29 April 2015

Selamatkan Generasi Bangsa Dari Narkoba Dan Tolak Hukuman Mati

Mengurangi Pemakaian Narkoba Tanpa Membunuh Lebih Banyak Manusia


Membangun kesadaran massal dari unit masyarakat terkecil bukan perkara mudah. Kita terbiasa dengan metode pemadam kebakaran, alias "rusak buang" yang lebih mudah seperti penerapan hukuman mati untuk efek jera. Nyatanya tak ada penelitian ilmiah yang bisa membuktikan hukuman mati menimbulkan efek jera untuk segala jenis kejahatan.
Bukan rahasia hukum di Indonesia hanya mampu menjangkau mereka yang berada dalam rantai kejahatan terendah alias kaki tangan. Sementara masalah utama dari gambaran besar keseluruhan masalah seperti aparat hukum yang korup, tak pernah terselesaikan dan berniat dibongkar tuntas. Pembangunan mental secara keseluruhan luput dari perhatian karena memang butuh waktu dan ketekunan.

Berikut cara ampuh menekan angka pemakaian narkoba. Pemakaian yang berkurang akan menyulitkan peredaran. Ini langkah panjang dan tidak mudah yang dilupakan pemerintah kita dan sebagian besar masyarakat.

-Tingkatkan komunikasi yang setara dan kualitas hubungan dalam keluarga. Keluarga yang saling terikat erat satu dengan yang lainnya secara emosional, psikis dan fisik, akan mencegah terikat secara emosional pada hal-hal negatif di luar keluarga termasuk pergaulan dengan kelompok-kelompok pro-kekerasan, NARKOBA, perselingkuhan dan sebagainya.
- Tegakkan hukum tanpa pandang bulu, bukan hanya pada mereka yang tak berdaya dan tanpa kekuatan uang. Memberangus sistem peredaran narkoba dimulai dengan memperkuat komitmen aparat hukum untuk tidak bisa "dibeli". Langkah ini akan memutus rantai mulai dari jalanan hingga peredaran dalam lapas.

Semoga kita semua tetap menjadi bangsa yang beradab dengan generasi yang sehat jiwa dan raga.

#TolakHukumanMati

21 April 2015

HATI YANG BERPIKIR





Terusir dari ingatan, luka menjadi gelandangan di tempat tabu. Menyamar sebagai ketabahan.”



Saya tiba-tiba ingin menulis tentang hati. Hati yang tak sekadar daging dan darah; yang entah bagaimana dibentuknya sehingga setiap selnya mampu menampung semua rasa di sepanjang hidup kita. Hati saya, berulang kali berbinar gembira dan berulang kali patah. Ia bekerja keras melakukan fungsinya, memberi ruang pada rasa dan perubahan rasa yang bisa saja terjadi sering sekali. Ia bekerja lebih keras saat kita menolak mengekspresikan perasaan menjadi satuan-satuan gerak sekecil apapun itu, agar orang lain mengetahuinya. Hati bekerja keras mengolah perasaan tertahan dan mencari tempat tepat menyimpannya. Di tempat terdalam, terluar, di tengah, di sisi entah yang mana atau di sudut tertentu yang membuat kita mampu atau tidak mampu mengendalikan keriangan atau luka.


Beberapa hari lalu saya mengalami situasi patah hati. Saya mengalaminya berkali-kali, sangat dan terlalu sering. Sebagian besar orang menyebutnya dengan super sensitif, sebagian kecil menduganya sebagai bagian dari efek trauma (dari sejarah kekerasan yang saya alami) yang menjelma situasi depresif. Saya tidak terlalu peduli. Saya mengenal diri saya dan menerimanya. Hati  saya patah saat menonton berita berita anak yang dicabuli bertahun-tahun lalu meninggal karena infeksi kelamin yang ditularkan pelakunya, hati saya patah saat membaca cerpen tentang pemuda gay yang bunuh diri karena setelah mengakui identitas seksualnya pada orang tuanya ia ditolak dan diusir, hati saya patah ketika menyaksikan anak balita lapar digendong dan dilibatkan mengemis oleh seorang perempuan yang terus mencubitinya, hati saya patah saat anak saya bilang dia ingin melanjutkan sekolah di sebuah kota kecil di pedalaman Kalimantan karena begitu ingin bergabung dengan tim marching bandnya dan saya terpaksa berkata tidak karena tak mampu membiayainya, hati saya patah saat apapun yang saya lakukan karena mencintai dengan sangat dianggap sunyi dan dianggap rutinitas berpasangan, hati saya juga patah berkali-kali oleh banyak kehilangan dan ketidakpedulian. Seiring waktu berjalan saya mulai memahami bahwa hati tak hanya bekerja keras. Lubang-lubang luka dari kepatahan-kepatahan itu harus dikelola, dan itu perlu keahlian. Lubang-lubang itu perlu diisi dan tidak dibiarkan kosong, gelap dan menjadi dingin. Dari titik ini saya mengerti, hati juga BERPIKIR keras. Ia mengolah luka, tak jarang membasuhnya dengan air mata dan keringat, bekerja sama dengan ‘rendah hati’ dengan otak yang mengolah memori dan informasi untuk menentukan dengan nutrisi atau sampah apa lubang luka akan diisi. Isinya, akan menentukan bagaimana detik, menit, jam, hari dan masa depan akan dibentuk. Dari  sana kita menentukan bagaimana hati kita bertumbuh.


Hati yang berpikir (lalu bekerja) keras saat ia patah, membuatnya bertumbuh. Berkembang lebih besar, cukup besar untuk lebih banyak menampung lebih banyak rasa yang akan dan mungkin hadir. Ia memberi lebih banyak ruang bagi binar kegembiraan dan tentu luka. Latihan-latihan dari banyak peristiwa sebelumnya memberi hati kemampuan untuk itu. Jadi, bila saat merasa patah dan kehilangan kita merasa ada yang kosong, itulah saat hati menyediakan diri berpikir bagaimana ia akan mengisi lubang kosong itu dan mengerjakannya butuh waktu yang berbeda-beda bagi setiap kejadiannya. Hati juga butuh belajar dan untuk itu, merawat hati menjadi sangat penting. Bagaimana merawatnya adalah rahasia terdalam kita masing-masing sampai kita diminta untuk menyampaikannya. Bahwa kita tidak pernah akan bisa sempurna melakukan prosesnya bahkan harus jatuh berkali-kali, itu bagian dari kenyataan bahwa kita masih menjalani kehidupan.


Hati yang berpikir akan bertumbuh dan berkembang, menyediakan lebih banyak ruang. Mari bantu membentuk isinya.

Tanpa mengecilkan kerja otak yang punya peran yang tak kalah besar, tulisan ini saya buat untuk menguatkan saya, hati saya. Semoga bisa menguatkan mereka yang turut membaca.