Dalam percakapan pagi
ini, seorang kawan mengutip satu kalimat menarik dari sebuah film. Percakapan antara
komandan dan prajurit: “…setinggi-tingginya karir militer, kita ini akhirnya hanyalah
satpam (baca: CENTENG) perusahaan (baca: para kapitalis)”.
------------------
Belakangan ini kita dihebohkan dengan hasil pilkada DKI yang
merobek banyak pertalian. Anyir politisasi agama dan bangkitnya kaum radikal
agama, tiba-tiba menjadi begitu masif dan menakutkan. Korban sudah berjatuhan
dan sayangnya lebih dianggap sebagai bagian dari dinamika politik. Kita meremehkan
para perempuan yang menangisi kekalahan simbol perlawanan. Perempuan, kaum yang paling ditindas dan dipinggirkan kehadirannya dalam kontestasi politik
yang menghasilkan konflik horizontal serius, dan pasti akan berkepanjangan. Bentuk
penindasan dan kekerasan terhadap perempuan yang paling sadis dan menakutkan dalam
konflik akibat kontestasi politik adalah, kekerasan seksual dalam berbagai
bentuk. Mulai dari pelecehan hingga pembunuhan. Di berbagai belahan dunia,
kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan, adalah senjata ampuh yang dipakai
mereka yang berperang, atau beradu secara politis untuk menundukkan lawan. Menguasai
tubuh perempuan adalah tonggak kemenangan. Mengoyak-ngoyak tubuh perempuan
adalah penghancuran harkat dan martabat lawan. Pesan politik kejam kepada
siapapun, yang dianggap berani melawan.
Kesaksian banyak penyintas dari seluruh belahan dunia,
kekerasan seksual dalam konflik dan kontestasi politik, umumnya dilakukan oleh
para fasis; kelompok-kelompok dengan basis militer, kelompok-kelompok radikal berbasis
agama, dan kelompok-kelompok fasis lain. Baik dalam bentuk intimidasi atau
ancaman maupun serangan langsung. Atas nama Tuhan yang marah versi para
hipokrit atau patriotisme versi para militer.
Penyerangan seksual yang dilakukan pun memuat pesan-pesan
pembersihan baik etnis, agama, maupun lawan ideologis lainnya. Kita sebut saja
penculikan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh ISIS di Timur Tengah dan Afrika
Utara, Boko Haram di Nigeria, dan Lord Resistance Army (kelompok radikal
Kristen) di Uganda. Ini tiga kelompok yang berdasarkan kisah-kisah para penyintas
dan pengerja kemanusiaan, sangat parah melakukan penyerangan seksual sebagai pesan politik.
Tak jarang mereka melakukan penyiksaan seksual seperti yang biasa dilakukan
umumnya oleh kelompok-kelompok radikalis kejam, yakni dengan memotong puting susu
dan membunuh perempuan hamil, atau memperkosa korban dengan benda keras setelah
memperkosanya ramai-ramai. Femisida, demikian penindasan dan penundukkan yang
disertai kekejaman ini lahir. Kengerian global yang terjadi dalam situasi
konflik, apalagi dengan makin bangkitnya kekuatan kanan di hamper seluruh
dunia.
Dalam konteks Indonesia, kekerasan seksual sebagai senjata
penundukkan dan pesan politik sadis telah dilakukan sejak peristiwa G30S 1965
kepada kelompok perempuan progresif dan kerusuhan Mei 1998 pada etnis Tionghoa.
Dua kelompok perempuan simbol perlawanan sekaligus simbol kerentanan. Dua
kelompok perempuan ini merupakan sasaran utama mereka yang merasa insecure
perannya disaingi. Peran ekonomi dan peran sosial. Penyiksaan dan penyerangan
seksual dilakukan pada mereka untuk memberi pesan politik pada lawan: inilah
yang terjadi atas nama kecemburuan sosial, bila berani berdiri di atas kebenaran,
dan berani melawan oligarki.
Yang paling anyar adalah maraknya ancaman pemerkosaan di
masa pilkada DKI Jakarta yang lalu. Para pelaku jelas melihat model intimidasi
di peristiwa sebelumnya, yakni kerusuhan Mei 1998. Bedanya, penyerangan lebih
banyak dilakukan lewat media sosial. Bentuk intimidasi seperti itu menymbang efek
berantai jangka panjang berupa rasa takut dan banyaknya perempuan yang menarik
diri dari keterlibatannya secara politik, dalam hal ini memilih. Ini
keberhasilan politisasi agama paling fantastis yang pernah terjadi di
Indonesia.
Allan Nairn, seorang jurnalis investigasi asal Amerika
Serikat, mengungkap keterlibatan Amerika Serikat (US) dalam kepelikkan usaha
makar terhadap Peresiden Jokowi lewat dibangkitkannya gelombang umat yang
dikondisikan marah, dan terlibatnya beberapa mantan jendral angkatan darat
dalam upaya itu. Sebuah “perkawinan” sempurna untuk kepentingan perebutan
kekuasaan dari pemimpin yang berusaha progresif, yang sangat mengganggu kepentingan
para kapitalis raksasa dan kepentingan US atas seluruh investasi eksploitasi
sumber daya alamnya di Indonesia, khususnya Freeport di Papua. Khusus soal Freeport, kalau saya tidak salah membaca, disebutkan ini ada kaitannya dengan tragedi 1965, ketika Presiden Sukarno dengan berani, menetapkan syarat pembagian yang dianggap merugikan US. Dan sssst.....jangan lupa pembunuhan Presiden US, John F. Kennedy, yang sepakat dengan
argumentasi Sukarno soal Freeport saat itu.
Rupanya banyak kepentingan
kapitalis yang sangat besar bermain-main dangan kekuasaan rakus di US saat itu.
Maka dalam berbagai literatur diungkap skenario kup para jendral yang dijadikan momentum pemberontakan tahun 1965. Tragedi yang mengorbankan
jutaan jiwa di seluruh Indonesia. Upaya perebutan kekuasaan demi penguasaan sumber daya alam Indonesia khususnya emas di Papua, sekaligus hegemoni,
peletakkan cara pikir dan sikap anti komunis yang hanya akal-akalan. Ditanam dan ditancapkan dalam pikiran bangsa ini dan kelak kerap dipakai sebagai senjata oligarki melawan mereka yang bersikap dan bersuara soal ketidakadilan, kejahatan
sistemik oleh negara, dan penindasan para fasis.
Terlepas kesalahan besar Allan Nairn pernah membocorkan
identitas nara sumber pentingnya, sehingga reputasinya dipertanyakan. Apa yang
disampaikan Allan Nairn, sudah didiskusikan dan ditulis belakangan ini sebagai
kajian mengapa gerakan radikal bangkit dengan begitu masif dan garang. Diskusi dan
peluncuran majalah Yayasan Bhinneka tahun 2016 di Komnas Perempuan juga pernah
membahas hal ini jauh sebelum Allan Nairn merilis pernyataannya tersebut. Sungguh menjengkelkan ketika militer menyatakan akan menggugat Tirto.id yang
menurunkan laporan terjemahan hasil investigasi Allan Nairn. Nampak seperti
pihak yang paling tersinggung, yang diglorifikasi beberapa pihak dengan
menyerang reputasi Allan Nairn. Bercampur jealousy kapitalis media mainstream besar? Entahlah….
Disebut-sebut pula, eskalasi sosial akibat politisasi agama ini direncanakan
para petinggi militer, dalam hal ini, para mantan jendral yang diduga terlibat
bisnis atau menjadi “centeng” para kapitalis. Sangat masuk akal. Sebagai perempuan
asal Pulau Kalimantan, yang kaya aneka tambang dan hutan, sejak remaja
saya tak asing mendengar gosip tambang ini atau perkebunan itu dibekingi
militer.
Pada penangkapan
menjelang aksi 212 tahun lalu, dalam daftar aparat penegak hukum, ada mantan
jendral yang sangat kencang meneriakkan dan membangkitkan isu PKI. Di sini saya
ajak pembaca sudi sedikit sibuk untuk menarik benang merah uraian saya di atas
soal 1965 dan Freeport. Dugaan percobaan makar oleh mantan jendral ini tertuang
dalam ujarannya yang dianggap provokatif. Ini bukan menuduh yang
bersangkutan membekingi salah satu kapitalis. Ini adalah gambaran, bahwa ada saja pihak-pihak atau kelompok yang sangat berkaitan dengan militer Indonesia,berada dalam pusaran
kepentingan negara asing yang sedang merampok kekayaan alam Indonesia; saat ini sedang terganggu
kepentingannya, lalu dengan “cara yang ajaib” menunggangi isu agama untuk
menyerang para pemimpin bangsa yang sedang berusaha mengembalikan kekayaan negeri ini untuk
kemaslahatan rakyat dan memperbaiki sikap mental bangsa yang lama dijajah cara
berpikir orde baru.
Kembali ke masalah kekerasan seksual sebagai senjata konflik
politik. Seluruh ganbaran besar di atas, dan bangkitnya hantu orde baru lewat
politisasi agama, akan menjadi model perebutan kekuasaan dalam berbagai
kontestasi politik di masa yang akan datang. Termasuk di dalamnya provokasi penyerangan
seksual pada para perempuan, khususnya perempuan yang menjadi simbol minoritas
namun kuat dalam peran ekonomi, maupun para perempuan dalam gerakan sosial yang berlawan.
Cara-cara yang kita lihat di pilkada DKI Jakarta yang lalu, hingga pemilihan presiden
2019, kuat dugaan saya, akan menjadi patokan bergerak kelompok manapun yang
diperalat menjadi tanduk politik para kapitalis yang memiliki kepentingan
merampok. Dalam hal ini termasuk para kapitalis rakus asing yang dilindungi
oleh negaranya yang tentu ikut diuntungkan.
Akankah kita diam dan menjadi bagian yang hanya menonton? Bagi
saya, hanya menonton adalah hal paling jahat yang akan menjadi gugatan anak
cucu kita kelak. Sudah sumber alamnya dikuras tak bersisa, hutannya dibuat gundul, sampai warisan hukum-hukum yang akan memenjarakan hak asasi mereka.
Diamnya orang baik, adalah kontribusi besar kejahatan
tetap berlangsung. Mulailah berpikir kritis, bersikap tegas terhadap penindasan,
dan bergerak nyata melawan segala bentuk kekerasan yang sedang berlangsung ini. Utamanya, kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan lain.
Sebaik-baiknya dan semulia-mulianya perlawanan, adalah melawan
penindasan oleh mereka yang terlibat dalam perebutan kekuasaan, dengan menggunakan
politisasi Tuhan dan agama. Semilitan apapun rakyat membelanya, rakyat yang
sama jugalah yang paling akan dikorbankan ketika chaos terjadi.
Ibu Pertiwi butuh lebih banyak pejuang untung mempertahankan
negeri ini dari tangan para penindas. Mereka yang punya senjata dan punya
massa. Mereka yang lahir dari rahim demokrasi pasca reformasi, tapi lalu menindas hak
orang lain berdemokrasi. Bahkan tega menggunakan cara-cara terkutuk untuk
meminggirkan yang melawannya. Cara yang bagi umat beragama justru diajarkan
untuk dijauhi. Cara yang bukan memberi keberkahan pada semesta dan kebaikan
pada sesama manusia.
Hentikan menggunakan kekerasan terhadap perempuan sebagai
senjata konflik dan intimidasi dalam kontestasi politik. Mari sama-sama melawan!
Helga Worotitjan:
Penyintas kekerasan berbasis gender, ibu tunggal dua remaja, tukang masak yang
antusias, dan penyair yang malas mengetik di laptop.
No comments:
Post a Comment