Kampanye bermetode
popular untuk isu yang jarang menarik perhatian anak muda nampaknya mulai
menjadi strategi banyak pihak yang tak lelah berjuang. Sebut saja isu
perdagangan manusia yang di dalamnya juga termasuk perdagangan dan perbudakan
perempuan dan anak untuk tujuan seks komersial.
Isu yang
cukup ‘purba’ ini telah menjadi bagian dari pekerjaan rumah bagi hampir semua
pihak mulai dari pintu para pengelola negara hingga pintu rumah di dusun-dusun
terpencil. Dari yang memiliki otoritas untuk mengendalikan hingga yang kerap
menjadi sasaran kejahatan kemanusiaan ini.
Bagaimana dengan
Indonesia? Menurut data International Organization for Migration (IOM), ada
sekitar 6,5 hingga 9 juta tenaga kerja Indonesia bekerja di hampir seluruh
penjuru dunia dan patut diduga 43 hingga 50 persen diantarnya adalah korban
perdagangan manusia. Keadaan ini diperparah perantara perekrutan yang kita kenal
dengan PJTKI (Perusahaan Jasa tenaga Kerja Indonesia) lebih sering beroperasi
sebagai sindikat perdagangan orang dibanding menyalurkan tenaga kerja dalam
koridor yang semestinya yang dapat menjamin tujuan kerja dan kondisi kerja yang
aman.
Indonesia masih berada di urutan 2 indeks penanganan kasus perdagangan manusia dengan standar penanganan minimum sesuai standar penanganan kasus perdagangan manusia internasional.
Berita
tentang tenaga kerja Indonesia perempuan yang pulang setelah mengalami berbagai
kekerasan terutama kekerasan seksual menjadi makanan berita hampir setiap hari.
Marah kita dibangkitkan sejenak, lalu karena begitu seringnya kita dihidangkan
berita tentang hal ini, sesuatu yang mengerikan ini menjadi kewajaran bahkan
kerap menjadi bahan menyalahkan korban yang dituduh merelakan diri dalam
kondisi dijual dan disiksa demi lembaran rupiah. Betapa kejamnya
ketidakpedulian….
Bukan hanya
keluar negeri, pedagangan dan perbudakan manusia juga terjadi antar daerah di
Indonesia, di depan mata kita. Pernahkah kita mencermati agen-agen penyalur
tenaga kerja rumah tangga dengan pelbagai kasus kecurangan pihak penyalur?
Dimana penyalur mencari tenaga-tenaga murah di desa-desa, terutama para
perempuan muda, melatih mereka seadanya dan tak jarang juga melatih para calon
pekerja rumah tangga ini menjadi bagian dari kejahatan dengan menyuruh mereka
di periode tertentu menghilang hingga pemakai tenaga mereka harus menebus
tenaga baru dari agen yang sama, sementara si PRT lama sudah ditempatkan lagi
di tempat yang baru untuk melakukan modus yang sama. Para perempuan lugu dan
polos ini ditakut-takuti akan dilaporkan ke polisi bila tak menuruti instruksi
pemilik agen penyalur nakal. Ini membuat para korban perbudakan ini tak berani
melawan dan terus mejadi bagian kejahatan hingga akhirnya tertangkap dan lalu
tak pernah diakui sebagai bagian dari agen penyalur.
Lain lagi
cerita yang pernah disampaikan kawan saya ketika mengunjungi sebuah rumah makan
++ di kota Balikpapan, yang pesonanya hampir menyamai pesona Jakarta, karena
begutu banyak orang tertarik bekerja di sana dengan iming-iming gaji besar.
Banyak gadis muda di”angkut” dari pulau Sulawesi untuk dipekerjakan mula-mula dijanjikan
sebagai pelayan restoran atau setidaknya pegawai rendahan di salah satu
perusahaan asing atau pertambangan, nyatanya setiba di kota tujuan, mereka
dipekerjakan sebagai gadis-gadis penuang bir di resto-bar setempat. Pekerjaan
yang rentan menjebak mereka ke kondisi menjadi korban perbudakan seksual.
Bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, dalam hal
ini Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, United States Agency for International
Development (USAID), the Australian Government’s Agency for International Development
(AusAID), WALK FREE (gerakan
pemberantasan perbudakan moderen) dan Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN), MTV Youth Focused Anti-Human Trafficking Campaign Program-MTV End
Exploitation and Trafficking (MTV EXIT) menawarkan bentuk kampanye baru anti
perdagangann dan perbudakan manusia yakni dalam bentuk konser musik dengan
pesan-pesan penyadaran dan kepedulian terhadap persoalan perdagangan dan
perbudakan manusia.
Di Indonesia, kegiatan ini dipusatkan di kota Bandung,
ibu kota Jawa Barat pada tanggal 1 September yang lalu. Mengapa Jawa Barat?
Karena kenyataannya jumlah kasus perdagangan orang terbanyak terjadi di Jawa
Barat dibandingkan di provinsi lain. Mengenaskan bukan?
Konser MTV EXIT ini didukung artis-artis peduli anti
perdagangan dan perbudakan manusia. Setiap penampil ambil bagian meneriakkan
pesan agar semua pihak terutama anak muda menjadi bagian yang turut memperkecil bahkan menihilkan angka kejahatan kemanusiaan ini baik denganedukasi bersambung mau pun turut
melaporkan bila diduga terjadi perdagangan atau perbudakan manusia.
Sesuai misi utamanyanya, program MTV EXIT tak hanya lewat
konser atau program live, juga lewat program televisi, konten online, dan
kemitraan dengan banyak organisasi anti perdagangan manusia, mengampanyekan kebebasan
kita sebagai manusia yang berhak memilih di mana kita hidup, bekerja, dengan siapa
kita menjalin pertemanan, dan siapa yang patut kita cintai. Kita juga diajak turut peduli nasib ratusan
ribu orang di seluruh dunia yang hak-hak dasarnya sebagai manusia dirampas
paksa untuk tujuan komersil dan kesenangan orang lain, yang merupakan korban
perdaganan-perbudakan moderen.
No comments:
Post a Comment