Kepada Mama, aku telah berani menghadapi kemarahan yang tersimpan begitu lama, ternyata bukan padamu seperti yang kusangka selama ini, tapi pada kondisi dimana perempuan secerdas dirimu diikat rantai budaya masyarakat yang saat itu tak berpihak pada perempuan-perempuan yang bermimpi untuk bisa memilih.
Puisi yang tak pernah aku tulis demi apapun, kini aku tulis demi anak-anakku dan perayaan membongkar rasa tak berIBU selama 33 tahun.
Aku mengenal ibu sebagai pilu,
seperti mata tombak dingin di lambung robek bercucuran darah dan tertinggal di sana untuk berkarat.
Guratan wajahnya tak pernah muda, selalu tua di ingatanku. Demikian dalam guratan-guratannya hingga aku bisa menyusurinya seperti menyusuri gang-gang sempit, gelap, pengap, panjang, berbelok-belok dan menemu henti di bibir neraka. Anak-anakmu mesti beringsut-ingsut perlahan untuk tidak berakhir di sana! Dan akulah yang satu-satunya berlari dengan iman yang polos, iman kanak-kanak kepada ibunya.
Iman yang aku bangun dari detak jantung lembut bersahutan siang dan malam, begitu dekat selama hampir sembilan bulan.
Iman yang aku bangun setiap kali sari makanan datang lewat pertalian hidup antara pusar perutku dan dinding rahimnya.
Iman yang membuat ibuku menjadi satu-satunya TUHAN tanpa buku pujian dan kitab suci.
Iman yang kutinggalkan saat tubuh ringkih kanak-kanakku dikuasai tuhan lain yang mampu membuat ibuku takluk; menyerahkan keilahiannya,
dan jalan panjang sisa hidupku kepada para pencabul (mereka yang menulis sejarah serta ayat-ayat di tubuhku, sebuah kitab baru tentang keniscayaan, bahwa tak ada tuhan selain diriku sendiri).
Jakarta, 12 Desember 2012
No comments:
Post a Comment