Malam turun lambat-lambat
Anakku menjelang lelap
“Ibu aku ingin bertanya”
“Tentu anakku, aku akan menjawab pertanyaanmu”
“Ibu, bila negeri kita kaya seperti lirik
lagu-lagu,
…mengapa untuk makan ibu harus mengejar terbit
matahari menuju tenggelamnya,
…mengapa untuk aku dan adikku sekolah ibu
merendahkan diri menghiba pinjaman,
…mengapa untuk berteduh pun ibu memeras malu
dimaki pemilik kontrakan?”
Aku menghela nafas panjang
Yang terpanjang selama aku hidup
Lalu diam
Mengumpulkan keberanian untuk menjawab
Memungutinya dari sudut-sudut tersembunyi dalam
diri
Pada puisi-puisi aku bisa berteriak
Pada orasi-orasi aku mampu menantang
Namun berseberangan tatap dengan anakku aku
luruh
Sambil menahan air mata, lirih aku menjawab
“Karena negeri ini sedang menunggumu Nak,
…menunggu anak pandai sepertimu menjadi hakim,
…yang akan mendudukkan para pejabat rakus,
….dan pengusaha tamak,
…di kursi pesakitan,
…mempertanggungjawabkan hak kita yang mereka
nikmati,
…yang mereka rampas selagi kita lapar dan
ketakutan dikejar hutang.”
Lalu anakku mengangguk dan menuju mimpi yang
entah apa
Sementara aku lara
Telah menanam dendam dalam kepolosannya
Aku tak tahu bagaimana berdoa ,
memohon waktu berhenti mewariskan kebencian
Berhenti karena hari mulai pagi dan yang
tersisa air mata
Ibu yang menanak doa,
tak lebih baik dari yang menanak air mata
Jakarta, 19 september 2012
No comments:
Post a Comment