- Kekerasan Seksual
- Meliput & Menayangkan Tentang Penyintas
I. Kekerasan Seksual
Beda korban &
penyintas : KORBAN obyek kejahatan yang masih berada dalam
kondisi pasca trauma dan tidak/belum berfungsi secara sosial
(belajar, bekerja, hubungan sosial, hubungan emosi dll), sedangkan
PENYINTAS adalah korban kejahatan yang sudah melewati
masa-masa teberat setelah kejadian, berfungsi secara sosial &
berusaha berfungsi secara emosi.
Kekerasan
seksual : Seluruh
tindakan pendekatan dan penyerangan dengan menggunakan seks sebagai
alat/senjata, yang menimbulkan rasa tidak nyaman, terancam, trauma,
kerusakan fisik jangka pendek/panjang & kerusakan psikis jangka
panjang.
Efek kekerasan seksual pada
korban :
- Syok
- Kedinginan
- Perasaan ingin pingsan
- Kebingungan mental
- Disorientasi (tokoh, peran, waktu & tempat)
- Gemetaran
- Mual
- Muntah-muntah
Gejala fisik trauma kekerasan
seksual :
- Masalah ginekologi
- Pendarahan atau infeksi
- Rasa sakit di seluruh tubuh
- Memar/luka gores/luka yang lebih dalam
- Mual dan muntah-muntah
- Iritasi tenggorokan (menyebabkab tercekat)
- sakit kepala karena meningginya tekanan darah
- Rasa sakit di punggung bagian bawah dan/atau perut
- Gangguan tidur
- Gangguan makan
Penyimpangan kebiasaan akibat trauma
kekerasan seksual :
- Menangis lebih sering dari biasanya
- Kesulitan konsentrasi
- Kurang bisa mengatur pola istirahat
- Kurang bisa menikmati waktu santai
- Selalu waspada danberjaga-jaga
- Gangguan kemampuan bersosialisasi ATAU bersosialisasi berlebihan
- Tidak suka ditinggalkan sendirian
- Gagap atau terbata-bata lebih dari biasanya (akibat tercekat)
- Menghindari hal-hal yang akan mengingatkan pada kejadian kekerasan seksual yang dialami
- Mudah takut dan terkejut
- Cepat kesal untuk hal sederhana
- Kehilangan ketertarikan pada hal-hal yang bagi orang lain menarik
- Selalau bermasalah pada hubungan/relasi yang melibatkan emosi
- Mudah kecewa
- Lebih sering menarik diri dalam kondisi tertentu
- Mengonsumsi alkohol/rokok/obat-obatan (atau meningkat bila sebelumnya sudah mengosumsi)
- Lebih sering mencuci tangan dan/atau mandi
- Penyangkalan bahwa kekerasan seksual yang dialami tidak pernah terjadi
Gejala psikis trauma kekerasan
seksual :
- Gangguan pikiran dan kekesalan
- Merasa kotor
- Ingatan berulang
- Mimpi buruk
- kesal pada hal-hal yang mengingatkan pada kejadian
- Fobia dan/atau trauma fobia
- Amnesia sementara
- Kebas atau rasa kehilangan emosi
- Bingung harus merasakan apa
- Merasa akan mati lebih cepat
- Depresi dan kesedihan
- Ingin bunuh diri
- Gusar dan kemarahan
- Lebih takut dan cemas berlebihan
- Malu dan terhina
- Merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri
- Merasa bertanggung jawab atas kejadian
- Merasa berbeda dan berjarak dengan orang lain
- Merasa tak tertolong dan tak berdaya
- Kehilangan penghormatan pada diri sendiri
- Kehilangan percaya diri
- Merasa selalu lebih kurang dari yang lain dan tak berharga
- Pada kekerasan seksual masa kanak-kanak, perkembangan emosi penyintas akan berhenti di usia pertama kali penyintas mengalami kejadian/serangan pertamanya
- Tidak lupa tapi selalu menemukan cara menghadapi/menghindari kenyataan (otak & otot)
- Merasa konseling/terapi belum tentu menolong
- Ragu dan takut menceritakan kejadian
- Kalau pun berani bercerita, di awal-awal, penyintas akan mengingat dan merasakan hal yang persis sama dan kembali menggerakkan gejala-gejala awal, tapi dengan lebih seringnya penyintas mengungkap dan menerima keadaan diri, pemulihan akan terjadi secara perlahan-lahan
(lebih pada fisik)
- Migren
- Bulimia dan/atau anoreksia
- Ketidakmampuan untuk mempercayai
(lebih pada gangguan emosi)
- perfeksionis
- Menghindari ikatan/keintiman emosi
- Tidak mempercayai intuisi diri
- Belajar mengadaptasi kejadian sesungguhnya menjadi seolah-olah itu imajinasi (penyangkalan)
- Bisa saja membela pelaku
- Problem mengasuh anak
- Khawatir berlebihan
- Kebingungan berhubungan seks, apakah karena dorongan nafsu atau cinta
- Kebingungan berhubungan seks, antara mengontrol dan menguasai
III.
Bagaimana Media Meliput & Melaporkan Korban/Penyintas Kekerasan
Seksual
1. Identitas
(korban & orang-orang di sekitar korban)
Pasal 5 KEJ
Wartawan Indonesia tidak
menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak
menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data
dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang
memudahkan orang lain untuk
melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia
kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
2. Menyalahkan korban
(penampilan, perilaku & kondisi)
Contoh
:
- OkeZone.com 16 September 2011 : Pemerkosa & Korban Ternyata Saling Kenal (isi X – sumber pendukung)
- TRIBUNNEWS.com 16 Sept 2011 : Korban Perkosaan Sering Berkomunikasi dengan Pelaku (isi X – minus sumber pendukung)
Pasal 3 KEJ
Wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak
bersalah.
Penafsiran
a. Menguji
informasi berarti melakukan check and recheck tentang
kebenaran
informasi
itu.
b. Berimbang
adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada
masing-
masing pihak
secara proporsional.
c. Opini yang
menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan
opini
interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas
fakta.
d. Asas praduga
tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
3. Detail Erotis
Contoh : duplikasi detail erotis ke
kolom berita atau pada adegan reka ulang kekerasan seksual.
- detikpertama.com 7 Sept 2011 : Nafsu Tak Tertahan, Kuli perkosa Pelajar Hingga CD Robek (isi V – konten semi detail – tautan berita adalah hal-hal erotis)
- adegan reka ulang kejahatan perkosaan di media elektronik (bukan rekonstruksi yang adalah istilah kepolisian, lembaga pengamanan resmi negara)
Pasal 4 KEJ
Wartawan Indonesia tidak membuat berita
bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang
sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai
hal yang tidak sesuai dengan fakta
yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa
dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat
buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak
mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah
laku secara erotis dengan foto, gambar, suara,
grafis atau tulisan yang
semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan
suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu
pengambilan gambar dan suara.
4. Dramatisasi Kejadian
Dibanding menggali kisah sukses
perjuangan kembali berfungsi secara sosial, wajah
perempuan dalam pemberitaan cenderung menggambarkan perempuan sebagai
korban, pihak yang lemah, tak berdaya.
Contoh : pengalaman live talk show
dengan TV & wawancara 'on the spot' tanpa pertimbangan psikologis
nara sumber.
Catatan :
Waspadai stres trauma pada jurnalis
peliput kejadian-kejadian traumatis. Seluruh
ulasan yang saya sampaikan di atas sangat mungkin juga dialami para
jurnalis perempuan yang secara terus menerus meliput peristiwa
kekerasan khususnya kekerasan seksual. Secara tidak sadar cara mereka
menempatkan korban/penyintas akan menjadi semacam sugesti akibat
terus menyerap emosi dan enerji negatif korban/penyintas yang sudut
pandang publikasinya sebenarnya mereka bentuk.
No comments:
Post a Comment