Suatu siang beberapa bulan yang lalu saya sedang menikmati
makan siang di depot sebelah rumah. Ada beberapa orang di kedai, semuanya
tetangga saya. Salah seorang laki-laki, berusia sekitar 2 atau 3 tahun lebih
tua dari umur saya berkelakar soal salah satu kasus pemerkosaan yang sedang
saya tangani dan kebetulan terekspos media secara luas. Sontak saya menegurnya
dan tegas mengatakan bahwa pemerkosaan bukan untuk bahan bercanda mengingat
efek trauma yang dialami seumur hidup korban bukan lucu untuk dijadikan bahan
tertawaan.
Insiden tersebut bukan jarang terjadi. Bulan Desember
tahun 2011, seorang penghibur dan
pelawak memetik kecaman publik atas konten bercanda tentang pemerkosaan yang
disampaikannya di siaran langsung ulang tahun sebuah stasiun televisi. OS,
demikian inisialnya menjadikan kejadian pemerkosaan di angkutan kota (angkot)
lawakan. Sayang sekali, 2 hari sebelumnya baru terjadi pemerkosaan di angkot
terhadap seorang ibu setengah baya yang akan pergi berdagang sayur di bilangan
Depok, Jawa Barat. Bisa dibayangkan apa yang dirasakan korban, kerabat korban
dan penyintas kekerasan seksual lain saat menonton acara tersebut….
Tak kalah mengecewakannya saat seorang oknum hakim yang sedang menjalani fit and proper test sebagai syarat menjadi hakim agung melontarkan lelucuan tercela yang sama beberapa saat yang lalu di depan anggota dewan terhormat yang secara mengejutkan ikut tertawa mendengarnya. Sikap mental yang tak patut!
Pemerkosaan adalah tindakan kriminal penetrasi sekecil
apapun di luar kehendak korban terhadap alat kelamin atau anus menggunakan bagian
tubuh atau benda lainnya. Selain itu, pemerkosaan juga mencakup aktivitas
seksual yang terjadi di luar kehendak korban (FBI via The Pixel
Project).
Sebagian besar dari kita masih menganggap pemerkosaan
sebagai semata-mata perilaku seksual dengan unsur pemaksaan yang harus berakhir
dengan lebam-lebam bekas aniaya, bagian tubuh yang berdarah atau bahkan
kematian. Masyarakat masih berpikir bahwa pemaksaan hubungan seksual yang
disebut pemerkosaan baru sah disebut pemerkosaan jika ada tindakan fisik lain
yang harus terlihat jelas dan membekas. Hal
penting lain yang harus dipahami adalah bahwa sesungguhnya unsur seksual dalam
pemerkosaan adalah unsur terkecil yang bila dikonversi kedalam persentasi hanya
berkisar 1%, selebihnya adalah tindakan kekerasan, dominasi dan kontrol
terhadap korban yang dianggap dan memang biasanya memang lebih lemah baik
secara fisik, peran maupun fungsi. Jarang sekali yang paham bahwa pemerkosaan
adalah kejahatan kemanusiaan yang tak hanya dan harus meninggalkan cidera fisik,
namun juga bahkan lebih parah, cidera psikis. Kita tentu bisa mengobati cidera
fisik, tapi bagaimana dengan cidera psikis, juga trauma yang harus dibawa
seumur hidup.
Pemerkosaan, bahkan dipakai sebagai senjata di hampir semua
peperangan. Banyak konflik inter dan antar negara menggunakan pemerkosaan
sebagai cara melemahkan musuh dan merendahkan martabat lawan. Ini cara paling
efektif untuk mengalahkan. Pemerkosaan dalam peperangan menjadi salah satu senjata pamungkas dan terampuh
untuk setiap upaya menguasai. Dalam peristiwa bersenjata penggulingan pemimpin
Libya, Moamar Khadaffi misalnya, para medis bersaksi mendapati kondom dan obat
kuat di kantong para prajurit yang tewas dalam kontak senjata atau pertikaian
terbuka lain. Cara keji ini benar-benar menamfikan kemanusiaan. Tak
terbayangkan trauma yang harus dipikul korban yang masih hidup hingga kini.
Trauma, yaitu luka/ syok/kekagetan yang disebabkan oleh
peristiwa yang terjadi secara tiba, di luar kendali, menekan, sangat
menyakitkan, membahayakan kehidupan,
mengancam jiwa (Yayasan Pulih, 2011). Trauma kekerasan berbasis gender dan
seksual banyak disalahartikan sebagai efek yang dapat disembuhkan. Nyatanya,
trauma kekerasan seksual, khususnya dalam kejahatan pemerkosaan adalah trauma
seumur hidup yang tidak dapat dihilangkan atau disembuhkan. Pemulihan hanya
bisa dilakukan dengan meminimalisir dan mengelola efek-efek trauma. Luka psikis
yang mempengaruhi emosi, perilaku dan sikap mental akaibat pemerkosaan memiliki
efek paling panjang dibandingkan dengan efek trauma kekerasan dalam bentuk yang
lain.
|
http://www.girl-jitsu.com/wp-content/uploads/2013/01/INSIDE-STORY-Rape-Statistics.jpg |
Berikut efek umum
trauma sesaat saat seseorang mengalami kekerasan seksual:
Syok
Kedinginan
Perasaan ingin pingsan
Kebingungan mental
Disorientasi (tokoh, peran, waktu
& tempat)
Gemetaran
Mual
Muntah-muntah
Sedangkan pada penyintas, gejala trauma fisik meliputi:
Masalah ginekologi
Pendarahan atau infeksi
Rasa sakit di seluruh tubuh
Memar/luka gores/luka yang lebih
dalam
Mual dan muntah-muntah
Iritasi tenggorokan (menyebabkab
tercekat)
Sakit kepala karena meningginya
tekanan darah
Rasa sakit di punggung bagian
bawah dan/atau perut
Gangguan tidur
Gangguan makan
Penyimpangan kebiasaan akibat
trauma kekerasan seksual :
Menangis lebih sering dari
biasanya
Kesulitan konsentrasi
Kurang bisa mengatur pola
istirahat
Kurang bisa menikmati waktu
santai
Selalu waspada danberjaga-jaga
Gangguan kemampuan bersosialisasi
ATAU bersosialisasi berlebihan
Tidak suka ditinggalkan sendirian
Gagap atau terbata-bata lebih dari
biasanya (akibat tercekat)
Menghindari hal-hal yang akan
mengingatkan pada kejadian kekerasan seksual yang dialami
Mudah takut dan terkejut
Cepat kesal untuk hal sederhana
Kehilangan ketertarikan pada
hal-hal yang bagi orang lain menarik
Selalu bermasalah pada
hubungan/relasi yang melibatkan emosi
Mudah kecewa
Lebih sering menarik diri dalam
kondisi tertentu
Mengonsumsi
alkohol/rokok/obat-obatan (atau meningkat bila sebelumnya sudah mengosumsi)
Lebih sering mencuci tangan
dan/atau mandi
Penyangkalan bahwa kekerasan
seksual yang dialami tidak pernah terjadi
Gejala trauma psikis:
Gangguan pikiran dan kekesalan
Merasa kotor
Ingatan berulang
Mimpi buruk
kesal pada hal-hal yang
mengingatkan pada kejadian
Fobia dan/atau trauma fobia
Amnesia sementara
Kebas atau rasa kehilangan emosi
Bingung harus merasakan apa
Merasa akan mati lebih cepat
Depresi dan kesedihan
Ingin bunuh diri
Gusar dan kemarahan
Lebih takut dan cemas berlebihan
Malu dan terhina
Merasa bersalah dan menyalahkan
diri sendiri
Merasa bertanggung jawab atas
kejadian
Merasa berbeda dan berjarak
dengan orang lain
Merasa tak tertolong dan tak
berdaya
Kehilangan penghormatan pada diri
sendiri
Kehilangan percaya diri
Merasa selalu lebih kurang dari
yang lain dan tak berharga
Pada kekerasan seksual masa
kanak-kanak, perkembangan emosi penyintas akan berhenti di usia pertama kali
penyintas mengalami kejadian/serangan pertamanya
Tidak lupa tapi selalu menemukan
cara menghadapi/menghindari kenyataan (otak & otot)
Merasa konseling/terapi belum
tentu menolong
Ragu dan takut menceritakan
kejadian
Kalau pun berani bercerita, di
awal-awal, penyintas akan mengingat dan merasakan hal yang persis sama dan
kembali menggerakkan gejala-gejala awal, tapi dengan lebih seringnya penyintas
mengungkap dan menerima keadaan diri, pemulihan akan terjadi secara
perlahan-lahan
(lebih pada fisik)
Migren
Bulimia dan/atau anoreksia
Ketidakmampuan untuk mempercayai
(lebih pada gangguan emosi)
perfeksionis
Menghindari ikatan/keintiman
emosi
Tidak mempercayai intuisi diri
Belajar mengadaptasi kejadian
sesungguhnya menjadi seolah-olah itu imajinasi (penyangkalan)
Bisa saja membela pelaku
Problem mengasuh anak
Khawatir berlebihan
Kebingungan berhubungan seks,
apakah karena dorongan nafsu atau cinta
Kebingungan berhubungan seks,
antara mengontrol dan menguasai atau menjadi pasif
(di kutip dari bahan pelatihan konseling
oleh dr.Veronica Salter, terapis kekerasan terhadap perempuan lulusan Oxford
University yang kini berdomisili di Jamaica)
Patut dibedakan anatara korban
dan penyintas. Korban adalah orang
yang baru mengalami tindakan kekerasan dan belum bisa menjalani fungsi
sosialnya, sedangkan penyintas
adalah orang yang pernah mengalami tindakan kekerasan, berhasil melewati kurun
waktu tertentu, dan berusaha atau berhasil menjalani fungsi sosialnya.
Sekali lagi, saat penyintas
berusaha dan atau berhasil menjalankan kembali funsi sosialnya, tak berarti
traumanya hilang, yang benar adalah yang bersangkutan sudah memiliki kemampuan
menekan dan atau mengelola efek traumanya. Tahap ini akan lebih maksimal bila
telah lebih dulu menjalani terapi trauma denganmetode dan cara sesuai dengan
kebutuhan.
Kejahatan pemerkosaan di
Indonesia memiliki konsukensi hukum cukup serius meski pun belum menimbulkan
efek jera pada pelaku. Kitab undang-undang
hukum pidana (KUHAP) dan undang-undang perlindungan anak (UU PA)
memiliki setidaknya lebih dari 2 pasal, dan pemaksaan hubungan seksual sebagai
bagian kekerasan domestic dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU
PKDRT).
Kekurangan penanganan hukum di
Indonesia pada umumnya adalah aparat hukum yang bermental korup sehungga kerap
mudah dilemahkan dengan suap dan ketidakpahaman mereka akan kejahatan kekerasan
berbasis gender dan seksual. Budaya patriarki yang kuat melekat sangat
mempengaruhi sikap mental aparat hukum saat menangani kekerasan seksual
khususnya. Ambil contoh kebiasaan polisi melakukan konfrontir anatara pelaku
dan korban. Padahal sesuai fungsinya polisi adalah yang mengumpulkan bukti ,
saksi. melakukan penyelidikan serta gelar perkara, dan pengadilan yang akan
mengujinya
Selain persoalan aparat hukum,
penangan korban dan pelaku pasca proses pengadilan juga tidak berimbang. Bila
pelaku dijatuhi hukuman dengan dibina negara dalam kurun waktu tertentu sesuai
keputusan berkekuatan hukum tetap, hal yang sama tidak dilakukan negara pada
korban yang jelas memerlukan rehabilitasi trauma. Pelaku dibiayai negara
pembinaannya (baca: masa hukuman) namun korban tidak pernah dibiayai negara
untuk terapi dan konseling berkala yang jelas akan sangat membantunya bisa
kembali menjalani fungsi sosial setelah kejadian tragis yang dialaminya
melumpuhkan baik fisik dan atau jiwanya.
Lagi-lagi konsentrasi penanganan
hanya terpusat pada pelaku bukan pada korban yang juga butuh penanganan serius.
Tak hanya itu, media pemberitaan
juga kerap merilis konten berita yang menciderai rasa keadilan bagi korban.
Mulai dari pengungkapan tempat tinggal korban, penggiringan opini yang
menyalahkan korban baik penampilan , perilaku dan lain-lain, sampai penulisan
konten erotis detail kejahatan yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Perlu diingat, pemuatan konten
dengan detail-detail yang tak pantas adalah semata penuangan imajinasi si
penulis atau jurnalis, dan usaha menarik pembaca, pendengar atau penonton untuk
kepentingan komersil media tanpa informasi berimbang dan nilai jurnalistik.
Nikholas D. Kristof pemenang
Pulitzer, adalah contoh jurnalis yang
melalui tulisan kolomnya di New York Times mengenai pusat perawatan pasca
pemerkosaan, membangkitkan kesadaran luas baik masyarakat maupun pemegang
kebijakan pada upaya pencegahan dan penanganan kejahatan pemerkosaan yang lebih
baik dan serius. Padahal tulisannya sama sekali tidak mengangkat detail erotis
kejadian pemerkosaan, melainkan kisah duka dan efek trauma anak-ana, korban
pemerkosaan yang dirawat oleh pusat perawatan tersebut.
Ketidakpedulian kita pada
kejahatan pemerkosaan tidak disadari merupakan simbol ketidakpedulian kita
terhadap diri dan hak-hak kita sebagai warga negara. Relasi kuasa tak seimbang
antara korban dan pelaku, juga persis sama antara rakyat, dalam hal ini yang
sebagian besarnya adalah kaum marjinal dan atau minoritas, dengan negara.
Rakyat di lapisan ini adalah mereka yang paling sering diperkosa hak-haknya di
hampir semua sendi, namun juga yang paling mudah dituntut memenuhi
kewajibanannya. Orang-orang upahan, buruh, pengusaha industri rumahan, petani ,
nelayan, pedagang kecil dan lain-lain, beserta orang-orang di sekitarnya yang
jarang atau disulitkan aksesnya untuk menggugat haknya saat tidak dipenuhi oleh
negara. Yang bila bisa menggugat pun jarang bahkan hampir tak pernah dimenangkan
dan atau diperlakukan dengan adil.
Rakyat yang adalah ‘tubuh’
terus-menerus mengalami berbagai bentuk kekerasan, terutama pemerkosaan lewat
dominasi, kontrol dan penguasaan negara baik secara langsung amaupun secara
sistemik. Menciptakan trauma-trauma sosial luas dan dalam, yang pada akhirnya
melahirkan pelaku-pelaku kekerasan individual dan kelompok dari waktu ke waktu.
Tak berlebihan rasanya slogan ‘tolak pemerkosaan’ yang
sering disuarakan di arena-arena aksi, karena dengan menolak pemerkosaan atas
tubuh maka kita paham dan sadar untuk menolak segala bentuk dominasi dan
kontrol negatif atau berlebihan oleh penguasa.
Melawanlah untuk keduanya!
|
http://www.indexmundi.com/blog/wp-content/uploads/2012/12/un-police-reported-rape.jpg |