Kamis pagi, 15 November 2012. Setelah sukses menemukan alamat Reading Room Jakarta dengan hanya satu
kali bertanya, saya turun dari taksi disambut sinar matahari yang mulai tak
ramah. Waktu menunjukkan hampir pukul 10.00 WIB.
Perputustakaan sekaligus toko buku dengan konsep unik dan
menarik ini lebih sederhana dari yang saya bayangkan sebelumnya. Mungkin
peraturan waralaba mengharuskannya demikian, karena hasil pencarian saya
mendapati ada beberapa di negara lain, dengan nama yang sama. Hanya ekor namanya
yang berbeda, mengikuti lokasi kota di mana tempat seperti ini berdiri.
Reading Room Jakarta memiliki dua pintu masuk untuk
mengakses ruang yang sama. Di teras saya bertemu dua kawan lain yang sudah
lebih dulu datang dan mengeluhkan pilihan berbusana saya yang terlalu formal.
Tentu saja. Saya tak diberi tahu kalau
keharusan berbusana batik seperti yang sehari sebelumnya diinformasikan, bisa
dalam penampilan yang lebih santai.
Tak lama kemudian satu-persatu kawan mulai berdatangan dan
kami mulai tepat waktu. Dibuka lantunan lagu dan beberapa sambutan cair oleh
ketua pelaksana kegiatan, Bondan, dan pendiri Lembaga Bhinneka, Soe Tjen
Marching, acara bincang publik terasa lebih santai. Ini baik untuk mereduksi
kesan topik yang pasti dinilai berat oleh hampir semua yang hadir.
Dipandu moderator Difa, sesi pertama dimulai. Soe Tjen
Marching memperbincangkan pengertian-pengertian menyangkut keagamaan dan respon
psiko-sosial. Blasphemy1) dan hate speech2) dibahas sebagai bagian
penting dari topik awal mengingat di grup Facebook
tempat Lembaga Bhinneka berinteraksi dengan anggota-anggotanya, kedua hal ini
sangat sering dibahas dan terjadi.
Diangkat juga soal bagaimana memaknai Tuhan sabagai bagian
yang hidup atau mati sesuai konsep yang diyakini dan juga yang tidak diyakini. Pada dasarnya, pembuktian tentang keberadaan segala sesuatu
adalah hal substantif dan ini yang dinilai pembicara penting untuk dipahami.
Pembicara kedua, Rocky Gerung, mengangkat persoalan
bagaimana manusia memandang dan mengikatkan diri pada konsep Tuhan sesuai
pengalaman batin dan pemikirannya.
Dikatakan, keyakinan
yang hanya dikuatkan oleh keimanan tanpa keinginan terus mencari kebenaran
lewat wawasan lain selain wawasan agama, akan membunuh keingintahuan dan
menumpulkan usaha pengejaran ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan keagamaan dan ketuhanan. “Fanatisme membunuh curiousity”, demikian katanya.
Pembicara ketiga, Musdah Mulia tak kalah menarik. Mengangkat
persoalan intoleransi dalam kesehariannya sebagai bagian dari sivitas akademika
dan intelektual berbasis komunitas agama, mendorong kesadaran besar dalam
dirinya untuk terus mengembangkan pola pengajaran pro-toleransi keberagaman.
Ia juga menyatakan kegembiraannya berada dalam komunitas
Lembaga Bhinneka yang dinilainya memberi ruang yang luas bagi keragaman.
Sesuatu yang belum pernah ditemuinya dalam jumlah penggerak dan anggota yang
cukup besar.
Setelah berbincang dengan tiga pembicara, acara diskusi jeda sejenak untuk menikmati penampilan stand up comedy3) yang dibawakan oleh
Maldi. Comedian muda yang
habis-habisan mengritisi keberadaan Tuhan dan persoalan seksualitas yang masih
secara umum dianggap tabu. Semua orang diajak menertawai dirinya sendiri lewat
komedi satir.
Setelah penampilan Maldi. Semua beranjak untuk makan siang.
Sambil menikmati makan siang, hiburan lagu-lagu dilantunkan oleh beberapa
kawan. Sangat menyenangkan. Dilengkapi penampilan stand up comedy kedua
oleh Lionky Tan yang lagi-lagi dengan
getir tapi lucu mengangkat persoalan rasial di Indonesia. Nampaknya Lembaga
Bhinneka memiliki referansi cukup
lumayan unuk komedian yang cukup mengerti isu yang diusung Lembaga Bhinneka.
Usai istirahat, Achmad Nurcholis menjadi pembicara terakhir
yang mengangkat persoalan pernikahan beda agama berikut segala macam masalah
turunan seperti pengasuhan anak sampai ke masalah perceraian.
Pada umumnya seluruh pembicara direspon peserta dengan cukup
aktif. Ini dibuktikan dengan banyaknya pertanyaan dan tanggapan. Tak hany itu,
penyelenggara juga menerima respon pesan singkat lewat nomor yang sudah
disosialisasikan sepanjang acara.
Tak sedikit yang berharap agar kegiatan serupa diadakan
secara rutin dengan tema yang berbeda. Pesan singkat yang diterima juga termasuk sekitar dua atau tiga pesan
kritik yang walau terkesan negatif namun menjadi perhatian penting pendiri dan
penggerak Lembaga Bhinneka.
Tidak terasa waktu beranjak cepat. Memasuki pukul enam
petang, acara usai. Semua merasa lega dan bergembira karena acara ini dianggap
sukses untuk ukuran kegiatan yang baru pertama kali diadakan. Seluruh panitia,
penggerak dan anggota Lembaga Bhinneka merasa puas.
Keseluruhannya adalah hasil kerja sama dan buah manis
dinamika komunitas yang paham bagaimana wawasan yang terus dikembangkan akan
mendorong perubahan cara berpikir dan bersikap. Sebuah bekal penting upaya
menghargai perbedaan yang merupakan kekayaan, demi kebaikan dan peradaban masa
depan.
Keterangan beberapa istilah asing:
1. Blasphemy : Penghujatan terhadap Tuhan, agama dan hal-hal lain
lain yang dianggap suci
2. Hate speech : Ungkapan kebencian dalam bentuk provokasi, hasutan,
ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek
seperti ras, warna kulit, etnis, gender, kecacatan, orientasi seksual, kewarganegaraan,
agama, dan lain-lain, yang berpotensi kuat mendorong terjadinya kekerasan dalam
segala bentuk.
3. Stand up comedy : seni komedi atau melawak yang disampaikan
secara monolog kepada penonton.
No comments:
Post a Comment