Barusan saya terlibat percakapan dengan seorang kerabat
jauh. Masih terhitung paman. Kami sudah lama sekali tidak berjumpa. Terakhir
bertemu dengan beliau saya masih kanak-kanak.
Mengetahui umur saya tahun ini menginjak empat puluh tahun,
ia melontarkan komentar yang membuat saya tersenyum geli, “Wah sudah besar ya…”
Dalam hati saya membatin….bukan sekadar sudah besar, tapi
juga sudah separuh baya.
Mungkin juga mengingat umur saya lalu si paman menanyakan
hal-hal yang dalam percakapan sangat saya tidak sukai: menanyakan sudah
berkeluarga atau belum dan berasal dari mana suami saya. Seolah-olah perempuan
seumuran saya wajib sudah berkeluarga dan punya suami. Aduh!
Kebiasaan melekatkan perempuan di usia tertentu pada
keharusan sudah berkeluarga dan bersuami adalah bentuk domestikisasi terhadap
perempuan yang menyebalkan. Alih-alih bertanya pencapaian atau pilihan
eksistensinya, perempuan jarang sekali diberi hak untuk memiliki identitas
pilihannya sendiri. Baru dianggap mahluk sosial beridentitas jelas bila melekat
pada keluarga atau pasangan, dalam hal ini suami.
Perempuan yang mandiri dalam memilih identitasnya masih
dianggap keluar dan mengkhianati kodratnya. Ini pandangan purba yang
mengukuhkan stigma dan kontruksi sosial terhadap perempuan. Perempuan mandiri,
seperti yang pernah dimuat di media sosial Twitter oleh kawan saya Dewi
Chandraningrum adalah ancaman bagi pembawa sistem nilai patriarki. Dianggap
perebut kekuasaan dan pemberontak, yang melewati batas norma. Norma siapa? Norma
bentukan sistem nilai yang sudah tak bisa menjadi pegangan rasional dalam
peradaban yang semakin berkembang.
Perempuan yang mampu mengukuhkan identitasnya dan
mempertahankannya, harus bertarung dengan stigma negatif. Stigma yang
diciptakan oleh mereka yang merasa kedudukan dan keberadaannya terancam. Yang dipupuk
secara terus-menerus dan diupayakan kesuburannya di tengah masyarakat. Dipertahankan
menjadi budaya dengan embel-embel norma yang patut, baik dengan topeng agama,
adat, dan sebagainya agar pembawa dan penyandangnya mudah diterima (baca:
dengan dogma dan doktrin, bahkan mitos dan tahayul).
Ada kejengkelan saya tangkap saya seorang kawan perempuan
lajang hendak mengurus kredit kepemilikan rumah. Ia dimintai paksa persetujuan
dan data suami, padahal stausnya lajang dan itu salah satu syarat mutlak di hampir
semua bank.
Bayangkan saja, bahkan untuk memiliki propertinya sendiri,
dari uangnya sendiri, perempuan harus dirampas identitasnya. Hal ini
menunjukkan bahwa bahkan di dunia bisnis pun perempuan lajang dianggap bukan
pemegang peran ekonomi. Padahal bahkan seorang ibu rumah tangga pun, ia
memiliki peran ekonomi yang penting. Yang harus berhadapan dengan fluktuasi
harga dan kerumitan pengaturan keuangan keluarga tapi yang perannya paling
dianggap kurang penting karena peran domestic dinggap peran mudah dan sepele. Lagi-lagi
identitas perempuan dinggap tak ada.
Sepanjang jaman, perempuan menerima identitas (baca: dipaksa dan dikondisikan) dari orang
lain. Anak siapa, jadi seperti siapa, istri siapa adalah pertanyaan langganan
terhadap perempuan saat melakukan interaksi sosial. Seolah-olah tanpa kehadiran
“siapa”, perempuan tak menjadi dirinya, tak menjadi manusia utuh.
Saya pernah memberi pelajaran pada seorang pekerja media
yang mewawancarai saya untuk profil sebuah majalah. Saat akhir wawancara, si
penanya lebih serius bertanya soal pasangan saya. Berkali-kali menekankan pada
dukungannya pada kerja dan karya saya, seolah-olah itu hal paling penting dalam
perjalanan perjuangan di isu yang saya usung. Klimaks yang membuat saya kesal.
Sambil berkelakar saya mengusulkan padanya untuk menyediakan
waktu khusus mewawancarai pasangan saya bila ia memang sangat ingin tahu.
Karena untuk saya, apa yang sekarang saya jalani dan capai saya bangun dengan
kerja keras yang sebagian besar saya upayakan sendiri, bukan dicapai dengan
sorak sorai macam cheerleader oleh
pasangan saya. Ia hadir setelah saya seperti sekarang ini. Jadi tentu bisa
dibayangkan betapa bete ditanyai soal
tersebut.
Model wawancara profil macam ini juga saya temui di hampir
setiap rubrik profil perempuan lain. Tokoh-tokoh perempuan pemimpin juga tak
luput dari model wawancara seperti itu. Penghujung wawancara selalu menanyakan
hal yang sama: pasangan dan keluarga, dukungan mereka. Tak salah memang, tapi
keseragaman cara berpikir soal eksistensi perempuan yang selalu dilekatkan pada
urusan domestik ini membuat saya eneg.
Tak bisakah perempuan memiliki ruangnya sendiri dalam hal ini?
Mungkin masih sulit diterima nalar sementara orang bahwa
perempuan mampu memiliki identitas dan prestasinyanya sendiri lewat usahanya
sendiri.
Soal identitas ini sebenarnya jadi dilema tak hanya
perempuan. Sesungguhnya laki-laki juga tak kalah tertekan saat identitasnya
dipertanyakan bila ia tak memenuhi perannya seperti yang dituntut sistem nilai
yang mngontruksinya harus manjadi tiang kehidupan dan penghidupan. Laki-laki
dewasa dituntut bekerja di luar rumah dari pagi hingga petang. Laki-laki yang
bekerja di rumah atau mencari nafkah dengan berkegiatan di rumah dianggap tak
lazim. Laki-laki yang mengerjakan pekerjaan domestik sementara pasangannya
bekerja di luar rumah dilemahkan dan diejek. Padahal pekerjaan domestik bukan
pekerjaan gampang. Butuh keterampilan dan sangat melelahkan. Tak beda dari
kerja kantoran, juga butuh berpikir. Bagaimana mengatur segalanya menjadi
seimbang, rapi, bersih dan terpenuhi dengan biaya yang seminim mungkin. Sungguh
tak mudah.
Pada identitas bentukan sosial, laki-laki juga jarang
diperkenankan mengekspresikan emosinya. Laki-laki yang menangis dianggap
cengeng dan feminin, salah satu contohnya. Laki-laki dituntut macho dan jadi penakluk. Harus bisa
beradu fisik dan menjadi pemenang. Identitasnya sebagai laki-laki ditentukan dengan
cara yang keras baik langsung maupun tak langsung.
Oleh sebagian besar feminis, perjuangan menggugat identitas
perempuan dianggap sebagian besar masyarakat sebagai pemberontakan terhadap
laki-laki. Padahal yang dituntut adalah kesetaraan, bukan perebutan kedudukan
dan kekuasaan. Upaya membentuk keseimbangan.
Saya kutip pernyataan Marianna Amiruddin, peminpin redaksi
Jurnal Perempuan di sebuah majalah, bahwa mencapai setara adalah upaya memberi
keseimbangan dalam kehidupan. Lewat dari setara adalah penindasan.
Perempuan yang memperjuangkan identitasnya bukan sedang
menggugat siapa pun yang tak seide dengan dirinya tapi sedang menggugat dirinya
sendiri agar mampu mencapai titik nyaman yang seimbang. Ini upaya menempatkan
dirinya ke kondisi dimana akhirnya selain berguna untuk dirinya juga memberi
guna bagi banyak orang di sekitarnya. Oleh karenanya, sangat penting bagi
perempuan memiliki identitasnya sendiri dan bukan semata yang dibentuk oleh
orang lain. Dan upaya ini adalah soal belajar, bekerja dan berkarya lebih giat
dimana pun, kapan pun dan apapun peran yang dipilih.
Identitas kita bukan pemberian, tapi diusahakan dan dibentuk
oleh kita sendiri.