Kurang lebih dua bulan lalu seorang pemimpin redaksi sebuah Stasiun Televisi menghubungi saya dan menanyakan pendapat saya mengenai sebuah kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang mahasiswi. Saat ia menyebutkan nama pelakunya saya terkejut. SS, pelaku yang disebutnya itu bukan nama asing. Saya mengenalnya dari keaktifan saya menulis puisi beberapa tahun silam, dari pertemuan-pertemuan dan interaksi dengan para sastrawan. Sesekali saya bahkan pernah menautkannya di puisi yang saya tulis dan muat di jejaring sosial Facebook. Saya sempat berharap kritik dan komentar SS dan beberapa pegiat sastra lain karena saya merasa masih belajar.
Menulis, terutama menulis puisi, beberapa tahun silam saya pakai menjadi salah satu cara terapi mengelola efek trauma trauma berlapis akibat kekerasan seksual dan kekerasan domestik yang saya alami di masa lalu. Dimulai sejak saya masih kecil, belum lagi genap berumur lima tahun saat harus berpisah dengan masa kanak-kanak yang gembira dan polos. Direnggut predator seksual yang tinggal berdekatan. Karena kejahatan seperti itu bagi orang tua saya bukan hal yang baik dibicarakan, maka keluhan seorang anak kecil seperti saya tak pernah disikapi serius. Saya mengerdilkan dan mengubur rapat peristiwa itu dalam kepala kecil. Saya berdiam dan paham bahwa ini hal yang sangat tabu untuk dibicarakan, apalagi diadukan untuk mendapat perlindungan. Tiga tahun kemudian neraka itu berulang, bahkan dilakukan salah seorang anggota keluarga yang sehari-hari mengasuh saya. Saya alami selama tiga tahun sampai saya menjelang remaja. Ini melempar saya ke lubang yang lebih dalam dan kali ini saya tak berani mengadukannya, tahu tak akan mendapat tanggapan yang semestinya. Saya menyimpannya lagi rapat-rapat, berusaha melupakan meski pun tak pernah bisa benar-benar melupakannya.
Saya tumbuh dengan trauma mengerikan, berkembang membawa pemahaman keliru tentang tubuh saya. Hingga dewasa saya sulit mengenali dan menandai orang-orang yang hanya ingin mengeksploitasi keuntungan seksual dari tubuh perempuan. Para penjahat yang bahkan tak pernah benar-benar bertanya apa interaksi seksual yang dilakukannya juga mendapat kegairahan yang sama mengingat relasi yang timpang. Relasi yang hanya akan menguntungkan satu pihak dan menciptakan kemarahan dan kesedihan terpendam di pihak yang lebih rentan. Sulit menolak dan melawan, karena melakukan sebuah upaya setelahnya saya takut ditertawakan dan dihakimi.
Jangan pernah mengira para pemangsa tak tahu siapa yang akan mereka mangsa, mereka tahu dan paham cara memanfaatkan pengaruh mereka untuk menguasai dan mendominasi korbannya. Bahkan ada yang mampu mempertahankan pola relasi manipulasi menahun karena korbannya merasa dibina, diterima dan hanya dicintai oleh pemangsanya. Korban baru akan paham apa yang sebenarnya menimpanya setelah pemangsanya sudah meninggalkannya dan sedang mengejar atau sudah sedang memangsa korban lain. Pemangsa lebih pintar bahkan akan menahan diri beberapa lama sebelum melakukan aksinya lagi untuk memberi kesan “setia” pada korban sebelumnya.
Yang saya yakin tak pernah terpikirkan oleh siapapun, bahkan oleh korbannya, adalah manipulasi seksual dari relasi tak setara seperti ini memiliki efek trauma yang bisa sama dengan bentuk kejahatan kekerasan seksual lain. Manipulasi seksual seperti ini adalah bagian dari kerasan seksual itu sendiri. Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan yang mengakibatkan efek trauma terburuk dan terpanjang. Korban kekerasan seksual tak hanya terampas hidup dan kehidupannya, ada bagian dari jiwanya yang terbunuh, mati bersama pengalaman kekerasan yang dialaminya. Begitu rumit proses atau upayanya melupakan dan mengubur dalam-dalam ingatan akan kejadian yang menimpanya. Yang mengerikan, korban umumnya lalu tidak memiliki kemampuan memahami hak atas tubuhnya sendiri. Banyak korban menjadi korban berulang karena luput paham dirinya di”properti”kan (dianggap milik orang tertentu). Ini disebabkan relasi-relasi yang dibangun oleh para pemangsa sebagai bentuk hubungan wajar dan diterima diam-diam oleh masyarakat sebagai bentuk hubungan (yang dianggap) suka sama suka. Ironis sekali, di lain pihak masyarakat mengecam hubungan seks yang dianggap tak dalam koridor yang benar. Tapi permisif atau menerima manipulasi seksual sebagai hubungan suka sama suka sebagai bentuk relasi. Kasus manipulasi seksual berkontribusi pada tingginya korban kekerasan seksual. Para korban yang hanya bisa diam dan tunduk pada kesepakatan yang tidak pernah dia dibuat, tapi “kesepakatan semu” masyarakat umumnya dengan pemangsa, yang tentunya pada akhirnya menguntungkan pemangsa.
Karena kondisi ini pulalah maka sebagian besar korban atau hampir semua korban manipulasi seksual urung menangani traumanya. Padahal trauma yang disimpan terlalu lama, akan terus menggunung efeknya dan puncaknya sama persis seperti efek trauma kekerasan seksual lain seperti pemerkosaan dengan kekerasaan fisik berat. Tidak jarang, adanya penyangkalan, menyalahkan diri sendiri dan usaha menutupi serta melupakan adalah beberapa efek trauma khas korban.
Untuk benar-benar memahami efek trauma korban, berikut daftar panjang efek-efek trauma korban kekerasan seksual:
Efek umum trauma paska kejadian yang langsung dialami korban kekerasan seksual:
- Syok
- Kedinginan
- Perasaan ingin pingsan
- Kebingungan mental
- Disorientasi (tokoh, peran, waktu & tempat)
- Gemetar
- Mual
- Muntah-muntah
Sedangkan pada penyintas (survivor) gejala trauma fisik meliputi:
- Masalah ginekologi (kesehatan reproduksinya)
- Pendarahan atau infeksi
- Rasa sakit di seluruh tubuh
- Memar/luka gores/luka yang lebih dalam
- Mual dan muntah-muntah
- Iritasi tenggorokan (menyebabkab tercekat)
- Sakit kepala karena meningginya tekanan darah
- Rasa sakit di punggung bagian bawah dan/atau perut
- Gangguan makan
- Gangguan tidur
Ini adalah berbagai penyimpangan kebiasaan akibat trauma kekerasan seksual :
- Menangis lebih sering dari biasanya
- Kesulitan konsentrasi
- Kurang bisa mengatur pola istirahat
- Kurang bisa menikmati waktu santai
- Selalu waspada dan berjaga-jaga
- Gangguan kemampuan bersosialisasi ATAU bersosialisasi berlebihan
- Tidak suka ditinggalkan sendirian
- Gagap atau terbata-bata lebih dari biasanya (akibat tercekat)
- Menghindari hal-hal yang mengingatkan pada kejadian kekerasan seksual yang dialami
- Mudah takut dan terkejut
- Cepat kesal untuk hal sederhana
- Kehilangan ketertarikan pada hal-hal yang bagi orang lain menarik
- Selalu bermasalah pada hubungan/relasi yang melibatkan emosi
- Mudah kecewa
- Lebih sering menarik diri dalam kondisi tertentu
- Mengonsumsi alkohol/rokok/obat-obatan (atau meningkat bila sebelumnya sudah mengkonsumsi)
- Lebih sering mencuci tangan dan/atau mandi
- Penyangkalan bahwa kekerasan seksual yang dialami tidak pernah terjadi
Gejala trauma psikis:
- Gangguan pikiran dan kekesalan
- Merasa kotor
- Ingatan berulang
- Mimpi buruk
- kesal pada hal-hal yang mengingatkan pada kejadian
- Fobia dan/atau trauma phobia
- Amnesia sementara
- Kebas atau rasa kehilangan emosi
- Bingung harus merasakan apa
- Merasa akan mati lebih cepat
- Depresi dan kesedihan
- Ingin bunuh diri
- Gusar dan kemarahan
- Lebih takut dan cemas berlebihan
- Malu dan terhina
- Merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri
- Merasa bertanggung jawab atas kejadian
- Merasa berbeda dan berjarak dengan orang lain
- Merasa tak tertolong dan tak berdaya
- Kehilangan penghormatan pada diri sendiri
- Kehilangan percaya diri
- Merasa selalu lebih kurang dari yang lain dan tak berharga
- Pada kekerasan seksual masa kanak-kanak, perkembangan emosi penyintas akan berhenti di usia pertama kali penyintas mengalami kejadian/serangan pertamanya
- Tidak lupa tapi selalu menemukan cara menghadapi/menghindari kenyataan (otak & otot)
- Merasa konseling/terapi belum tentu menolong
- Ragu dan takut menceritakan kejadian
- Kalau pun berani bercerita, di awal-awal, penyintas akan mengingat dan merasakan hal yang persis sama dan kembali menggerakkan gejala-gejala awal, tapi dengan lebih seringnya penyintas mengungkap dan menerima keadaan diri, pemulihan akan terjadi secara perlahan-lahan.
Efek khas lain:
- Migren
- Bulimia atau anoreksia
- Ketidakmampuan untuk mempercayai
- Perfeksionis atau malah sebaliknya, sangat sembarangan
- Menghindari ikatan/keintiman emosi
- Tidak mempercayai intuisi diri
- Belajar mengadaptasi kejadian sesungguhnya menjadi seolah-olah itu imajinasi (penyangkalan)
- Bisa saja membela pelaku
- Problem mengasuh anak
- Khawatir berlebihan
- Kebingungan berhubungan seks, apakah karena dorongan nafsu atau cinta
- Kebingungan berhubungan seks, antara mengontrol dan menguasai atau menjadi pasif
(di kutip dari bahan pelatihan konseling yang diadakan oleh Lentera Indonesia tahun 2011, dibawakan oleh dr.Veronica Salter, terapis kekerasan terhadap perempuan lulusan Oxford University yang kini berdomisili di Jamaica)
Penutup
Pada trauma yang berlarut hingga menahun, seringkali korban pada saat terapi medis didiagnosa mengalami gangguan kejiwaan spesifik. Ini disebabkan banyaknya korban tak mengurai kejadian traumatis yang dialami dan disimpannya sampai menahun, dengan efek trauma yang berkepanjangan.
Jangan mengira bahwa saat korban sudah menjalani serangkaian terapi maka itu akan menghilangkan efek trauma yang dibawanya, tidak. Terapi hanya bisa mengurangi dan memberdayakan korban untuk mengelola efek traumanya; terutama upaya mendampingi korban untuk menjadi penyintas. Usaha terapi untuk membantu survivor berfungsi secara social kembail, memperjuangkan bagian hidup yang dirampas karena kejahatan yang menimpanya. Beberapa efek trauma bahkan bisa muncul kembali bila penyintas mengalami kondisi sangat sulit yang membuatnya stress berat dan depresi di kemudian hari. Ini trauma yang dibawa hingga akhir hayat, yang efeknya terus bekerja menghantui para penyintas, seperti yang saya alami.
Oleh sebab itu, selalu saya ingatkan ke khalayak luas, bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan, mengingat efek trauma yang harus kami -para penyintas dan korban bawa terus seumur hidup. Kami pernah “dibunuh” dan setiap hari, harus berjuang melawan efek traumanya!
Dari pengalaman dan kesadaran bahwa begitu banyak korban kekerasan seksual, saya mempelajari isu kemanusiaan lebih dalam. Saya belajar memahami akar kekerasan berbasis gender dan seks, belajar segala sesuatu yang menyangkut isu kelompok rentan khususnya perempuan dan anak. Lalu saya dan teman-teman juga terus berupaya mengampanyekan bahwa anti kekerasan seksual bukan sekadar gerakan perlawanan tapi sebagai ide perubahan. Semua usaha ini adalah perubahan cara pandang, dari sekadar nuansa seksual (kriminal) ke kejahatan kemanusiaan. Saya juga berharap juga negara ini segera memiliki undang-undang khusus kekerasan seksual yang utuh agar perempuan bisa dilindungi sesuai hokum dan implementasi hokum yang komprehensif. Harapan kita bersama demi keadilan untuk para korban dan penyintas. Keadilan untuk semua.
7 Januari 2014
No comments:
Post a Comment