gambar dari : http://agungclivemelod.blogspot.com/2011/03/kekerasan-dalam-pacaran-ilmu-budaya.html |
Sejumlah kasus kekerasan terjadi akibat keliru memilih pasangan kencan lewat dunia maya, sudahlah keliru memilih orang, caranya pun sudah salah sejak awal. Kemajuan tehnologi yang seharusnya untuk menolong umat manusia memudahkan silaturahmi bagi mereka yang berjauhan dan dipenuhi kesibukkan telah dimanfaatkan sementara orang untuk hal-hal yang tidak bertanggung jawab. Ada pelaku dan ada korban, keduanya memulai dengan sikap mental yang keliru saat memanfaatkan media internet dalam hal ini jejaring media sosial.
Tak hanya sebagai media silaturahmi, komunikasi dan informasi tapi juga tempat utama berselancar untuk memenuhi ruang-ruang kosong perasaan cermin kelemahan dan ketidakberdayaannya membangun fungsi sosial yang lebih baik di ruang nyata dan lebih terbuka yang membutuhkan keberanian ekstra untuk menghadapi berbagai masalah serta 'kecerdasan pikiran dan hati' untuk menemukan cara mengurai simpul keruwetan dan dengan sabar menariknya satu-persatu hingga rapi selesai. Sedemikiannya saya menempatkan posisi sulit itu tak hanya pada satu pihak melainkan pada keduanya, korban dan pelak,u karen akibat yang ditimbulkan dari salah cara memilih teman kencan lewat media sosial yang berujung pada kekerasan dalam berhubungan adalah masalah purba sejak fenomena berkembang luasnya media sosial menyentuh segala ruang termasuk ruang-ruang relasi yang mestinya dibangun tidak hanya dengan perasaan tapi juga dengan kearifan berlogika (baca : pakai juga isi kepala kita saat hendak membangun relasi emosi).
Super aktifnya kita di ruang-ruang media sosial khusus hanya untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan nutrisi insting bersenang-senang dimana ada sebagian orang hanya menghabiskan waktunya untuk berlelah berselancar di ruang media sosial ketimbang dipakai secara bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidupnya ke arah yang lebih baik di ruang nyata juga indikasi kegagalan berfungsi sosial baik di ruang relasi, ruang kerja maupun di ruang pertemanan di duniat nyata yang kemudian alih-alih diperbaiki malah melarikan diri menyelam dalam pergaulan maya dan menganggap seluruh kejadian dan perkataan disaksikan dan dibaca di layar komputer atau gadget sebagai bentuk hadirnya dunia nyata yang tak berhasil Anda taklukan ke dunia maya yang menurut Anda berhasil Anda taklukkan dengan menggunakan perasaan dan insting yang bahkan belum tentu matang mengolah masalah di ruang yang lebih nyata. Saya sederhanakan : sangat eksis di ruang maya tanpa arah yang pasti, menunjukkan kegagalan Anda memiliki peran penting di dunia nyata. Ini sebab utama sementara orang membangun ruang pentingnya sendiri. Padahal, tanpa arah dan karya, kehadiran kita di ruang apapun baik nyata maupun maya tidak akan memberikan peran penting apapun kecuali hanya, maaf, 'nyampah' dan akhirnya mengganggu mereka yang memanfaatkan internet dalam hal ini media sosoial sebagai wadah komunikasi dan distribusi informasi yang cepat, relatif murah dan bisa diakses seluas-luasnya untuk hal-hal yang berguna bagi banyak orang.
Lebih buruk lagi adalah, saat konstruksi sosial yang sangat dipengaruhi budaya patriaki di ruang nyata lalu dibawa ke ruang maya. Umumnya para pembawa sifat dan kebiasaan patriaki ke ruang media sosial akan hanya mencari teman berhubungan yang dianggapnya lebih lemah, rentan, bisa dikuasai dan dikontrol. Sebut saja beberapa kasus pelaporan yang dilakukan beberapa orang tua yang anak remajanya dianggap dilarikan orang-orang tak bertanggung jawab yang berakhir dengan kekerasan seksual bahkan penghilangan nyawa. Ini kasus yang terparah. Kasus yang terbanyak dan terdekat sering sekali terjadi adalah hubungan yang dibangun lewat media sosial tanpa mengetahui latar belakang dan rekam jejak pasangannya. Ini biasanya kasus-kasus yang berakhir dengan pertemuan di ruang nyata, lalu bila sosok yang diharapkan dan dibayangkan tak sesuai dengan imaji bentukan saat berinteraksi di ruang maya, lalu timbul pemerdekaan imaji dengan cara-cara tak semestinya karena ketidaksanggupan menyatakan TIDAK saat bertemu. Tentu bila ada pihak yang dengan sewenang-wenang memerdekakan imajinya, pasti ada pihak yang kemerdekaannya terampas.
Dari titik ini ketidakarifan memanfaatkan media sosial melahirkan pelaku dan korban kekerasan yang biasanya akan berbentuk awal verbal, yang tak mungkin bila dibiarkan akan meningkat ke kekerasan fisik seperti pemaksaan melihat isi interaksi semua alat komunikasi yang korban miliki, pengrusakan barang sampai bila tak dihentikan tindakan yang melibatkan persentuhan fisik yang tidak diinginkan (pegang paksa, penyekapan, pemukulan, kekerasan seksual dan lain-lain yang tentu makin berbahaya).
Bila sudah sampai ke salah satu tindakan yang saya sebutkan sebelumnya, sesungguhnya pelaku sudah melakukan kekerasan yang masuk ke ranah kriminal dengan konsukuensi hukum yang jelas. Pelanggaran yang dilakukan pelaku atau predator dunia maya bisa dijerat dengan pasal-pasal yang berhubungan dengan bentuk kekerasan yang dilakukan :
1. Penguasaan akun milik orang lain disertai ancaman dan atau penyebaran informasi dari akun milik orang lain bisa dijerat UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU ini sebenarnya UU yang tak saya sukai meski di dalamnya ada pasal yang bisa melindungi korban predator dunia maya; selebihnya adalah pasal-pasal karet yang sering digunakan para penguasa dan pengusaha untuk menindas orang lain yang mereka rugikan seperti kasus Prita Mulyasari, tapi dalam hal ini, UU ini baik untuk memberi efek jera predator dunia maya yang merajalela akhir-akhir ini.
2. Pelecehan seksual, dijerat dengan hukum pidana KUHP pasal 289-296 tentang pencabulan, penghubung pencabulan pasal 295-298 dan pasal 506.
3. Kekerasan yang dilakukan, dijerat pasal KUHP pasal 352 tentang tindak pidana penganiayaan ringan atau bila penganiayaan menimbulkan akibat fisik khusus bisa juga dengan UU nomor 8 KUHAP pasal 1 ayat 24 tentang penganiayaan. Kekerasan verbal berupa kata kasar juga bisa dijerat pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.
4. Definisi anak yang dimaksud negara adalah semua yang berumur di bawah 18 tahun (dan belum menikah). Jadi apapun yang dilakukan tidak wajar dan semestinya terhadap anak-anak termasuk di dunia maya akan dijerat UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak.
Ini payung hukum bila telah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan berniat melaporkan pelakunya. Cara lain adalah mencegah terjadinya dengan menjadi lebih arif menyikapi media sosial adalh memperkecil kemungkinan terjadinya dengan melakukan langkah-langkah berikut :
1. Hindari berkoneksi dengan akun-akun anonim. Biasanya akun-akun seperti ini dibuat orang-orang yang tak ingin identitas aslinya diketahui dan umumnya dipakai untuk hal-hal negartif seperti menjerat lawan jenis dengan cara-cara yang tidak semestinya. Pengelola akun-akun seperti ini umumnya menghindari pertemuan terbuka dan bentuk kopi darat yang beramai-ramai. Tidak semua akun anonim berkonotasi negatif, tapi tak ada salahnya berhati-hati.
2. Hindari sering-sering memublikasikan status-status melankolis atau yang mengumbar kesedihan. Ini biasanya awal petaka, kenapa ? Predator dunia maya sangat menggemari melakukan pendekatan pada orang-orang yang dianggap lemah dan mudah dikuasai, dan kebiasaan memublikasikan hal-hal melankolis dan emosional terutama muatan-muatan kesedihan akan memarik perhatian orang-orang yang idak bertanggung jawab yang hanya akan melakukan pelecehan, penguasaan dan pengontrolan pada korban yang dianggap lemah dan rentan didominasi. Sisi lain himbauan ini adalah, jadikan dirikita pandai dan bersemangat. Gunakan fasilitas internet anda untuk menggali ilmu sebanyak mungkin, dari sana Anda justru akan mendapat kawan-kawan yang lebih berkualitas baik perilaku maupun wawasannya.
3. Hindari kontak dengan webcam jika diminta. INGAT, Anda hanya sesungguhnya hanya aman melakukan hubungan webcam untuk orang-orang yang sebelumnya sudah pernah Anda temui atau untuk keperluan pekerjaan yang membutuhkan kontak visual yang lebih detail.
4. Hindari pertemuan awal hanya berdua dan di tempat yang sangat privat. Ini mencegah hal-hal yang tidak diinginkan yang bisa saja terjadi kapan pun dan dimana pun.
5. Bersikaplah tegas pada indikasi pendekatan yang tidak wajar, ini bisa menyelamatkan Anda sejak awal.
6. Sedekat apapun Anda dengan orang lain termasuk dengan keluarga sendiri, JANGAN PERNAH memberikan kata sandi (password) pada siapa pun. Ini fatal akibatnya. Anda tidak akan pernah tahu kapan Anda akan berkonflik dengannya. Di tengah tekanan emosi, akun Anda yang sudah dikuasai kata sandinya bisa digunakan secara tidak bertanggung jawab untuk tujuan mencemarkan nama baik Anda. Selalu lakukan sesuatu karena Anda butuh dipercaya bukan karena ingin dipercaya, perbedaan besar kata butuh dan ingin akan membuat Anda arif menglola hubungan Anda dengan siapa pun. Saling menguasai kata sandi akun atau alat-alat komunikasi bahkan lebih parah hanya menunjukkan ketidak-dewasaan kita menyikapi hubungan yang ada. BIla ini masih saja terjadi, apalagi secara paksa, pasti ada "trust issue" yang berkaitan dengan trauma masa lampau. Jadi bukan akun atau alat-alat komunikasi pasangan yang harus dikuasai melainkan trauma masa lalunya yang harus dipulihkan sebelum memulai berhubungan dengan siapa pun.
Dengan menyimak tulisan ini, kita, termasuk saya diingatkan kembali bahwa apapun bentuknya, kekerasan termasuk yang lahir dari pertalian tak wajar di dunia maya khususnya media sosial adalah tindakan tidak wajar yang perlu dihindari, dicegah dan disikapi. Hidup kita diisi dan dibahan-bakari semangat kemanusiaan yang harusnya dilandasi kasih sayang, tentu kasih sayang yang yang tidak lemah. Yang tegas menyikapi penindasan dan pemerkosaan hak serta penyimpangan.
Jangan juga menjadi fundamentalis terhadap apa yang kita yakini lalu tak memberi ruang pada kebenaran milik orang lain. Semangat bahwa kita adalah umat manusia yang setara akan mengikis sikap mental dan pemikiran bahwa ada orang lain yang lebih bisa didominasi.
Sumber : Pribadi & dr. Veronica Salter
Sumber : Pribadi & dr. Veronica Salter
Thanks for sharing mbak. Boleh aku sebar luaskan ke teman-temanku ya mbak. Beberapa orang yang aku kenal mengeluhkan hal semacam ini terjadi pada keluarga mereka dan agak sulit mengingatkan korban, karena si *Predator sdh terlanjur berhasil membangun image baik dlm pikiran korban :'(. Korban tidak merasa mereka sedang jadi korban kejahatan. Mereka pikir ini cinta.
ReplyDelete