Malam turun dengan cepat saat
seorang saya bergegas memasuki sebuah restoran kecil yang dikelola
dengan konsep serba antik di bilangan Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Malam ini saya sudah membuat janji dengan Myra, demikian perempuan
yang di usia hampir mencapai 40 tahun tampilan fisiknya belum
memperlihatkan tanda-tanda mencapai angka sebanyak itu umurnya. Ibu
tunggal dua anak perempuan ini ramah dan hangat. Jauh dari perkiraan
saya semula akan bertemu perempuan dengan mimik dan sikap penuh
curiga. Belum lama berselang kami sudah berbincang seru. Ia punya
keterampilan komunikasi yang baik dan mampu membuat lawan bicara yang
baru dikenalnya cepat lebur dalam suasana yang menyenangkan.
Menurutnya ini sisa-sisa kebiasaannya saat masih bekerja.
“Saya bekerja di bidang pemasaran
selama 14 tahun sebelum memutuskan berhenti total untuk menjalani
terapi trauma kekerasan seksual yang saya alami lebih dari sekali dan
merusak hampir seluruh lini hidup saya tanpa saya sadari....”
Myra merelakan perjalanan karirnya yang
dibangun dengan susah payah berhenti demi merebut dan membangun
kembali kehidupannya yang sempat “terbunuh” berpuluh-puluh tahun
yang lalu dirampas peristiwa traumatik cukup mengenaskan di masa
kanak-kanaknya.
Myra masih berumur belum genap 5
tahun saat mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh tetangga
sebelah rumahnya. Ia hanya tahu diajak main dokter-dokteran oleh Om
L. Tapi insting anak-anaknya ternyata tak sepolos yang diperkirakan
pelaku. Myra mencoba menceritakan apa yang telah dialaminya pada
ibunya. Sayang sekali ibu Myra yang besar dengan nilai-nilai keliru
tentang seksual adalah tabu malah memandang aduan Myra sebagai
pembicaraan seorang anak kecil yang mengada-ada dan tidak pantas.
Sejak saat itu Myra murung dan bingung.
Orang yang dianggapnya paling bisa melindunginya tak mempercayai
ceritanya. Sikap mental kanak-kanaknya membaca hal tersebut sebagai
hal yang sangat tidak boleh dibicarakan. Myra lalu berhenti berpikir
dan berharap bahwa perlindungan yang diharapkan akan menjadi haknya
saat itu adalah hal terbaik yang bisa didapatnya.
Ini juga yang membuatnya memutuskan tak
pernah menceritakan pada siapa pun apa yang lalu dialaminya 3 tahun
kemudian saat menginjak umur 8 tahun. Myra yang tinggal bersama oma
dan opanya jadi bulan-bulanan perlakuan cabul yang dilakukan oleh
omanya sendiri. Bayangkan bukan orang lain, melainkan omanya sendiri
yang sama-sama perempuan. Perlakuan yang harus diterimanya selama
lebih dari 3 tahun itu membuatnya tumbuh tidak percaya diri dan
dengan emosi yang meledak-ledak.
Setiap kali selesai dicabuli, keesokan
harinya Myra akan dimanjakan sang oma dengan berlebihan. Diduga tentu
sebagai bayaran rasa bersalah.
Masuk usia 11 tahun Myra mulai makin
merasa tidak nyaman dengan perlakuan tersebut dan mulai melawan saat
hendak diperlakukan dengan tidak pantas. Dan mulailah perlakuan tidak
pantas dalm bentuk lain menggantikan perlakuan sebelumnya. Setiap
kali omanya marah pada seseorang, myra jadi bulan-bulanan obyek
kekerasan omanya. Ia akan ditelanjangi dan dipukuli habis-habisan
lalu dikunci di teras selama lebih kurang 10 – 15 menit untuk
dipertotntonkan pada orang yang banyak lalu lalang di depan rumah.
Myra kecil yang baru akan masuk usia remaja merasa seluruh dunianya
gelap dan runtuh. Satu-satunya kasih sayang yang ia tahu adalah lewat
hubngan seksual karena itulah satu-satunya yang ia tahu akan
membuatnya diperlakukan dengan intim dan baik. Ia besar dengan
pemahaman keliru tentang kasih sayang. Ia besar dengan konsep
kekerasan adalah bentuk kasih sayang dan perhatian, ini membuat Myra
dewasa muda berkali-kali membangun hubungan emosi dengan konsep
keliru dengan beberapa pria dan jatuh dalam pelukan bahkan jebakan
“date rape” yang setelahnya selalu disesalinya. Myra makin
terpuruk dalam trauma panjang yang dikiranya tak akan pernah selesai.
Ketidakmampuannya memahami apa yang
sebenarnya terjadi dan caranya memandang dirinya sendiri yang dulu
dinilainya sudah tak bernilai lagi dimanfaatkan para laki-laki yang
tidak bertanggung jawab, termasuk oleh kedua mantan suaminya. Dan
Myra dewasa yang naif tak menyangka ini bagian dari trauma yang
dialaminya di masa kanak-kanak. Ia tak mampu melihat sudut masalahnya
dengan lebih bening, tak mampu menarik garis merah dari seluruh
perjalanan hidupnya yang berantakan sampai suatu saat ia putus asa
dan memutuskan mengakhiri hidupnya dengan menelan 24 butir pil tidur
lantaran frustasi mengidap gangguan tidur bertahun-tahun akibat
seluruh kejadian traumatisnya yang makin menjadi mimpi buruk dan tak
mengijinkannya untuk memejamkan mata sekejap pun. Ia mengalami
kondisi kritis dan nyawanya hampir terengut karena kebingungannya
sendiri. Menurut Myra saat itu ia merasa berada di titik nadir. Titik
dimana manusia merasa tak ada atau bukan manusia lagi. Hari dimana ia
menganggap dirinya tak punya nilai apa-apa lagi untuk melanjutkan
hidup.
Inilah keajaiban itu. Di titik sekosong
itu, sesaat setelah tertolong dari percobaan bunuh diri, ia
disadarkan oleh kenyataan bahwa ia harus membesarkan kedua anak
perempuannya, hanya mereka miliknya yang tersisa. Myra tiba-tiba
sadar betapa selama ini ia hanya terpusat pada sisi gelap dan suram
hidupnya dan melupakan 2 jiwa yang sangat membutuhkan kasih
sayangnya. Bila ia tak bangun untuk merebut hidupnya lagi, maka ia
akan “menguburkan” juga masa depan anak-anaknya. Dengan susah
payah ia bangkit dari “kematiannya” dan mulai menata ulang
hidupnya. Ia mulai berkonsultasi dengan ahli jiwa dan mencari akar
seluruh masalah hidupnya. Ia juga mengombinasikan terapinya dengan
mulai menulis, bakatnya yang dia miliki sejak masih sangat kecil
namun tak pernah ditekuninya karena seluruh orang tua di
lingkungannya beranjak besar tidak pernah peduli dengan hal-hal
seperti itu. Myra mulai menekuni dunia menulis dengan serius tahun
2008 dan setahun kemudian bersama beberapa kawan menerbitkan 3 buku
kumpulan puisi bersama. Ia aktif belajar dan mencermati
persoalan-persoalan tentang perempuan, lalu 3 tahun belakangn mulai
fokus mencermati dan mengerjakan isu kekerasan seksual. Bergabung
dalam grup dukungan bagi penyintas kekerasan seksual dimana ia bisa
mulai terbuka menceritakan pengalaman dan mimpi buruk yang
disimpannya rapat-rapat selama puluhan tahun bersama dengan beberapa
kawan lain yang bernasib sama. Myra bahkan setahun belakangn mulai
mendorong dirinya sendiri untuk menggali dan meneliti dari mana asal
perilaku kekerasan seksual yang berkembang di masyarakat. Ia selalu
terdorong untuk menemukan hal baru yang luput menjadi perhatian orang
lain yang bisa mungkin menjadi pemicu seseorang melakukan kekerasan,
khususnya kekerasan seksual.
Dengan tekun ia mengumpulkan dan
mengikuti berita-berita kasus kekerasan seksual untuk memperkuat
basis datanya tentang perilaku kekerasan seksual dan psikolosi sosial
penanganan yang tepat yang tidak saja berdasarkan keilmuan psikologi
tapi juga dari berbagai aspek penting dan yang beberapa bahkan tak
pernah terpikir oleh orang lain.
Myra juga mulai masuk dengan aktif
memberi edukasi pada para pelaku media massa yang dinilainya ikut
menjadi kontributor penting pembangunan mental masyarakat secara
luas. Ia berpendapat bahwa media yang mencerahkan adalah media yag
mampu mengedukasi pembaca/pemirsanya untuk menjadi lebih baik dan
berguna, bukan memanjakan dengan memberi hasil akhir yang penuh
dengan bentuk kekerasan baik secara langsung maupun terselubung lewat
tayangan-tayangan hiburan yang tidak sehat dan tak mendidik.
“Saya melakukan ini untuk lingkungan
tumbuh yang lebih baik bagi anak-anak saya.” Myra menutup
kisahnya. “Saya ingin membayar waktu-waktu yang saya buang percuma
dengan mengondisikan masa depan yang lebih baik untuk mereka, juga
anak-anak lain. Jangan terulang lagi pengalaman buruk yang saya alami
pada anak-anak dan pada orang lain.”
Tak terasa malam hampir
menyentuh pukul 11. Keasyikan mengikuti cerita Myra membuat saya
merasa kami baru saja bertemu. Saya menemukan bentuk
lain inspirasi.
Bayangkan, dari sebuah pelatihan
tentang kekerasan seksual saya mengerti bahwa gejala yang lekat pada
penyintas kekerasan seksual adalah efek kekerasan terburuk dari
bentuk kekerasan terburuk yang mereka alami dari bentuk kekerasan
lain. Begitu panjang akibat dan dampak kerusakan mental yang
ditimbulkan taruma ini hingga bisa dibayangkan apa ayang telah
dilewati Myra selama ini. Saya tak pernah membayangkan ada orang yang
berhasil melewati hidup seberat itu.
Yang paling memilukan adalah
pengakuannya bahwa dalam proses perjuangannya melewati masa-masa
terberat yang paling menyakitkannya adalah saat anak-anaknya harus
menahan lapar dan tidak bersekolah selama beberapa bulan karena
mereka begitu miskin setelah Myra ditelantarkan bersama anak-anaknya
oleh mantan suaminya selama beberapa bulan setelah perceraiannya.
Tapi ketabahannya mampu membawa mereka melewatinya dan untuk itu Mrya
sangat bersyukur.
Tak banyak orang diberi kekuatan
seperti itu. Impunitas negara dan sebagian besar dari kita kadang
mematikan dan menamfikan orang-orang di luar sana yang berjuang
melawan masa getirnya melewati trauma kekerasan seksual. Sikap dan
pemikiran bahwa kekerasan seksual semata adalah persoalan hubungan
seksual membuat persoalan serius ini tak pernah ditempatkan di tempat
yang sesungguhnya, yaitu sebagai fenomena kejahatan kemanusiaan yang
serius serta membutuhkan penanganan yang komperhensif dan secara
terus-menerus.
Kerja sama banyak pihak sangat
diperlukan untuk mendorong angka kasus kekerasan seksual mengecil,
diantaranya seperti yang dilakukan Myra dengan tanpa lelah menjadi
partner media dalam mengedukasi masyarakat tentang akibat yang
ditimbulkan oleh kejahatan kekerasan seksual baik yang di tanggung
oleh korban maupun oleh masyarakat yang masih harus dibangun
kedasaran dan kepeduliannya bahwa siapa pun dengan latar belakang
apapun bisa menjadi pelaku dan korban kekerasan seksual.
Data Komnas Perempuan menunjukkan dalam
sehari terjadirata-rata minimal 10 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan
yang dilaporkan. Bayangkan bila kita turut memasukkan data para
korban yang engan melaporkan kasusnya karena berbagai sebab dan
alasan.
Di seluruh dunia telah terjadi
kekerasan seksual lintas gender dan umur. Memasuki bulan Desember
tahun lewat bayi laki-laki yang baru berumur 1 bulan di Kent, Inggris
menjadi korban pemerkosaan brutal orang dewasa. Indonesia sendiri
mencatat korban pemerkosaan termuda berumur 8 bulan di sebuah dusun
nelayan di Bantaeng Sulawesi Selatan. Sementara korban pemerkosaan
tertua menurut informasi dari seorang kawan aktivis perempuan yang
datanya masih butuh verifikasi lanjutan adalah nenek berumur 85
tahun. Ini indikasi kuat bahwa kekerasan seksual bisa terjadi pada
siapa pun tanpa peduli apapun penampilan korban saat kejahatan
kekerasan seksual terjadi. Belum lagi nasib para tenaga kerja
Indonesia perempuan yang harus pergi menjadi tulang punggung keluarga
atau tertipu iming-iming pendapatan besar yang berujung menjadi
korban kekerasan seksual yang tak jarang merengut nyawa mereka juga.
Fasilitas transportasi umum juga mulai
jadi teror tersendiri dengan meningkatnya kejadian kekerasan seksual
baik pemerkosaan maupun perbuatan cabul di angkot beberapa bulan
terakhir ini. Korbannya mulai dari anak sekolah hingga perempuan
setengah baya penjual sayur. Bahkan ada korban tewas. Dan ini tentu
bukan bahan lelucon seperti yang dilakukan seorang komedian dan
presenter saat melawak di sebuah tayangan langsung perayaan ulang
tahun grup televisi swasta beberpa minggu lalu.
Lawakannya tentang pemerkosaan di
angkot yang lalu mengundang banyak protes dari para korban kekerasan
seksual dan masyarakat luas ini simbol masih kurangnya kepedulian
banyak pihak terhadap persoalan kekerasan seksual di tanah air.
Renggut paksa harga diri, martabat dan masa depan seorang yang bila
hidup pun harus mengalami trauma seumur hidup, masih dianggap sepele
oleh sebagian orang. Menyedihkan dan menggelisahkan.
Mengapa kita perlu tak hanya
berhenti pada kasus-kasus kekerasan sekual tertentu dan kasus
pelecehan korban dan penyintas seksual oleh seorang komedian ? Karena
kekerasan seksual bukan komoditi kasus eksotik musiman, ini kejahatan
purba yang tak akan berhenti hanya sampai prihatin dan caci maki
marah saja. Untuk benar-benar bisa mengurangi kita harus mulai
bergerak dalam kegiatan-kegiatan nyata yang mengupayakan edukasi dan
penyebaran informasi secara lebih luas bahwa kekerasan seksual bukan
tentang hubungan seksual, tapi bentuk kekerasan terburuk yang pernah
ada dalam peradaban umat manusia. Bentuk kekerasan yang membunuh
sebagian besar hidup korbannya, dan meninggalkan stigma menyedihkan
yang sering lebih memojokkan korban dari pada pelaku.
Mari hentikan kekerasan seksual dan
bergiat mendorong perubahan menuju masa depan dengan lingkungan yang
lebih aman. Menjadi lebih peduli berarti ikut mendorong dan
menciptakan kondisi yang lebih aman, tak hanya bagi perempuan tapi
juga bagi semua.
No comments:
Post a Comment