I'm a child sexual abused survivor. It was happened when I was almost 5 by a young adult male neighbor. I told what happened to my mom but she didn't believe it. It broke my heart and I promised I won't ever share same story to anyone anymore until it happened again for 3 years by my own grandma when I was 8 to 11. She did 'fingering' for almost every week. From there, I was never be the same...
I kept those traumas for more than 30 years. Never realize that those traumas damaged almost all my life.
I fell into many date rape for wrong thought that love came from sexual activities I could provide. I thought I could get my bias true love valuing & seeking by 'providing' sex while I 'carry' this trust issue as the most important symptom of my trauma. Some saddest things happened during I carrying “the ghost of traumas”, got divorced twice with harmful domestic violence experience at the second marriage also pushed me into more worse tragedies. I fell into many self hurting actions including tried to do twice suicides by consuming more than 20 sleeping pills! Last thing I know I was ended in an intensive care unit of a local hospital. What dark times of blood and tears.....
LUCKY I'm blessed with 2 amazing daughters from those marriages. Now they are 18 and 12. These wonderful kids made me believe that I have to get my life back.
I realize I have to stand up and speak up for my own good and of course my kids shake. In 2006, during my last divorced process I decided to see a psychiatrist to start a medical therapy and was diagnosed with PTSD (at the beginning I was even diagnosed with bipolar until I told her my story & she noticed my progress). I kept my medical treatment and ended up with joined a support group. Sharing my story there makes me even stronger time to time. From 2009 I started my own sweet revenge by doing anti-sexual abuse and women's rights campaigns trough poetry books I wrote and studying like a 'hungry' college student about human right, women's right, gender base violations and actively involve in many public lectures, discussions, seminars, some public dialog etc. every time, everywhere I can reach because I was so poor at that time after the second marriage. I couldn't even pay my kids school fee and we lived in very sad condition BUT we studied hard with our own way at that time until some friends and connection who noticed our struggle and know my story offer some chances to have jobs contracts to do some works in local and international organizations as on call part time worker to let me learn a lot and also let me and my kids live in, well not rich but enough.
Time goes by, and it's like a dream that now I'm standing at many podiums for seminars, public dialog, discussions and public lectures not as a hungry student who gave questions but as a public speaker, mass-media interviews and talk shows (local & international medias: TV, online news media, newspapers, magazines & radios) and even as a guess lecture, focusing on sexual abuse issue and gender based violations history related to gender equality.
I also assist and set up a support group for survivors of sexual violence and a research working group for anti political rights rapes campaigns once. Actively involved in strong rallies those against violence, also keep writing poetry & short stories. A very good release when I'm attacked by my trauma symptoms those can be there every time I fall into depression, and It can come again and again. I realize that sexual abuse healing process is a lifetime process and I won't ever deny that I'm still a learner who keep my fight for my own good and for others who I believe can get out from their violations conditions. HOPE makes everything possible. We never fail until we leave our fights.
Djoernal Helga
Catatan-catatan Helga Worotitjan
06 June 2017
01 June 2017
P E D O F I L
Apa
yang setiap orang tua perlu tahu tentang pedofil:
Anda
telah membaca banyak berita kekerasan seksual terhadap anak-anak Masalahnya di sini adalah bahwa kita tidak
dapat benar-benar tahu siapa yang mungkin menjadi predator.
Definisi
Hukum :
Pedofilia: obsesi terhadap anak-anak sebagai objek
seks. Tindakannya termasuk mengambil gambar dan merekam aktifitas seksual (bersama)
anak, menganiaya secara seksual dan memperlihatkan alat kelamin.
Para
pedofil bisa siapa saja - tua atau muda , kaya atau miskin , berpendidikan atau
tidak berpendidikan , non - profesional atau profesional, dan ras apapun.
Namun,
pedofil sering menunjukkan karakteristik yang sama , tetapi ini hanyalah
indikator dan tidak boleh diasumsikan bahwa individu dengan karakteristik ini
adalah pedofil .
Pengetahuan tentang karakteristik ini ditambah dengan uraian perilaku khususnya
dapat digunakan sebagai peringatan bahwa seseorang mungkin seorang pedofil .
Penyidik
kejahatan mandiri, Charles Montaldo menyusun informasi berikut:
Karakteristik
Pedofil:
- Seringkali pedofil adalah laki-laki
dan lebih dari 30 tahun .
- Lajang dan hanya memiliki sedikit teman
dalam kelompok usianya .
- Jika menikah pun, hubungan dengan
pasangannya lebih sebagai "pendamping " dan tanpa hubungan seksual.
- Sering berpindah kerja atau beralih
profesi akibat diberhentikan karena catatn ksering meminta ijin atau bolos
dengan alasan tidak jelas. Seringnya berpindah tempat kerja ini juga sangat
mungkin karena perbuatan kriminal yang telah diketahui atau pernah ditetapkan
sebagai tersangka.
Pedofil
berperilaku dan berktifitas seperti anak-anak:
- Ia lebih tertarik beraktifitas dan
bermain dengan anak-anak dibanding dengan teman dewasanya
- Dia akan selalu mengambarkan anak-anak
sebagai sosok polos dan tak mungkin berbuat salah, sosok surgawi, sosok ilahi, sangat
murni dan suci, dan gambaran lain yang tidak tepat dan berlebihan.
- Dia memiliki hobi yang seperti anak kecil
seperti mengumpulkan mainanan terbaru yang sedang tren, memelihara reptil atau
hewan peliharaan eksotis, atau koleksi pesawat-pesawatan, mobil-mobilan dan
sebagainya.
Pedofil
lebih cenderung suka pada anak-anak yang memasuki/menjelang masa pubertas:
- Target para pedofil sering pada anak usia
tertentu. Beberapa lebih suka anak-anak berusia lebih muda, beberapa lebih tua.
- Seringkali di lingkungannya, ia
memiliki ruang khusus yang didekorasi menarik seperti kesukaan anak-anak target
mangsa, dan ini diharapkan akan menarik perhatian calon korban yang usianya
memang usia membutuhkan perhatian atau senang mencari perhatian.
- Banyak pedofil biasanya lebih memilih
anak-anak dekat berusia menjelang pubertas tapi tidak berpengalaman secara seksual, namun ingin tahu tentang seks.
Para
pedofil bekerja di lingkungan sekitar anak-anak :
Pedofil
akan sering memilih profesi atau dalam posisi yang melibatkan kontak sering
dengan anak-anak. Jika tidak bekerja formal, ia akan menempatkan dirinya dalam
posisi untuk melakukan pekerjaan sukarela dengan anak-anak, seringkali dalam
kapasitas yang gerak mengamati lebih leluasa seperti pelatih/instruktur
olahraga atau guru les (posisi dipercaya baik anak maupun orang tua) atau
posisi di mana ia memiliki kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan anak
tanpa pengawasan .
Sasaran
para pedofil:
Anak-anak
yang cenderung pemalu, cacat, dan anak-anak yang suka menyendiri, atau mereka
yang datang dari keluarga bermasalah atau dari penampungan khusus. Pedofil akan
menghujani mereka dengan perhatian, hadiah, mengajak anak-anak ke tempat-tempat
yang diinginkan seperti taman hiburan, kebun binatang, konser idola, pantai dan
tempat-tempat lain seperti itu .
Pedofil
memanfaatkan kepolosan anak:
Para
pedofil terampil manipulasi dan menerapkan kemampuan manipulatif
itu terhadap anak-anak bermasalah dengan
terlebih dahulu menjadi teman mereka. Pedofil membangun harga diri anak dengan
memberi kebutuhan jiwanya. Mereka bisa mampu dan matang menjadi sangat menarik dengan
memenuhi kebutuhan anak untuk didengar dan dipahami. Ini diperlukan untuk
membangun kepercayaan anak target korban. Selanjutnya melibatkan anak-anak ke
interaksi bernuansa seksual seperti mengajak menonton bersama film porno atau
melihat-lihat gambar porno, memegang-megang anggota badan korban atau meminta
korban memegang anggota badan si pedofil, dan lain-lain. Mereka juga berani menawarkan
dan membujuk korban mengonsumsi alkohol atau obat-obatan untuk menghambat
kemampuan anak-anak untuk melawan dan mengingat peristiwa yang terjadi
Stockholm
Syndrome :
Bukan
hal yang wajar bagi anak-anak untuk menumbuhkan perasaan pada predatornya dan
tunduk terhadap hasrat pemangsa, serta menerima perlakuan pemangsanya terus-menerus.
Anak-anak yang dalam cengkraman pemangsanya mengembangkan penilaian tidak tepat
tentang baik dan buruk. Banyak dari mereka membenarkan perilaku buruk penjahat,
bersimpati dan menjadi sangat menguntungkan pemangsanya. Hal ini sering
dibandingkan dengan Stockholm Syndrome – suatu gejala kejiwaan ketika korban
menjadi melekat secara emosional kepada penculik mereka .
Orang
tua tunggal:
Pada
banyak kasus, pedofil mendekati para orang tua tunggal dalam rangka untuk
mendekati anak-anak mereka . Begitu berada di lingkar dalam, mereka memiliki
banyak kesempatan untuk memanipulasi anak - menggunakan rasa bersalah, takut,
dan cinta untuk membingungkan anak. Jika orang tua anak bekerja, pedofil jadi
memiliki waktu pribadi yang dibutuhkan untuk mendekati dan memanfaatkan anak.
Berjuang
Kembali :
Para
pedofil bekerja keras mengintai target mereka dan dengan sabar melakukan segala
hal untuk mengembangkan hubungan dengan anak-anak. Biasanya, pedofil tidak
melakukan tindakan tercelanya pada banyak korban dalam waktu dekat. Banyak dari
mereka percaya bahwa apa yang mereka lakukan tidak salah dan bahwa berhubungan
seks dengan seorang anak sebenarnya "sehat" bagi si anak .
Hampir
semua pedofil memiliki koleksi berkonten pornografi yang mereka sembunyikan
dengan segala cara. Banyak dari mereka juga mengumpulkan "souvenir"
dari para korban. Mereka jarang membuang koleksi mereka untuk alasan apapun .
Salah
satu faktor yang bisa melawan pedofila adalah bahwa pada akhirnya anak-anak
akan bertumbuh dan mengingat peristiwa yang terjadi . Seringkali pedofil tidak
dibawa ke proses hukum hingga membuat korban marah karenanya dan ingin
melindungi anak-anak lain dari konsekuensi yang sama. Ini bentuk perlawanan
yang paling umum pada para penyintas.
05 May 2017
Masa Kanak-kanak yang Hilang: Testimoni Lengkap
Saya sangat
suka karakter Boo, peran gadis mungil dalam film animasi Monster Inc. Mata
besar polos dangan tawa renyah menggemaskan. Berlarian ke sana kemari dengan
baju monster yang kebesaran. Lucu sekali. Tapi setiap kali saya membayangkan
kegembiraan Boo, setiap kali pula saya merasa pilu, merasa seperti ditarik ke
lubang yang dalam, kembali ke puluhan tahun yang lalu saat dimana saya
seharusnya menikmati masa kanak-kanak yang gembira bukan secara bergantian
mengalami berbagai kekerasan yang yang hanya menyakiti fisik, psikis….juga
menyakiti kenangan dan mencuri seluruh masa kanak-kanak yang
hanya akan saya lewati sekali.
Dicabuli oleh tetangga sebelah rumah di umur belum genap 5 tahun, tiga
tahun setelahnya, secara memalukan dicabuli oleh nenek kandung selama tiga
tahun berturut-turut, serta siksaan dan kekerasan fisik hingga menjelang usia
remaja. Pengalaman-pengalaman mengerikan ini membawa saya menuju dewasa dengan
terseok-seok, kadang merangkak dengan luka dan jiwa berwarna merah darah, yang
sewaktu-waktu rentan menjadi obyek kekerasan berikutnya tanpa pernah saya
sadari.
Saat
kekerasan seksual terjadi pada seorang anak, masa kanak-kanaknya hilang,
digantikan sebuah lubang hitam besar yang akan didiaminya hingga dewasa, tempat
ia merasa di sanalah ia pantas berada, tempat saya pernah merasa demikian,
hingga hampir seumur hidup membiarkan hidup dikuasai orang-orang yang hanya
ingin mengambil keuntungan dari kerentanan saya. Bila ini menimbulkan
pertanyaan di benak Anda….. Ya benar, saya mengalami banyak pengalaman seksual
yang tidak saya kehendaki bahkan pemerkosaan kembali saat berumur 24 tahun oleh seorang penyanyi terkenal gaek yang konsernya sedang saya ikut
garap bersama-sama dengan biro pemuda sebuah organisasi persekutuan gereja
nasional. Sekali lagi, saya dilemparkan ke lubang gelap itu lebih dalam.
Pict from: http://th07.deviantart.net/fs70/PRE/i/2011/335/e/b/sad_little_girl_by_aithneart-d4hutyn.jpg |
Saya
mengalami trauma kekerasan berlapis yang tak pernah ditangani hingga saya
berusia sekitar 33 tahun, di tahun 2006. Saat
itu saya sedang menghadapi perpisahan karena pasangan yang tak setia dan selalu
membohongi saya seumur pernikahan kami. Itu pun saya mulai bukan berangkat dari
memahami trauma yang saya bawa melainkan mengobati efek trauma yang ada dan
kritikal, yang membuat kepribadian saya bipolar dan membahayakan diri saya
karena terus berpikir saya ini tak berguna, tak layak untuk meneruskan hidup
yang sangat kejam dan lebih baik mati saja. Sayangnya terapi yang dilakukan di
sebuah rumah sakit di kota Bontang saat itu diwarnai nuansa mal-praktek mengingat
ada pemberian obat-obat psikiatri berbahaya yang tak melalui konsultasi
langsung dengan saya tapi melalui pasangan saya yang tentu memberi keterangan
tak akurat untuk menutupi perseligkuhannya saat itu. Akibat obat-pbatan itu saya
terus berada dalam kondisi setengah sadar, malah memperburuk efek trauma yang
ada.
Pindah berobat
ke Jakarta, membuat saya jauh lebih pulih dan mulai memikirkan langkah hidup
selanjutnya dengan lebih baik dan jernih. Meski harus memulai semuanya dalam
keadaan sangat memprihatinkan, saat dimana saya tak mampu menyekolahkan anak dan
sempat mengalami makan satu bungkus mie instan dengan nasi bertiga dengan
anak-anak saya. Namun demikian, saya merasa merdeka dan terbebas dari marabahaya dan berbagai tekanan. Proses belajar sesungguhnya saya mulai dari titik itu. Saya belajar
lebih banyak tentang isu kekerasan seksual dan isu lain yang berkaitan dengan
giat. Mempelajari bagaimana trauma timbul, efek-efek dan berbagai kemungkinan
terapi yang tepat. Bergabung dengan grup dukungan dan memecah kebisuan atas
kisah yang selama ini saya simpan rapat-rapat untuk sebuah perjuangan yang akan
saya terus lakukan hingga nanti. Bergiat dan bekerja keras demi sebuah mimpi,
jangan ada lagi anak-anak yang kehilangan masa kecilnya dan harus tinggal dalam
lubang lara seumur hidup mereka.
Saya tidak
akan pernah melupakan apa yang telah terjadi. Kadang, dalam keadaan sangat tertekan
dan saat sangat bersedih, efek trauma masih saya alami dan sangat menyiksa. Tapi
saya sudah bisa menerima seluruh pengalaman itu sebagai bagian dari hidup
saya, tak menyangkalinya, berjuang merebut hidup saya kembali, dan berlatih giat mengontrol efek
trauma saat terpapar. Meski demikian saya sadar, saya tak akan pernah bisa
mengembalikan masa kanak-kanak yang hilang, dan untuk itu saya masih menitikkan
airmata.
24 April 2017
Perkawinan Militer-Fasis Agama, Kekerasan Seksual Sebagai Pesan Politik, Dan Grand Design ala Amrik
Dalam percakapan pagi
ini, seorang kawan mengutip satu kalimat menarik dari sebuah film. Percakapan antara
komandan dan prajurit: “…setinggi-tingginya karir militer, kita ini akhirnya hanyalah
satpam (baca: CENTENG) perusahaan (baca: para kapitalis)”.
------------------
Belakangan ini kita dihebohkan dengan hasil pilkada DKI yang
merobek banyak pertalian. Anyir politisasi agama dan bangkitnya kaum radikal
agama, tiba-tiba menjadi begitu masif dan menakutkan. Korban sudah berjatuhan
dan sayangnya lebih dianggap sebagai bagian dari dinamika politik. Kita meremehkan
para perempuan yang menangisi kekalahan simbol perlawanan. Perempuan, kaum yang paling ditindas dan dipinggirkan kehadirannya dalam kontestasi politik
yang menghasilkan konflik horizontal serius, dan pasti akan berkepanjangan. Bentuk
penindasan dan kekerasan terhadap perempuan yang paling sadis dan menakutkan dalam
konflik akibat kontestasi politik adalah, kekerasan seksual dalam berbagai
bentuk. Mulai dari pelecehan hingga pembunuhan. Di berbagai belahan dunia,
kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan, adalah senjata ampuh yang dipakai
mereka yang berperang, atau beradu secara politis untuk menundukkan lawan. Menguasai
tubuh perempuan adalah tonggak kemenangan. Mengoyak-ngoyak tubuh perempuan
adalah penghancuran harkat dan martabat lawan. Pesan politik kejam kepada
siapapun, yang dianggap berani melawan.
Kesaksian banyak penyintas dari seluruh belahan dunia,
kekerasan seksual dalam konflik dan kontestasi politik, umumnya dilakukan oleh
para fasis; kelompok-kelompok dengan basis militer, kelompok-kelompok radikal berbasis
agama, dan kelompok-kelompok fasis lain. Baik dalam bentuk intimidasi atau
ancaman maupun serangan langsung. Atas nama Tuhan yang marah versi para
hipokrit atau patriotisme versi para militer.
Penyerangan seksual yang dilakukan pun memuat pesan-pesan
pembersihan baik etnis, agama, maupun lawan ideologis lainnya. Kita sebut saja
penculikan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh ISIS di Timur Tengah dan Afrika
Utara, Boko Haram di Nigeria, dan Lord Resistance Army (kelompok radikal
Kristen) di Uganda. Ini tiga kelompok yang berdasarkan kisah-kisah para penyintas
dan pengerja kemanusiaan, sangat parah melakukan penyerangan seksual sebagai pesan politik.
Tak jarang mereka melakukan penyiksaan seksual seperti yang biasa dilakukan
umumnya oleh kelompok-kelompok radikalis kejam, yakni dengan memotong puting susu
dan membunuh perempuan hamil, atau memperkosa korban dengan benda keras setelah
memperkosanya ramai-ramai. Femisida, demikian penindasan dan penundukkan yang
disertai kekejaman ini lahir. Kengerian global yang terjadi dalam situasi
konflik, apalagi dengan makin bangkitnya kekuatan kanan di hamper seluruh
dunia.
Dalam konteks Indonesia, kekerasan seksual sebagai senjata
penundukkan dan pesan politik sadis telah dilakukan sejak peristiwa G30S 1965
kepada kelompok perempuan progresif dan kerusuhan Mei 1998 pada etnis Tionghoa.
Dua kelompok perempuan simbol perlawanan sekaligus simbol kerentanan. Dua
kelompok perempuan ini merupakan sasaran utama mereka yang merasa insecure
perannya disaingi. Peran ekonomi dan peran sosial. Penyiksaan dan penyerangan
seksual dilakukan pada mereka untuk memberi pesan politik pada lawan: inilah
yang terjadi atas nama kecemburuan sosial, bila berani berdiri di atas kebenaran,
dan berani melawan oligarki.
Yang paling anyar adalah maraknya ancaman pemerkosaan di
masa pilkada DKI Jakarta yang lalu. Para pelaku jelas melihat model intimidasi
di peristiwa sebelumnya, yakni kerusuhan Mei 1998. Bedanya, penyerangan lebih
banyak dilakukan lewat media sosial. Bentuk intimidasi seperti itu menymbang efek
berantai jangka panjang berupa rasa takut dan banyaknya perempuan yang menarik
diri dari keterlibatannya secara politik, dalam hal ini memilih. Ini
keberhasilan politisasi agama paling fantastis yang pernah terjadi di
Indonesia.
Allan Nairn, seorang jurnalis investigasi asal Amerika
Serikat, mengungkap keterlibatan Amerika Serikat (US) dalam kepelikkan usaha
makar terhadap Peresiden Jokowi lewat dibangkitkannya gelombang umat yang
dikondisikan marah, dan terlibatnya beberapa mantan jendral angkatan darat
dalam upaya itu. Sebuah “perkawinan” sempurna untuk kepentingan perebutan
kekuasaan dari pemimpin yang berusaha progresif, yang sangat mengganggu kepentingan
para kapitalis raksasa dan kepentingan US atas seluruh investasi eksploitasi
sumber daya alamnya di Indonesia, khususnya Freeport di Papua. Khusus soal Freeport, kalau saya tidak salah membaca, disebutkan ini ada kaitannya dengan tragedi 1965, ketika Presiden Sukarno dengan berani, menetapkan syarat pembagian yang dianggap merugikan US. Dan sssst.....jangan lupa pembunuhan Presiden US, John F. Kennedy, yang sepakat dengan
argumentasi Sukarno soal Freeport saat itu.
Rupanya banyak kepentingan
kapitalis yang sangat besar bermain-main dangan kekuasaan rakus di US saat itu.
Maka dalam berbagai literatur diungkap skenario kup para jendral yang dijadikan momentum pemberontakan tahun 1965. Tragedi yang mengorbankan
jutaan jiwa di seluruh Indonesia. Upaya perebutan kekuasaan demi penguasaan sumber daya alam Indonesia khususnya emas di Papua, sekaligus hegemoni,
peletakkan cara pikir dan sikap anti komunis yang hanya akal-akalan. Ditanam dan ditancapkan dalam pikiran bangsa ini dan kelak kerap dipakai sebagai senjata oligarki melawan mereka yang bersikap dan bersuara soal ketidakadilan, kejahatan
sistemik oleh negara, dan penindasan para fasis.
Terlepas kesalahan besar Allan Nairn pernah membocorkan
identitas nara sumber pentingnya, sehingga reputasinya dipertanyakan. Apa yang
disampaikan Allan Nairn, sudah didiskusikan dan ditulis belakangan ini sebagai
kajian mengapa gerakan radikal bangkit dengan begitu masif dan garang. Diskusi dan
peluncuran majalah Yayasan Bhinneka tahun 2016 di Komnas Perempuan juga pernah
membahas hal ini jauh sebelum Allan Nairn merilis pernyataannya tersebut. Sungguh menjengkelkan ketika militer menyatakan akan menggugat Tirto.id yang
menurunkan laporan terjemahan hasil investigasi Allan Nairn. Nampak seperti
pihak yang paling tersinggung, yang diglorifikasi beberapa pihak dengan
menyerang reputasi Allan Nairn. Bercampur jealousy kapitalis media mainstream besar? Entahlah….
Disebut-sebut pula, eskalasi sosial akibat politisasi agama ini direncanakan
para petinggi militer, dalam hal ini, para mantan jendral yang diduga terlibat
bisnis atau menjadi “centeng” para kapitalis. Sangat masuk akal. Sebagai perempuan
asal Pulau Kalimantan, yang kaya aneka tambang dan hutan, sejak remaja
saya tak asing mendengar gosip tambang ini atau perkebunan itu dibekingi
militer.
Pada penangkapan
menjelang aksi 212 tahun lalu, dalam daftar aparat penegak hukum, ada mantan
jendral yang sangat kencang meneriakkan dan membangkitkan isu PKI. Di sini saya
ajak pembaca sudi sedikit sibuk untuk menarik benang merah uraian saya di atas
soal 1965 dan Freeport. Dugaan percobaan makar oleh mantan jendral ini tertuang
dalam ujarannya yang dianggap provokatif. Ini bukan menuduh yang
bersangkutan membekingi salah satu kapitalis. Ini adalah gambaran, bahwa ada saja pihak-pihak atau kelompok yang sangat berkaitan dengan militer Indonesia,berada dalam pusaran
kepentingan negara asing yang sedang merampok kekayaan alam Indonesia; saat ini sedang terganggu
kepentingannya, lalu dengan “cara yang ajaib” menunggangi isu agama untuk
menyerang para pemimpin bangsa yang sedang berusaha mengembalikan kekayaan negeri ini untuk
kemaslahatan rakyat dan memperbaiki sikap mental bangsa yang lama dijajah cara
berpikir orde baru.
Kembali ke masalah kekerasan seksual sebagai senjata konflik
politik. Seluruh ganbaran besar di atas, dan bangkitnya hantu orde baru lewat
politisasi agama, akan menjadi model perebutan kekuasaan dalam berbagai
kontestasi politik di masa yang akan datang. Termasuk di dalamnya provokasi penyerangan
seksual pada para perempuan, khususnya perempuan yang menjadi simbol minoritas
namun kuat dalam peran ekonomi, maupun para perempuan dalam gerakan sosial yang berlawan.
Cara-cara yang kita lihat di pilkada DKI Jakarta yang lalu, hingga pemilihan presiden
2019, kuat dugaan saya, akan menjadi patokan bergerak kelompok manapun yang
diperalat menjadi tanduk politik para kapitalis yang memiliki kepentingan
merampok. Dalam hal ini termasuk para kapitalis rakus asing yang dilindungi
oleh negaranya yang tentu ikut diuntungkan.
Akankah kita diam dan menjadi bagian yang hanya menonton? Bagi
saya, hanya menonton adalah hal paling jahat yang akan menjadi gugatan anak
cucu kita kelak. Sudah sumber alamnya dikuras tak bersisa, hutannya dibuat gundul, sampai warisan hukum-hukum yang akan memenjarakan hak asasi mereka.
Diamnya orang baik, adalah kontribusi besar kejahatan
tetap berlangsung. Mulailah berpikir kritis, bersikap tegas terhadap penindasan,
dan bergerak nyata melawan segala bentuk kekerasan yang sedang berlangsung ini. Utamanya, kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan lain.
Sebaik-baiknya dan semulia-mulianya perlawanan, adalah melawan
penindasan oleh mereka yang terlibat dalam perebutan kekuasaan, dengan menggunakan
politisasi Tuhan dan agama. Semilitan apapun rakyat membelanya, rakyat yang
sama jugalah yang paling akan dikorbankan ketika chaos terjadi.
Ibu Pertiwi butuh lebih banyak pejuang untung mempertahankan
negeri ini dari tangan para penindas. Mereka yang punya senjata dan punya
massa. Mereka yang lahir dari rahim demokrasi pasca reformasi, tapi lalu menindas hak
orang lain berdemokrasi. Bahkan tega menggunakan cara-cara terkutuk untuk
meminggirkan yang melawannya. Cara yang bagi umat beragama justru diajarkan
untuk dijauhi. Cara yang bukan memberi keberkahan pada semesta dan kebaikan
pada sesama manusia.
Hentikan menggunakan kekerasan terhadap perempuan sebagai
senjata konflik dan intimidasi dalam kontestasi politik. Mari sama-sama melawan!
Helga Worotitjan:
Penyintas kekerasan berbasis gender, ibu tunggal dua remaja, tukang masak yang
antusias, dan penyair yang malas mengetik di laptop.
16 April 2017
Cerpen: P U L A N G
Dimuat di Jurnal Perempuan No.71 edisi RAPE. Didedikasikan untuk Lentera Indonesia, para survivors, dan para perempuan yang dengan teguh melawan berbagai bentuk kekerasan lintas latar belakang. Memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 25 November 2011.
----------------
Ekklesia berdiri gamang di depan pintu bercat oranye cerah. Keberaniannya melangkah melalui pintu itu tiba-tiba lenyap. Seketika hatinya mengerdil dan menggigil. Unntuk pertama kalinya ia merasa gentar pada sebuah pintu.
“Kemana pintu ini akan membawaku ?” Sebuah suara dalam kepalanya terus menanyakan hal yang sama sejak 34 menit yang lalu.
-----------------
Semua bermula dari keaktifannya di jejaring sosial. Ekel, demikian teman-temannya memanggil, percaya bahwa apa yang dilakukannya secara terus-menerus dengan hanya berkonsemtrasi pada isu yang sama akan berbuah suatu saat.
“Kel, posting-postinganmu tak ada artinya kalo kau tak mewujud diri dalam gerakan nyata yang lebih aktif...” Dimas, laki-laki batak bernama Jawa, karib Ekel berujar.
“Ah, masak suatu isu terus-menerus dibuzzing dlam jangka waktu yang panjang tak akan menarik perhatian orang, aku percaya suatu saat berbuah Dim !” Ekel membantah. Untuknya pernyataan-pernyataan pesimis siapa pun tak pernah dianggap penghalang perjuangannya menyuarakan kekerasan seksual yang dialaminya puluhan tahun lewat agar tak terjadi lagi pada perempuan dan anak-anak lain. “ Tapi aku sudah mulai bergerak sejak setahun lalu loh Dim ! Kalo gak ada penyintas yang berisik soal ini gak akan ada orang yang akan benar-benar peduli.”
“Iya sih Kel, tapi mbok inget-inget kondisi, kamu bisa mati mendadak kalo ngoyo begitu. Anak-anakmu masih kecil... ” Kata Dimas lirih.
Ekel menatap Dimas iba. Sahabatnya ini berkali-kali mengingatkannya soal kondisi kesehatannya. Ekel lahir dengan klep jantung bocor. Lalu keruntuhan rumah tangganya 6 tahun silam membuat Ekel sempat terapi dengan obat-obat penenang yang harus dibayarnya mahal, ginjal kirinya sempat bengkak dan kini tak berfungsi baik.
Ekel meraih Dimas dan memeluknya, “I'll be okay Dim....I promise you, I'll be okay...”
“Pastikan kamu memenuhi janjimu Kel. Aku kehilangan orang-orang yang kusayangi baru 2 tahun lewat. Tak mampu kehilangan seorang lagi. I do care about you Ekel.” Di pundak Ekel Dimas membenamkan matanya yang mulai digantungi genangan bening.
Ekel menemukan Purple Lantern, sebuah grup dukungan untuk para penyintas kekerasan seksual dari sebuah media sosial. Ia tak pernah menemukan model pelayanan dukungan seperti ini sebelumnya dimana pun. Ia hanya menemukan model layanan seperti ini di film-film barat yang pernah ditontonnya. Ada grup dukungan untuk pecandu alkohol dan pecandu belanja, sejauh ini, itu yang Ekel tahu. Itu pun lewat film fiksi.
Ia bersyukur karena menemukan grup ini di tengah kecanduannya berinteraksi dan beraktifitas lewat media sosial. Ekel merasa menemukan jalan pulang.
Setelah bergulat dengan dirinya sendiri, Ekel memutuskan datang ke pertemuan tertutup. Ia mendorong pintu oranye cerah di hadapannya perlahan. Langsung menemukan lorong bercat putih persis seperti yang disampaikan perempuan yang memberi arahan lewat telepon 40 menit lalu. Setelah sekitar 3 meter, Ekel menaiki tangga di sisi kiri lorong, sesuai arahan.
Lantai 2 tempat itu tak begitu luas, namun cat putih bersih mebuatnya terlihat lebih luas dan bersih. 4 perempuan duduk santai di atas lantai dengan cemilan-cemilan kecil, sekotak tisu dan 6 gelas es teh di gelas cukup besar.
Tak banyak yang dibicarakan mereka malam itu. Tak ada juga yang berbagi cerita malam itu. Semua malah beramai-ramai membahas soal perkosaan yang baru dialami bayi berusia 8 bulan di sebuah dusun nelayan di selatan Pulau Sulawesi.
Semua, termasuk Ekel bicara emosional soal itu. Ekel yang biasa selalu waspada dan menjaga jarak saat bertemu dengan orang-orang yang baru ia kenal, tanpa sadar lebur tak berjarak.
Beruntung grup ini tak mewajibkan penyintas yang baru datang untuk langsung bercerita pengalaman buruknya. Psikolog pemimpin grup dukungan ini memahami bahwa ia tak mungkin memaksa penyintas langsung bisa menceritakan pengalaman yang pasti telah terikat erat dalam sejarah mereka dan menjadi bekas luka yang mereka bawa seumur hidup.
Di pertemuan ke-3 baru Ekel mampu menceritakan pengalamannya. Mimiknya datar tanpa kesedihan saat menceritakan kejadian yang disimpannya rapat-rapat lebih dari 30 tahun itu. Ekel tak tahu harus merasa apa saat ia berhasil menceritakannya, namun sepulang dari pertemuan rutin penyintas itu, Ekel diserang efek psikosomatik yang cukup hebat.
Ia tak mampu makan dan tidur malam berhari-hari, bobotnya tubuhnya merosot hingga 9 kilogram. Ia bahkan sempat pingsan saat mengambil laporan tengah semester anak sulungnya. Ibu tunggal 2 anak perempuan ini seperti baru merasa mengalaminya sekali lagi. Keringat dingin selalu mengucur deras bahkan saat ia sedang tidak melakukan apa-apa.
“Ekel, kamu bisa mati kalo terus tak makan seperti itu”, suara Dimas di telepon bergetar.
“Iya Dim, aku janji akan makan sesuatu...” Ekel bicara tak kalah gemetar.
“Penuhilah janjimu Kel...” Kata Dimas sebelum menutup teleponnya. Selalu dengan permintaan yang sama.
Dan demi anak-anak dan sahabat yang selalu ada kapan pun Ekel membutuhkan mereka, Ekel mulai makan dan mengonsumsi vitamin-vitamin yang dianggapnya perlu. Kondisi Ekel membaik. Ia mampu melewati masa ber-konfrontasi dengan pengalaman pahitnya dengan cukup baik.
Di pertemuan ke-10 tangis Ekel baru pecah.
“Selama ini saya nggak bisa menangis. Diperkosa saat saya masih begitu kecil dan berulang 3 tahun sesudahnya menciptakan lubang besar dan dalam dalam hati saya.... Demikian juga saat saya harus bercerai berkali-kali. Trauma-truma itu memperdalam lubang itu. Setiap kali saya menangis, air mata saya tak pernah mencapai mata. Air-air mata itu deras mengalir ke dalam lubang itu.....tak pernah mencapai mata saya. Tapi saya selalu tahu, saya punya lubang yang begitu dalam di hati saya...... Sekarang saya bisa menangis karena saudari-saudara saya di sini sudah mengisi lubang itu.” Demikian Ekel berterima kasih pada grup dukungannya sambil terisak.
Waktu berlalu cepat, tak terasa setahun sudah Ekel bergabung di Purple Lantern. Ekel memutuskan melanjutkan hidupnya dan mengabdi untuk grup dukungan yang telah memberinya jalan pulang. Bergiat menjadi pendamping banyak penyintas dan korban kekerasan seksual membuat Ekel menjadi lebih fokus. Ia bahkan mulai berani menjalin pertalian asmara dengan seorang dokter kandungan yang dulu pernah menolong kelahiran anak keduanya. Laki-laki bernama Soelaiman. Bahu-membahu Iman, demikian Ekel memanggilnya, membantu kegiatan Ekel dan kelompoknya. Bertiga dengan Dimas yang selalu menjadi sahabat terbaik Ekel, mereka juga mendampingi dan memberikan konseling gratis pada penghuni sebuah panti di tengah daerah kumuh di bilangan Jakarta Utara. Panti itu juga rumah perlindungan rahasia bagi beberapa korban kekerasan seksual.
Ekel tetap tekun hadir di setiap pertemuan para penyintas. Ia merasa, proses pemulihan adalah proses seumur hidup. Ia perlu terus bersama dalam lingkaran kekuatan bersama penyintas lain. Lingkaran yang disebutnya rumah baru. Ia bersyukur untuk jalan pulang yang pernah dipilihnya lewat grup dukungan itu.
Siang itu mendung gelap menggantung di atas panti. Hari Selasa kali ini Dimas tak menemani jadwal kunjungannya ke panti. Tidak juga Iman, namun Iman yang hari intu bertugas di Rumah Sakit Tarakan berjanji akan menjemput Ekel selepas tugas pendampingan. Ekel tak khawatir dengan anak sulungnya hari itu karena kali ini ia tak lupa meninggalkan uang jajan dan ojek untuk anak sulungnya yang memang masuk siang. Biasamya Ekel lupa dan malamnya saat pulang, disambut omelan panjang si kakak.
“Sun shine !” Iman membuyarkan kantuk Ekel yang sedang menunggu di pendopo depan panti. Iman selalu memanggilnya seperti itu. Aneh dan kepanjangan menurut Ekel.
Ia menghempaskan tubuhnya ke jok belakang dan langsung berbaring. Kepalanya direbahkan di pangkuan Iman. Tak peduli supir Iman memperhatikannya lewat kaca spion. Iman punya 2 mobil tapi tak bisa mengendarai keduanya. Selalu memakai supir. Bukan benar-benar tak bisa. Iman tak tahan dengan kemacetan dan tubuhnya yang cukup besar, demikinan ia menyebut kegemukannya, membuat ia mudah kelelahan melawan macet. Sementara ia perlu selalu dalam kondisi prima untuk jadwal praktek, kelahiran dan operasi yang sangat padat.
Hari ini Ekel sangat kelelahan. Ia langsung memjamkan mata. Mereka meluncur membelah Kemayoran menuju Rawamangun untuk santap malam bebek rica warungan kesukaan Ekel.
“Sorry nggak nemenin tadi yaaaa...kamu jadi kecapekan begini”, Iman menepuk bahu Ekel perlahan.
Ekel menyodorkan blackberry-nya pada Iman, “Tolong bbm Dimas dong, suruh nyusul.”
“Yah, aku mo ngomomng sama kamu Kel, boleh nggak kali ini kita berdua aja ?” Iman menyentuh pipi Ekel hati-hati. Perempuan ini tak terlihat seperti berumur 40 tahun. Cantik, keras dan berani. Ia tak manja dan tak suka dimanja sepert perempuan lain. Bahkan saat Ekel pernah tak mampu membayar uang sekolah anakanya karena sempat sakit selama hampir sebulan dan praktis tak punya pemasukkan yang hanya mengandalkan tulisan dan sebagai pembicara soal kekerasan seksual, ia tak mau meminta bantuan pada Iman atau Dimas.
Saat Iman memaksa membantunya, 2 bulan kemudian Ekel mengganti uang yang hanya ia mau terima bila diperbolehkan dibayarkan kembali padanya.
“Ada apa ? Serius amat. Bukan mo ngelamar gue lagi kan ? Gak akan berhasil sil sil sil...” Ekel menjawab sekenanya sambil tetap memejamkan mata.
“Nggaaaaak, parno amat.” Iman menjawil ujung hidung Ekel. Iman tahu, untuk yang satu itu, ia tak akan pernah bisa menundukkan Ekel. Iman sudah 4 kali melamar Ekel. Selalu berakhir dengan penolakan dan kemungkinan berpisah. Iman tak ingin kehilangan Ekel untuk selembar surat nikah meski ia sangat menginginkannya.
“Terus apa dong, jangan bikin jantung gue jebol yah Da”, Ekel memanggilnya Uda. Panggilan khas Minangkabau. Iman laki-laki yang lahir dan besar di Bukit Tinggi.
“If you don't mind, I want you to move to my condo.”
“Huh ? Serius nih ?”
“Also the kids.”
Ekel melongo namun ada binar-binar gembira di bola mata indahnya., “Beneran nih ?”
“I want to be with you and your kids all the time for the rest of my life...and of course my son on the weekend if it's okay with you.” Iman berujar mantap.
Ekel tiba-tiba duduk. Meski migren masih bercokol di kepala bagian kirinya, tak pelak permintaan Iman membuatnya terkejut, tapi sekaligus senang. Ada gelombang hangat merambat di hatinya. Ia memandangi Iman yang sejak ia menaiki mobil tak lepas memandanginya.
"Beneran pindah doang kan, nggak ujung-ujungnya diminta kawin', Ekel memastikan.
"Tidak', jawab Iman tegas.
Ekel beringsut lebih mdekat pada Iman, tangan kirinya menggengam tangan Iman dengan erat. Ekel merasa bahagia. Empat detik kemudian Ekel sudah dalam pelukan Iman.
"Don't hurt me more, I won't stand. aku gak janji kita akan selalu baik-baik saja. Tapi aku berusaha keras untuk pulih."
“Lama-lama aku ketinggalan pesawat nih Da”, Ekel mengomeli Iman panjang pendek sejak tadi. Padahal bukan salah Iman bila semua jalan yang mereka lalui bahkan jalan bebas hambatan sekali pun, dari kondominium Iman di bilangan Kuningan ke Bandara Soekarno-Hatta macet gila-gilaan seperti ini. Sementara Ekel akan berangkat ke Papua dengan penerbangan jam 23.05 wib, waktu sudah menunjukkan pukul 22.10 wib.
10 menit kemudian mereka tiba. Anak-anak Ekel berhamburan keluar mobil. Sudah sejak tadi mereka juga tak tahan, selama 3 jam berada dalam mobil dan didera macet.
Iman membantu Ekel mengeluarkan koper kecilnya.
“Kamu cuek amat sih, hampir seminggu di sana pake ke pedalaman juga tapi cuma bawa baju segini”, giliran Iman mengomeli Ekel.
“Hehehe....gak mo ngeceng ke sana Udaaaa. Mo nengok korban dan mo ngurus pendirian Purple Lantern chapter Papua.” jawab Ekel sambil bergegas masuk terminal. Petugas pintu masuk sudah sempat memeriksa tiketnya namun Ekel berlari kembali. Menciumi anak-anaknya dan Iman di bibir mereka lalu kembali bergegas masuk. Iman, sambil menggandeng si bungsu Syaza yang sudah sangat lengket padanya dan si sulung Mega yang memeluk tangan kirinya memandangi kepergian Ekel yang tergesa, lucu melihat perempuan itu berlari kecil dengan tas menggantung di bahu hampir sebesar setengah tubuhnya.
Meski sering ditinggal Ekel bertugas ke luar kota, Iman merasa tetap ramai bersama anak-anak Ekel dan akan semakin ramai di akhir minggu nanti saat Andre anak laki-lakinya yang kuliah pada sebuah universitas negeri di Depok pulang. Iman merasa tak pernah sebahagia ini sejak kematian istrinya akibat tumor otak 3 tahun lalu.
Iman masih sempat melihat Ekel melambaikan tangan. 20 menit kemudian Ekel mengirimkan blackberry messenger pada Iman dan Mega kalau ia sudah dalam antrian masuk pesawat. Cepat sekali. Seperti biasa, Ekel selalu menutup bbmnya dengan “I'm home” semacam pengganti “aku sayang kalian”, yang berarti dimana pun ia berada, selama ia bersama orang-orang yang sangat dicintainya atau tengah mengerjakan pekerjaan yang dicintainya, ia merasa pulang. Merasa berada dalam rumah yang dirindukannya.
Dimas kesal, telepon genggam di sakunya terus bergetar. Ia sedang berkonsentrasi mendengarkan presentasi anak buah barunya. Ide anak baru lulus ini menarik dan kreatif untuk diterapkan ke seluruh departemennya. Karenanya telepon genggam yang sedari tadi bergetar di saku celananya tak digubrisnya sama sekali, meski lama-kelamaan membuatnya jengah juga.
Ia mengangkat tangan untuk memberi tanda agar presentasi dihentikan sejenak.
“Sebentar, saya ada telepon penting.” demikian Dimas menjelaskan mengapa ia menghentikan presentasi itu sesaat setelah dilihatnya kode area Papua muncul di layar telepon genggamnya. Ia merindukan sahabatnya. Sejak Ekel berangkat 4 hari lalu, Dimas hanya menerima bbm Ekel sekali, itu pun karena menurut Ekel dia baru dapat sinyal. Tapi Dimas tetap kesal, bukankah bila sinyal blackberry tak berfungsi Ekel bisa mengirimkan pesan pendek biasa ? Sahabat yang menyebalkan.
Tak lama kemudian Dimas terlibat pembicaraan cukup serius. Wajahnya tegang dan memerah. Tak lama ia menutup pembicaraannya di telepon dengan ucapan terima kasih yang lirih. Ia menghentikan rapat dan presentasi hari itu, meminta ijin pulang mendadak untuk suatu urusan yang sangat penting. Dimas bahkan hanya diam saat sekretarisnya bertanya ada apa dan baru menjawab setelah ditanyai pertanyaan yang sama untuk keempat kali,”Saya akan tidak masuk beberapa hari.” itu saja yng diucapkan Dimas. Sari, sekretaris Dimas melongo. Seminggu lagi departemen Dimas akan diaudit dan menghadapi even tahunan perusahaan besar yang tahun ini ditangani departemen yang Dimas pimpin. Ini pasti kejadian luar biasa yang lebih penting dari pekerjaan yang sesungguhnya tak pernah ditinggalkan Dimas apalagi dalam keadaan sibuk seperti sekarang. Sari mengerti, sejak istri dan anak-anak Dimas meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat 4 tahun lalu, Dimas menenggelamkan diri dalam pekerjaan.
Sepanjang pengetahuan Sari, hanya Ibu Eklesia, sahabat Dimas, satu-satunya orang yang bisa menghentikan Dimas dari urusan pekerjaannya.
Setahun setegah belakangan, ada nama Pak Soelaiman juga kadang menghubungi Dimas, tapi Sari tahu, kalau Pak Soelaiman sampai menelpon atasannya di kantor, itu pasti menyangkut Ibu Eklesia.
Hujan mengguyur Jakarta deras sekali. Dua laki-laki berdiri mematung di pinggir laut, tepatnya Pantai Indah Taman Impian Jaya Ancol. Seorang diantaranya, Iman, mendekap guci keramik putih bermotif kembang-kembang biru, tempat abu kremasi. Keduanya bermata duka.
Bila mereka berdua pernah kehilangan perempuan-perempuan dalam kehidupan mereka di masa yang lalu mereka dengan cara yang berbeda, kini, Iman dan Dimas kehilangan lagi. Kali ini mereka kehilangan perempuan yang sama. Sama-sama mereka cintai dengan cara yng berbeda.
Keduamya menyimpan pesan akhir yang sama dari perempuan ini : I'm home.
Mereka tahu, ia pergi dalam keadaan bahagia, karenanya kesedihan mereka tak melebihi kelegaan mereka mengetahui perempuan yang mereka cintai berpulang di tengah rasa bahagia.
Ekel gugur di tengah kunjungannya ke sebuah rumah perlindungan untuk korban perkosaan tak jauh dari sebuah komplek perumahan angkatan darat di Abepura, setengah jam dari Jayapura. Mobil yang membawanya pulang darishelter tersebut tergelincir karena Ekel memerintahkan supirnya menghindari menabrak babi kecil yang tiba-tiba muncul dari semak-semak di pinggir jalan saat melintasi sebuah dusun miskin. Ekel tahu, betapa berharganya babi bagi masyarakat Papua. Seluruh penumpang selamat, Ekel tidak. Demi melindungi kamera yang memuat bukti-bukti kekerasan pada perempuan-perempuan di shelter itu, ia memeluk kamera itu di dadanya hingga saat mobil menabrak sebuah pohon besar kamera yang didekapnya itu menekan ulu hatinya cukup keras. Ekel tewas dalam perjalanan ke rumah sakit. Sebelum menghembuskan nafas terakhir Eklesia Agustine sempat berbisik pada Febby, istri mantan suaminya yang kini sudah berkeluarga dan berdiam di Jayapura. Ia ikut menemani Ekel berkunjung ke shelter tersebut, bisikan lirih di tengah senyum tanpa rasa sakit sedikit pun, “I'm home...”. (selesai)
Jakarta, 23 November 2011
01 March 2017
(hidup yang) MATI
Labirin basah,
tempat tersesat yang pekat.
Tubuh mungil,
meringkuk takluk.
Disimpannya rapat-rapat,
seluruh pembunuhan.
Kemudian hidup,
bersama ingatan,
penuh anyir kematian.
tempat tersesat yang pekat.
Tubuh mungil,
meringkuk takluk.
Disimpannya rapat-rapat,
seluruh pembunuhan.
Kemudian hidup,
bersama ingatan,
penuh anyir kematian.
Subscribe to:
Posts (Atom)