23 December 2014

BELAJAR SEJARAH 22 Desember: Hari Gerakan Perempuan Indonesia, Perempuan sebagai Ibu Bangsa

Belajar dari Sejarah Pendahulu Gerakan Perempuan
Memperingati HARI IBU ( Hari Gerakan Perempuan) 22 Desember

foto dari lakonhidup.wordpress.com


22 DESEMBER 1928 PEREMPUAN BERSATU MELAWAN KEKERASAN PEREMPUAN

PERINGATAN HARI IBU DIPUTUSKAN PADA KONGRES PEREMPUAN 1938, DALAM ARTI IBU BANGSA, AGAR IBU MENDIDIK PUTRA-PUTRI UNTUK MEMILIKI NILAI-NILAI NASIONALISME DAN KEBANGSAAN (jadi tidak sama dengan Mother's Day yang dirayakan di negara lain).
Sejarah Gerakan perempuan Indonesia tak lepas dari gerakan social pada umumnya. Perempuan aktif dalam kegiatan organisasi pemuda organisasi berlatar belakang kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatra atau Jong Ambon. Perempuan Indonesia juga aktivis pergerakan nasional, meski nama dan kerjanya tidak dicatat sejarah. Faktanya perempuan ikut mendeklarasian Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Saat itu pada organisasi umum juga divisi perempuan seperti Wanito Tomo dari Boedi Oetomo, Poetri Indonesia dari Poetra Indonesia danWanita Taman Siswa dari Taman Siswa. Organisasi perempuan yang berdiri di awal gerakan di antaranya adalah Putri Mardika, 1916.
Perempuan pelopor yang menjadi panitia pelaksana Kongres Perempuan Indonesia I 928 dan ikut dalam deklarasi Sumpah Pemuda 1928 antara lain Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari dan lain-lain. Merekalah inisiator dan penggerak Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928.
Kongres Perempuan Indonesia pertama 1928 adalah Momentum Kesadaran Kolektif Perempuan Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak perempuan bersama-sama. Kesadaran mengenai berbagai permasalahan yang hingga kini, tahun 2006 masih relevan: poligami, perdagangan orang, kekerasan, dan buruh perempuan.

SEKILAS GERAKAN PEREMPUAN 1928-1935 ISU-ISU DAN UPAYA GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

Kongres Perempuan Pertama 22-25 Desember 1928
Kongres Perempuan Indonesia 1928 bersifat kooperatif. Artinya perjuangan dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan pemerintah kolonial. Secara resmi Kongres mengakui pemerintah kolonial, dan mengajukan usulan pada pemerintah. Ini strategi untuk memudahkan penyebarluasan gagasan kepada perempuan dan masyarakat umum, terutama pihak kolonial. Sehingga perempuan kelas menengah atau bangsawan tidak takut bergabung atau ikut serta dengan anggapan tidak radikal. Pemerintah kolonial sendiri masih memiliki nostalgia keberhasilan politik etis (kemajuan pendidikan bangsa bumi putra) pada perempuan. Juga adanya anggapan pemerintah dan masyarakat, mengenai stereotipe kegiatan perempuan dan organisasi perempuan yang bersifat social dan hobby. Organisasi perempuan dianggaptidak-politis. Strategi ini diperkuat dengan keputusan Kongres untuk tidak membicarakan “politik” dalam arti umum. Kongres menekankan pembahasan masalah perempuan sesuai anggapan umum dan pemerintah kolonial, sebagai tidak-politis.
Perempuan dengan berbagai latar belakang suku, agama, kelas, dan ras Berkumpul dan bersatu dalam Kongres yang dilaksanakan di Mataram (Yogyakarta, sekarang pen.). Umumnya yang hadir dalah perempuan muda. Persiapan Kongres dilakukan di Jakarta, dengan susunan panitia: Nn. Soejatin dariPoetri Indonesia sebagai Ketua Pelaksana, Nyi Hajar Dewantara dari Wanita Taman Siswa sebagai Ketua Kongres, dan Ny. Soekonto dari Wanito Tomo sebagai Wakil Ketua.
Kongres dihadiri perwakilan 30 organisasi perempuan dari seluruh Indonesia, di antaranya adalah Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika dan Wanita Taman Siswa.
Berbagai isu utama masalah perempuan dibahas pada rapat terbuka. Topiknya antarea lain: kedudukan perempuan dalam perkawinan; perempuan ditunjuk,dikawin dan diceraikan di luar kemauannya;poligami; dan pendidikan bagi anak perempuan. Pembahasan melahirkan debat dan perbedaan pendapat dari berbagai organisasi perempuan. Walaupun begitu tak menghalangi kenyataan yang diyakini bersama, yaitu perempuan perlu lebih maju.Berdasarkan hasil pembahasan antara lain Kongres memutuskan:
1. mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan;
2. pemerintah wajib memberikna surat keteranganpada waktu nikah (undang undang perkawinan); dan segeranya
3. memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds;
4. mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberatasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak;
Selain putusan di atas, berbagai perkumpulan berdiri atas inisiatif peserta Kongres untuk membela dan melindungi hak perempuan, di antaranyaPerkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (P4A) untuk didirikan 1929. Pendirian perkumpulan itu disebabkan oleh merajelanya perdagangan anak perempuan.
Kongres-kogres Perempuan Indonesia selanjutnya
Tak jauh berbeda pembahasan berbagai permasalahan perempuan 1928 Kongres Perempuan Selanjutnya tahun 1929, 1930, 1935. Kongres untuk kordinasi selanjutnya bernama Kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia.

Kongres Perempuan, Jakarta 28-31 Desember 1929

Permasalahan perkawinan khususnya poligami, kawin paksa dan perkawinan anak-anak juga menjadi topik yang dibahas tersendiri. Kongres memutuskan antara lain: meningkatkan nasib dan derajat perempuan Indonesia dengan tidak mengkaitkan diri dengan soal politik dan agama; mengajukan mosi kepada pemerintah untuk menghapuskan pergundikan.
Kongres sempat diwarnai ketegangan dan kepanitiaan hampir kacau karena Kongres hampir dilarang pemerintah. Hal itu terkait dengan situasi saat itu, yaitu Bung Karno ditangkap di Yogyakarta. Kantor dan tempat gedung pertemuan sempat digeledah polisi. Akhirnya Kongres tetap dijinkan dan berlangsung, di Gedung Thamrin di Gang Kenari Jakarta.
Kongres terbuka didukung juga massa rakyat yang memekikan, “yel-yel merdeka!”. Gedung tempat pelaksanaan Kongres menjadi menggelegar. Polisi mengawasi mengancam akan membubarkan. Salah seorang pemimpin sidang menyerahkan kendali situasi kepada Soejatin (Poetri Indonesia), ketua pelaksana Kongres Perempuan Pertama 1928. Sambutan demi sambutan diakhiri dengan pekikan “Merdeka, Sekarang!” Maka ruangan kembali riuh. Ketika polisi akan membubarkan, Soejatin mengetuk palu rapat selesai dan ditutup, rapat selanjutnya dilakukan tertutup.
Kongres menyatakan keprihatinannya dengan penangkapan Sukarno dengan membatalkan rencana akan mengadakan pameran dan malam penutupan.

Kongres Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia, Surabaya 13-18 Desember 1930.
Ketua Kongres Ny. Siti Soedari Soedirman. Keputusan Kongres yang sangat relevan dengan kekinian antara lain mendirikan Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (BPPPA) yang diketuai oleh Ny. Sunarjati Sukemi. Terbentuknya BPPPA disebabkan keprihatinan yang mendalam atas nasib yang menimpa anak-anak peremepuan yang terkena praktek JERATAN UTANG Cina Mindering, yaitu petani meminjam uang dengan bunga sangat tinggi dan tidak dapat mengembalikannya, sehingga seringanak gadis petani dijadikan penebus hutang-hutang itu. Kongres juga mengangkat isu buruh perempuan, khususnya nasib buruh pabrik batik di Lasem, dan memberikan penyuluhan peningkatan kesadaran bagi pembatik.

Kongres Perempuan Indonesia, Jakarta 20-24 Juli 1935

Kongres Perempuan Indonesia tahun 1935 diikuti tidak kurang dari 15 organisasi, di antaranya Wanita Katolik Indonesia, Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Aijsiah, Istri Sedar, Wanita Taman Siswa dsb. Ketua Kongres Ny. Sri Mangunsarkoro. Keputusan Kongres antara lain: Kongres memutuskan: mendirikan Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan yang berfungsi meneliti pekerjaan yang dilakukan perempuan Indonesia; meningkatkan pemberantasan buta huruf; mengadakan hubungan dengan perkumpulan pemuda, khususnya organisasi putri; mendasari perasaan kebangsaan, pekerjaan sosial dan kenetralan pada agama;Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan: ia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”.

Kongres Perempuan Indonesia, Bandung, Juli 1938
Kongres dikuti: Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Wanito Tomo, Aisjiah, Wanita Katolik dan Wanita Taman Siswa. Ketua Kongres Ny. Emma Puradiredja. Isu dibahas antara lain, partisipasi perempuan dalam politik, khususnya mengenai hak dipilih. Pemerintah kolonial memberikan hak dipilih bagi perempuan untuk Badan Perwakilan. Perempuan yang menjadi anggota Dewan Kota (Gementeraad): Ny. Emma Puradiredja, Ny. Sri Umiyati, Ny. Soenarjo Mangunpuspito dan Ny. Sitti Soendari. Karena perempuan belum mempunyai hak pilih, maka Kongres menuntut perempuan punya hak memilih.
Kongres memutuskan: tanggal 22 Desember diperingati sebagai “Hari Ibu” dengan arti seperti yang dimaksud dalam keputusan Kongres tahun 1935; membangun Komisi Perkawinan untuk merancang peraturan perkawinan yang seadil-adilnya tanpa menyinggung pihak tertentu.


Dikutip dari wartafeminis.com 14 Maret 2007


Kepustakaan:
Hardi, Lasmidjah, ed. 1981. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran), Buku I. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.
Hardi, Lasmidjah, ed. 1985. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalam dan Pemikiran), Buku V. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.
Suwondo, Nani, S.H. 1968. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat.Jakarta: Timun Mas.
Siaran Perwari, Tahun I No.3 Desember 1950
(@Umi Lasmina, 22 Desember 2006)