pagi yang sesiang ini
kata-kata kukumpulkan dalam satu kantong
sebagai talinya
adalah rindu yang terikat kuat-kuat
25 February 2009
23 February 2009
Waktu
I
ketika duka jadi kembang bagi debu yang berjatuhan di tanah pagi iniberapa banyak suka yang lalu meranting bersama jingganya waktu kita
yang kita kemas lekas-lekas menjadi banyak tanya yang tak pernah selesai
terlalu cepatkah
atau terlalu lamatkah
bagi bayang-bayang yang kita mintakan restunya semalam
ia tidak berkata apa-apa selain bayang itu sendiri
kehitaman yang selalu diam-diam tersulam pada kita
melunglaikah waktu?
tidak.
II.
ketika aku merentang jariku luas-luas
bulan tak dapt kugenggam juga
tapi waktu
meski telah kurentang diriku seluas-luasnya
aku tak pernah bisa memelukmu
karena kau hanya bersedia bercumbu
lalu berlalu dan membiarkanku menginginkannya lagi
Duren sawit, 23 februari 2009
10 February 2009
telepon genggam
mengapa kau begitu gundah telepon genggamku?
adakah aku meminggirkanmu untuk hal lain?
atau hanya menggeletakkanmu tanpa memandangimu dengan kagum?
pantaskah kau merajukiku?
menjadi sunyi tanpa kutahu mengapa?
mengancing deringmu rapat-rapat,
mengunci getarmu senyap-senyap,
memelukku dalam lenyap,
mendekapku dalam degup ramai yang demam.
hingga sesiang ini,
meski tampak subuh sesubuh-subuhnya
karena musim belum berganti kemarau kering,
cuma mendung gemuk yang siap hujan hingga ke mata hati dan banjir hingga ke mata kaki,
tetap kau tak bergeming mengantar namanya
agar diriku tak lebam-lebam
harus mengerti ia tak menyimpan angka-angkaku lagi,
atau huruf-hurufku lagi,
atau hatiku lagi,
atau buku puisi penyair yang kukagumi,
atau pesan-pesanku lagi
atau dia lupa bagaimana menarikan jari-jarinya
sebagai ritual yang kuminta bila hendak menalikan perasaannya pada apa yang kurasa lewat suara atau teks pesan singkat.
kau begitu tenang sedangkanku tidak
dalam lima kali duapuluh empat jam kau mengajarku bagaimana merdeka
bagaimana membangkitkan pilihan
mengajarku bahwa hari-hari yang kusebut sulit,
adalah hanya hari-hari biasa,
yang sama-sama kita rapihkan menjadi meja kerja yang menyimpan semua pada tempatnya dan waktunya
sebagai hanya sebuah telepon genggam,
kau tak sekedar hanya,
kau juga adalah sebuah juga.
*jakarta sesiang gelap ini, hari ke sepuluh bulan febuari dua ribu sembilan*
adakah aku meminggirkanmu untuk hal lain?
atau hanya menggeletakkanmu tanpa memandangimu dengan kagum?
pantaskah kau merajukiku?
menjadi sunyi tanpa kutahu mengapa?
mengancing deringmu rapat-rapat,
mengunci getarmu senyap-senyap,
memelukku dalam lenyap,
mendekapku dalam degup ramai yang demam.
hingga sesiang ini,
meski tampak subuh sesubuh-subuhnya
karena musim belum berganti kemarau kering,
cuma mendung gemuk yang siap hujan hingga ke mata hati dan banjir hingga ke mata kaki,
tetap kau tak bergeming mengantar namanya
agar diriku tak lebam-lebam
harus mengerti ia tak menyimpan angka-angkaku lagi,
atau huruf-hurufku lagi,
atau hatiku lagi,
atau buku puisi penyair yang kukagumi,
atau pesan-pesanku lagi
atau dia lupa bagaimana menarikan jari-jarinya
sebagai ritual yang kuminta bila hendak menalikan perasaannya pada apa yang kurasa lewat suara atau teks pesan singkat.
kau begitu tenang sedangkanku tidak
dalam lima kali duapuluh empat jam kau mengajarku bagaimana merdeka
bagaimana membangkitkan pilihan
mengajarku bahwa hari-hari yang kusebut sulit,
adalah hanya hari-hari biasa,
yang sama-sama kita rapihkan menjadi meja kerja yang menyimpan semua pada tempatnya dan waktunya
sebagai hanya sebuah telepon genggam,
kau tak sekedar hanya,
kau juga adalah sebuah juga.
*jakarta sesiang gelap ini, hari ke sepuluh bulan febuari dua ribu sembilan*
Subscribe to:
Posts (Atom)