Dari Materi Pelatihan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia - Medan 3 Desember 2011
(oleh
Helga Worotitjan - Medan, 2 Des 2011)
- Simulasi
- Testimoni
- Kekerasan Seksual
- Meliput & Menayangkan Tentang Penyintas
- Simulasi Umur (metode pengantar pelatihan)
Plan A
- Mengelompokkan peserta yang memiliki anak/keponakan/adik/istri/ berumur 5/8/24
- Menanyakan : kegiatan anak/ponakan untuk kelompok 5/8.
- Menanyakan kgiatang-kegiatan menyenangkan untuk kelompok 24.
- BANG !!!
Plan B
- Hanya BANG pada kelompok umur 5/8
- Testimoni
- Peristiwa 5 tahun, 8 tahun & 24 tahun
- Beda korban & penyintas : KORBAN obyek kejahatan yang masih berada dalam kondisi pasca trauma dan tidak/belum berfungsi secara sosial (belajar, bekerja, hubungan sosial, hubungan emosi dll), sedangkan PENYINTAS adalah korban kejahatan yang sudah melewati masa-masa teberat setelah kejadian, berfungsi secara sosial & berusaha berfungsi secara emosi.
- Kekerasan Seksual (dari sudut pandang penyintas)
Berdasarkan
pengalaman sebagai penyintas kekerasan seksual dan pengalaman
pendampingan korban dan penyintas, -Helga
Worotitjan- : Seluruh tindakan pendekatan dan penyerangan
dengan menggunakan seks sebagai alat/senjata, yang menimbulkan rasa
tidak nyaman, terancam, trauma, kerusakan fisik jangka pendek/panjang
& kerusakan psikis jangka panjang.
Pendekatan seksual :
- Manipulasi (berhubungan dengan relasi kekuasaan yang tak setara, baik emosi, ekonomi maupun kekuasaan) dan
- Pelecehan (pandangan, verbal &; perbuatan).
Penyerangan seksual : Pencabulan
& Pemerkosaan.
* Gejala pasca kekerasan seksual
pada KORBAN :
1. Ingatan berulang.
2. Tidak mampu menunjukkan ekspresi
dari situasi perasaan yang sedang dirasakan/dialami namun
3. MUDAH marah dan menangis tanpa sebab
pasti hanya dengan terpicu sebab sederhana.
4. Menghindari tempat-orang/kelompok
orang serupa/seprofesi/sefigur dengan pelaku-kondisi/keadaan yang
bisa mengingatkan.
5. Cemas
6. Sulit konsentrasi
7. Gangguan makan (tidak bernafsu
makan/bulimia/mual dll)
8. Gangguan tidur (mimpi buruk/insomnia
parah)
9. Tidak berfungsi secara sosial
(keluarga/pasangan/pekerjaan/pertemanan/dll)
10. Masalah kejiwaan berat (PTSD,
bipolar, borderline disorder, schizophrenia dll)
11. Bunuh diri.
* Gejala panjang pasca trauma pada
PENYINTAS :
1. Penyangkalan, menyalahkan diri
sendiri atas kejadian yang terjadi.
2. Gangguan makan-tidur
3. Trust issue pada siapapun
4. Gangguan fungsi seksual : avoidance to sex, addicted to sex & kemungkinan perubahan orientasi seksual
5. Tidak bisa merasakan emosi/freezing
saat mendengar, melihat & mengalami perilaku/peristiwa/kondisi
sama atau serupa atau SEBALIKNYA bereaksi berlebihan,
6. Pada kejadian kekerasan seksual masa
kanak-kanak pertumbuhan emosi penyintas berhenti saat peristiwa
terjadi (cara menanggapi masalah yang menggerakkan emosi akan
dilakukan persis seperti saat usia mengalami peristiwa kekerasan
seksual),
7. Tidak percaya diri (tapi pada
sebagian orang ketidakpercayadriannya diekspresikan sebaliknya
8. Mekanisme melindingi diri baik oleh
otak maupun tubuh (otak dengan cara “menguburkan” dalam-dalam,
tubuh dengan “vibration alert” atau respon otomatis saat dianggap
berada dalam situasi serupa atau yang membahayakan dirinya)
9. Struktur tubuh (relatif),
10. Terkikisnya
nilai kemanusiaan
- Bagaimana Media Meliput & Melaporkan Korban/Penyintas Kekerasan Seksual
- Tidak Dilindunginya Identitas (korban & orang-orang di sekitar korban )
KEJ Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak
menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak
menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data
dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang
memudahkan orang lain untuk
melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia
kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
2. Menyalahkan korban
(penampilan, perilaku & kondisi)
Wajah
perempuan dalam pemberitaan cenderung meng-gambarkan perempuan
sebagai korban, pihak yang lemah, tak berdaya, atau menjadi korban
kriminalitas karena sikapnya yang “mengundang” atau memancing
terjadinya kriminalitas, atau sebagai obyek seksual
Contoh
:
- OkeZone.com 16 September 2011 : Pemerkosa & Korban Ternyata Saling Kenal (isi X – sumber pendukung)
- TRIBUNNEWS.com 16 Sept 2011 : Korban Perkosaan Sering Berkomunikasi dengan Pelaku (isi X – minus sumber pendukung)
KEJ Pasal 3
Wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak
bersalah.
Penafsiran
a. Menguji
informasi berarti melakukan check and recheck tentang
kebenaran
informasi
itu.
b. Berimbang
adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada
masing-
masing pihak
secara proporsional.
c. Opini yang
menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan
opini
interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas
fakta.
d. Asas praduga
tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
3. Detail Erotis
Contoh : duplikasi detail erotis ke
kolom berita atau pada adegan reka ulang kekerasan seksual.
- detikpertama.com 7 Sept 2011 : Nafsu Tak Tertahan, Kuli perkosa Pelajar Hingga CD Robek (isi V – konten semi detail – tautan berita adalah hal-hal erotis)
- adegan reka ulang kejahatan perkosaan di media elektronik (bukan rekonstruksi yang adalah istilah kepolisian, lembaga pengamanan resmi negara)
KEJ Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita
bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang
sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai
hal yang tidak sesuai dengan fakta
yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa
dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat
buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak
mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah
laku secara erotis dengan foto, gambar, suara,
grafis atau tulisan yang
semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan
suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu
pengambilan gambar dan suara.
4. Dramatisasi Kejadian
Dibanding menggali kisah sukses
perjuangan kembali berfungsi secara sosial, wajah
perempuan dalam pemberitaan cenderung menggambarkan perempuan sebagai
korban, pihak yang lemah, tak berdaya.
Contoh : pengalaman live talk show
dengan TV & wawancara 'on the spot' tanpa pertimbangan psikologis
nara sumber.
Catatan :
Waspadai stres trauma pada jurnalis
peliput kejadian-kejadian traumatis. Seluruh
ulasan yang saya sampaikan di atas sangat mungkin juga dialami para
jurnalis perempuan yang secara terus menerus meliput peristiwa
kekerasan khususnya kekerasan seksual. Secara tidak sadar cara mereka
menempatkan korban/penyintas akan menjadi semacam sugesti akibat
terus menyerap emosi dan enerji negatif korban/penyintas yang sudut
pandang publikasinya sebenarnya mereka bentuk.
No comments:
Post a Comment