Sungguh,
saya kehilangan gairah menulis akhir-akhir ini dan undangan mas ToTo Raharjo
menuntun saya kembali menulis meski diiringi kemalasan yang menggantung di
kepala dan di tangan.
Baiknya
saya segera mambahas Film Rayya saja tanpa basa basi.
Ide cerita
sederhana soal perempuan bernama Rayya yang sedang bersinar karena popularitas
sebagai bintang sedang di puncak-puncaknya. Di titik ini justru ia merasa
gelap. Atmosfir yang ingin atau ia harapkan dirasakan setiap orang dimana pun ia berada. Rayya
berharap gelap yang ada dalam dirinya terbaca. Ia berharap
kegelisahan, kemarahan sekaligus kesedihan yang mulai mengerak jadi dendam
dirasakan juga oleh semua orang sampai dalam suatu proyek ia bertemu dengan
Arya, fotografer senior yang memiliki luka yang sama dengan Rayya, namun bisa disikapinya
berbeda.
Rayya
meneggakan dendamnya menjadi kekuatan sedangkan Arya mengikhlaskannya menyatu
mengalir sebagai bagian hidup yang memang harus dilewati dan terus berjalan
maju.
Saya senang
dengan pertemuan dua karakter Rayya dan Arya, siapa
pun yang telah memilih nama-nama bagi kedua tokoh ini, ia sesungguhnya ingin
penonton tahu bahwa selalu ada dua sisi berbeda dalam tiap diri manusia saat
mengalami hal serupa yang dialami Rayya dan Arya.
Perjalanan
Rayya (juga Arya) menemukan dan menentukan peristiwa mana yang harus dikunyah
menjadi pelajaran disekujur film ini menuntun saya menuduh siapa pun di
balik film ini memaksa penonton hanya menarik pelajaran-pelajaran positif.
Beberapa penegasan yang tak perlu dimunculkan kembali di akhir film, padahal
adegan respon Rayya di setiap penegasan itu cukup kuat. Kita lihat
ekspresi Rayya saat uangnya dikembalikan
oleh ibu penjual kudapan khas Jogja. Ia terkesiap soal pelajaran menegakkan
martabat, dan itu tak perlu ditegaskan lagi di akhir film.
Selain itu,
saya percaya di balik film ini ada banyak orang pintar di bidangnya. Ini
dibuktikan dengan kegaduhan kreatifitas dalam film ini. Kelihatan jelas
kegaduhan itu di sepanjang film, semua orang kreatif memaksakan karyanya ke
dalam setiap scene film. Yah, bagus sih, Cuma yaitu tadi, gaduh. Apapun itu,
artistiknya menarik dan saya cukup terhibur dengan kombinasi-kombinasi warna,
meski sedikit ngilu di adegan pemotretan Rayya di tengah perahu dengan
bendera-bendera kecil beraneka warna. Saya yang awam kritik film menyebutnya “keramean”
warna. Baju Rayya tenggelam dan mati di tengah warna-warni perahu dan bendera.
Kalau ingin mendapatkan pesan-pesan membangun dengan cara berbeda, saya menganjurkan
untuk nonton film Rayya. Tapi bagi mereka yang hanya senang nonton film mudah
cerna yaaa, film Rayya bukan tontonan remah-remah penghilang suntuk. Ini film
cukup berat dengan dialog-dialog filosofis yang (diputis-)puitiskan. Temponya
lambat tapi tertolong artistik yang cantik. Saya berharap ada perbaikan musik latar
karena bisa jadi penolong adegan-adegan lambat dengan percakapan berat.
Bagi yang
sedang mengalami titik puncak dalam bentuk apapun lalu merasa masih belum
melakukan apa-apa, ini film yang saya anjurkan untuk ditonton. Tak ada
pencapaian sebelum orang lain yang mengatakannya demikian, dan bila pun orang
lain yang mengatakannya, belum tentu mampu mengisi relung-relung bisu dihati
kita, yang digali luka dan pengalaman pahit. Dan banyak dari kita yang bertahan
dengan hebat berkat dendam. Perlu kejujuran untuk mengakuinya.
No comments:
Post a Comment