Kemarin
sore saya menyetujui ajakan kawan Mariana Amiruddin menghadiri bedah
buku puisi karya Zubaidah Djohar. Buku puisi berjudul Pulang Melawan
Lupa yang sebagian besar isinya diangkat dan terinspirasi dari apa
yang pernah dialami para perempuan penyintas konflik Aceh.
Dari
tuturan para pembicara, Ibu Fre Hearty, Handoko Zainam dan Marianna
Amiruddin, saya tahu, Ibed, demikian sang penulis disapa, adalah
peneliti persoalan perempuan di Aceh pasca konflik. ia berjumpa,
berbincang dan mencermati. Ibed masuk ke relung-relung terdalam luka
para perempuan penyintas konflik Aceh.
Dari
beberapa puisi yang baru sempat saya baca, Ibed mengupas lapis
ingatan yang terekam selama konflik terjadi. Perih yang dibawa Ibed
ke dalam puisi-puisinya adalah sekaligus gambaran kuat ketegaran para
perempuan ini melintasi pintu pedih masa-masa didekap ketakutan,
kesedihan dan kemarahan, keluar menjadi mereka yang memenangkan
pertarungan dengan trauma dan kembali menjalankan fungsi sosialnya.
Dari
banyak informasi saya tahu, perempuan Aceh pasca konflik tak pernah
benar-benar menemukan kemerdekaannya. Perda berbasis keyakinan
tertentu yang kini diberlakukan, lebih banyak meminggirkan hak
perempuan atas dirinya sendiri. Banyak dari mereka bahkan yang masih
harus merendahkan suaranya saat bercerita tentang kejadian-kejadian
kekerasan masa konflik.
Seperti
diungkap ibed, untuk masyarakat di luar kebisingan kota-kota besar di
Aceh, yang bermukim jauh dari kantor-kantor perwakilan LSM-LSM asing,
nasional maupun lokal, bicara soal keadilan yang utuh dan menciptakan
rasa damai dan merdeka belum lagi benar-benar bisa menyentuh mereka.
Bagi
mereka berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan termasuk kemungkinan
terburuk kehilangan orang-orang terdekat seperti saat mamsa-masa
konflik adalah bagian utuh keseharian.
Di
puisi-puisi yang Ibed tuliskan, perih adalah kekuatan yang menegarkan
para perempuan penyintas konflik untuk tetap bertahan hidup. Perih
dalam kata-kata puisi Ibed menggumpalkan kekuatan untuk tidak
melupakan, untuk tidak diam, tapi luar biasa karena tidak jua
melaahirkan dendam dan upaya pembalasan. Dari rahim kelembutan
perempuan lahir kesadaran untuk memaafkan dan ikut mendorong kondisi
damai. Para perempuan ini mencuci lampin masa lalu yang sarat lara
untuk masa depan anak-anak mereka dengan air mata, dengan kehormatan
dan dengan harga diri yang pernah dirobek-robek pelaku kekerasan
semasa konflik.
Bila
dulu sebagian perempuan Aceh mesti berjuang melawan kenangan
kehilangan laki-laki yang dicintainya karena kondisi perang, lalu apa
bedanya dengan apa yang kini dialami oleh para perempuan yang merasa
lebih moderen di Jakarta dan kota-kota lainnya di seluruh Indonesia?
Bila
dalam konflik bersenjata perempuan kehilangan para laki-lakinya
karena tewas atau diculik, maka para perempuan di kota besar saat ini
juga sebenarnya sedang kehilangan para laki-lakinya yang “ditewaskan
dan diculik” kepentingan besar kapitalisme rakus dan birokrasi
pekerjaan serta usaha yang kejam bangunan sistem negara yang lebih
berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan uang. Kondisi
ekonomi sosial yang akhirnya mendorong seluruh masyarakat menelan dan
mereduksi kekerasan sistemik yang ikut dibentuk hampir semua pihak
termasuk media penyaji informasi dan komunikasi, menjadi bentuk wajar
cara menjalani keseharian.
Kita
jadi merasa biasa membaca, mendengar dan menonton kejadian-kejadian
kekerasan di berita-berita, adegan kekerasan verbal dan fisik di
sinetron dan tayangan komedi sekalipun. Alam bawah sadar kita dibuat
toleran dengan kekerasan, sehingga saat terjadi kekerasan dan
kejahatan kemanusiaan baik yang bermuatan sekterian, rasial, berbasir
gender dan sebagainya, kita hanya bisa mengutuk, menyayangkan dan
mengemukakan keprihatianan sebatas ruang yang kita anggap cukup aman,
sementara mereka-mereka yang menjadi korban kekerasan tak jua bisa
beranjak dari kondisi dikorbankan baik oleh perlakuan hukum mau pun
sikap ketidakpedulian kita yang merasa sudah mapan, aman dan nyaman.
Tapi
benarkah kita betul-betul bebas dari kemungkinan menjadi korban
kekerasan? Sebenarnya TIDAK.
Mari
mencermati sejarah dan perkembangan kejadian kekerasan di Indonesia.
Bukankah lalu ada ruang-ruang yang dulu kita anggap tak akan pernah
disentuh kekerasan kini juga ikut jadi korban kekerasan maupun efek
kekerasan secara tidak langsung? Saya sebut dengan segenap kesadaran,
meningkatnya kasus-kasus kekerasan seksual di institusi keagamaan dan
pendidikan bahkan di dalam rumah, penyerangan ke kelompok-kelompok
minoritas dan etnis tertentu, pembelaan dalam bentuk ancaman
kekerasan saat ada pejabat tertentu yang hendak dijatuhi hukuman dan
sebagainya.
Semua
itu akan terus berlangsung selama kita diam dan tidak peduli. Dengan
diam, kita ikut menyumbang kemungkinan terjadinya kekerasan dalam
bentuk apapun pada diri kita atau orang-orang terdekat yang kita
sayangi.
Kembali
ke buku puisi ibed, Pulang Melawan Lupa. Saya yang bukan kritikus
sastra tidak berkompeten mengurai kaedah dan aspek literasi
puisi-puisi di dalamnya. Tapi menarik untuk saya, bahwa ibed sebagai
perempuan yang terinspirasi oleh para perempuan penyintas konflik
Aceh adalah juga bagian dari para perempuan yang bangkit menolak diam
terhadap kekerasan. Saya catat dari berbagai sumber bahwa aksi damai
Indinesia Tanpa Kekerasan (Tanpa FPI sebagai simbolisasi) hari Selasa
lalu ternyata juga digagas beberapa perempuan warga Jakarta yang
sejak lama terganggu dengan aksi-aksi kekerasan ormas-ormas tertentu
yang disinyalir dibiarkan tumbuh subur dan tidak diperlakukan sama
oleh aparat hukum seperti warga lainnya.
Para
perempuan ini juga korban kekerasan sistemik yang menolak terus diam
disuguhi berita-berita kekerasan setiap hari, yang gemas karena
anak-anaknya juga ikut jadi korban pengonsumsi produk-produk media
yang abai dengan program edukatif.
Saya
sendiri berada di sana sebagai bagian dari mereka yang terus
menyuarakan pesan-pesan anti kekerasan terhadap perempuan, khususnya
kekerasan seksual. Saya juga menulis puisi seperti Ibed dan
berkeinginan menelurkan buku puisi tunggal, rekaman apa yang saya
dengar, lihat, rasa dan alami.
Bila
Ibed gemilang menuang perih para perempuan penyintas kekerasan dan
konflik Aceh menjadi suara lantang untuk seruan damai, maka suatu
saat saya yang memang penyintas kekerasan, harus menyempatkan waktu
membukukan rekaman perih sebagai bagian dari proses pemulihan trauma
yang saya alami ke dalam bentuk seruan damai lainnya sebagai
pendukung upaya-upaya lain yang saya dan banyak kawan perempuan lain
lakukan untuk Indonesia Tanpa Kekerasan.
Selamat
Ibed untuk buku puisimu yang luar biasa, Mengasah Pejuang, Mengasah
Perempuan.
Jakarta,
20 Februari 2012
huruf-hurufnya terlalu kecil :(
ReplyDeletega bisa baca ... apalagi mataku belor gini ...
hiksss
Synopsis dan analisis yg tajam,menyentuh kalbu dan menarik. Bravo u Helga. Salam hangat dan tetaplah semangat n berkarya. NKS
ReplyDeletemba Helga, salam kenal, saya Mika dari Daai TV. Apakah saya boleh minta no telepon mba Helga, n ketemu dengan mba Helga. atau dimana saya bisa hubungi mba Helga? Salam, Mika - 0817 691 9070.
ReplyDelete