapnya yang “mengundang” atau memancing terjadinya kriminalitas, atau sebagai obyek seksual

Contoh :

  • OkeZone.com 16 September 2011 : Pemerkosa & Korban Ternyata Saling Kenal (isi X – sumber pendukung)

  • TRIBUNNEWS.com 16 Sept 2011 : Korban Perkosaan Sering Berkomunikasi dengan Pelaku (isi X – minus sumber pendukung)

KEJ Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah.

Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran
informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-
masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan
opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.


3. Detail Erotis

Contoh : duplikasi detail erotis ke kolom berita atau pada adegan reka ulang kekerasan seksual.

  • detikpertama.com 7 Sept 2011 : Nafsu Tak Tertahan, Kuli perkosa Pelajar Hingga CD Robek (isi V – konten semi detail – tautan berita adalah hal-hal erotis)

  • adegan reka ulang kejahatan perkosaan di media elektronik (bukan rekonstruksi yang adalah istilah kepolisian, lembaga pengamanan resmi negara)

KEJ Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai
hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat
buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara,
grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu
pengambilan gambar dan suara.


4. Dramatisasi Kejadian

Dibanding menggali kisah sukses perjuangan kembali berfungsi secara sosial, wajah perempuan dalam pemberitaan cenderung menggambarkan perempuan sebagai korban, pihak yang lemah, tak berdaya.

Contoh : pengalaman live talk show dengan TV & wawancara 'on the spot' tanpa pertimbangan psikologis nara sumber.




Catatan :

Waspadai stres trauma pada jurnalis peliput kejadian-kejadian traumatis. Seluruh ulasan yang saya sampaikan di atas sangat mungkin juga dialami para jurnalis perempuan yang secara terus menerus meliput peristiwa kekerasan khususnya kekerasan seksual. Secara tidak sadar cara mereka menempatkan korban/penyintas akan menjadi semacam sugesti akibat terus menyerap emosi dan enerji negatif korban/penyintas yang sudut pandang publikasinya sebenarnya mereka bentuk.







No comments:

Post a Comment