25 May 2013

Seorang Laki-laki


Seorang laki-laki,

dari beberapa musim gugur  lalu,

harus aku bunuh lagi,              

agar aku bisa hidup dengan jantungku sendiri.

PEMERKOSAAN


Suatu siang beberapa bulan yang lalu saya sedang menikmati makan siang di depot sebelah rumah. Ada beberapa orang di kedai, semuanya tetangga saya. Salah seorang laki-laki, berusia sekitar 2 atau 3 tahun lebih tua dari umur saya berkelakar soal salah satu kasus pemerkosaan yang sedang saya tangani dan kebetulan terekspos media secara luas. Sontak saya menegurnya dan tegas mengatakan bahwa pemerkosaan bukan untuk bahan bercanda mengingat efek trauma yang dialami seumur hidup korban bukan lucu untuk dijadikan bahan tertawaan.
Insiden tersebut bukan jarang terjadi. Bulan Desember tahun 2011, seorang  penghibur dan pelawak memetik kecaman publik atas konten bercanda tentang pemerkosaan yang disampaikannya di siaran langsung ulang tahun sebuah stasiun televisi. OS, demikian inisialnya menjadikan kejadian pemerkosaan di angkutan kota (angkot) lawakan. Sayang sekali, 2 hari sebelumnya baru terjadi pemerkosaan di angkot terhadap seorang ibu setengah baya yang akan pergi berdagang sayur di bilangan Depok, Jawa Barat. Bisa dibayangkan apa yang dirasakan korban, kerabat korban dan penyintas kekerasan seksual lain saat menonton acara tersebut….
Tak kalah mengecewakannya saat seorang oknum hakim yang sedang menjalani fit and proper test sebagai syarat menjadi hakim agung melontarkan lelucuan tercela yang sama beberapa saat yang lalu di depan anggota dewan terhormat yang secara mengejutkan ikut tertawa mendengarnya. Sikap mental yang tak patut!

Pemerkosaan adalah tindakan kriminal penetrasi sekecil apapun di luar kehendak korban terhadap alat kelamin atau anus menggunakan bagian tubuh atau benda lainnya. Selain itu, pemerkosaan juga mencakup aktivitas seksual yang terjadi di luar kehendak korban (FBI via The Pixel Project).
Sebagian besar dari kita masih menganggap pemerkosaan sebagai semata-mata perilaku seksual dengan unsur pemaksaan yang harus berakhir dengan lebam-lebam bekas aniaya, bagian tubuh yang berdarah atau bahkan kematian. Masyarakat masih berpikir bahwa pemaksaan hubungan seksual yang disebut pemerkosaan baru sah disebut pemerkosaan jika ada tindakan fisik lain yang harus terlihat jelas dan membekas.  Hal penting lain yang harus dipahami adalah bahwa sesungguhnya unsur seksual dalam pemerkosaan adalah unsur terkecil yang bila dikonversi kedalam persentasi hanya berkisar 1%, selebihnya adalah tindakan kekerasan, dominasi dan kontrol terhadap korban yang dianggap dan memang biasanya memang lebih lemah baik secara fisik, peran maupun fungsi. Jarang sekali yang paham bahwa pemerkosaan adalah kejahatan kemanusiaan yang tak hanya dan harus meninggalkan cidera fisik, namun juga bahkan lebih parah, cidera psikis. Kita tentu bisa mengobati cidera fisik, tapi bagaimana dengan cidera psikis, juga trauma yang harus dibawa seumur hidup.

Pemerkosaan, bahkan dipakai sebagai senjata di hampir semua peperangan. Banyak konflik inter dan antar negara menggunakan pemerkosaan sebagai cara melemahkan musuh dan merendahkan martabat lawan. Ini cara paling efektif untuk mengalahkan. Pemerkosaan dalam peperangan menjadi  salah satu senjata pamungkas dan terampuh untuk setiap upaya menguasai. Dalam peristiwa bersenjata penggulingan pemimpin Libya, Moamar Khadaffi misalnya, para medis bersaksi mendapati kondom dan obat kuat di kantong para prajurit yang tewas dalam kontak senjata atau pertikaian terbuka lain. Cara keji ini benar-benar menamfikan kemanusiaan. Tak terbayangkan trauma yang harus dipikul korban yang masih hidup hingga kini.

Trauma, yaitu luka/ syok/kekagetan yang disebabkan oleh peristiwa yang terjadi secara tiba, di luar kendali, menekan, sangat menyakitkan, membahayakan kehidupan,  mengancam jiwa  (Yayasan Pulih, 2011). Trauma kekerasan berbasis gender dan seksual banyak disalahartikan sebagai efek yang dapat disembuhkan. Nyatanya, trauma kekerasan seksual, khususnya  dalam kejahatan pemerkosaan adalah trauma seumur hidup yang tidak dapat dihilangkan atau disembuhkan. Pemulihan hanya bisa dilakukan dengan meminimalisir dan mengelola efek-efek trauma. Luka psikis yang mempengaruhi emosi, perilaku dan sikap mental akaibat pemerkosaan memiliki efek paling panjang dibandingkan dengan efek trauma kekerasan dalam bentuk yang lain.

http://www.girl-jitsu.com/wp-content/uploads/2013/01/INSIDE-STORY-Rape-Statistics.jpg

Berikut efek umum trauma sesaat saat seseorang mengalami kekerasan seksual:
Syok
Kedinginan
Perasaan ingin pingsan
Kebingungan mental
Disorientasi (tokoh, peran, waktu & tempat)
Gemetaran
Mual
Muntah-muntah

Sedangkan pada penyintas, gejala  trauma fisik meliputi:  
Masalah ginekologi
Pendarahan atau infeksi
Rasa sakit di seluruh tubuh
Memar/luka gores/luka yang lebih dalam
Mual dan muntah-muntah
Iritasi tenggorokan (menyebabkab tercekat)
Sakit kepala karena meningginya tekanan darah
Rasa sakit di punggung bagian bawah dan/atau perut
Gangguan tidur
Gangguan makan
Penyimpangan kebiasaan akibat trauma kekerasan seksual :
Menangis lebih sering dari biasanya
Kesulitan konsentrasi
Kurang bisa mengatur pola istirahat
Kurang bisa menikmati waktu santai
Selalu waspada danberjaga-jaga
Gangguan kemampuan bersosialisasi ATAU bersosialisasi berlebihan
Tidak suka ditinggalkan sendirian
Gagap atau terbata-bata lebih dari biasanya (akibat tercekat)
Menghindari hal-hal yang akan mengingatkan pada kejadian kekerasan seksual yang dialami
Mudah takut dan terkejut
Cepat kesal untuk hal sederhana
Kehilangan ketertarikan pada hal-hal yang bagi orang lain menarik
Selalu bermasalah pada hubungan/relasi yang melibatkan emosi
Mudah kecewa
Lebih sering menarik diri dalam kondisi tertentu
Mengonsumsi alkohol/rokok/obat-obatan (atau meningkat bila sebelumnya sudah mengosumsi)
Lebih sering mencuci tangan dan/atau mandi
Penyangkalan bahwa kekerasan seksual yang dialami tidak pernah terjadi

Gejala trauma psikis:
Gangguan pikiran dan kekesalan
Merasa kotor
Ingatan berulang
Mimpi buruk
kesal pada hal-hal yang mengingatkan pada kejadian
Fobia dan/atau trauma fobia
Amnesia sementara
Kebas atau rasa kehilangan emosi
Bingung harus merasakan apa
Merasa akan mati lebih cepat
Depresi dan kesedihan
Ingin bunuh diri
Gusar dan kemarahan
Lebih takut dan cemas berlebihan
Malu dan terhina
Merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri
Merasa bertanggung jawab atas kejadian
Merasa berbeda dan berjarak dengan orang lain
Merasa tak tertolong dan tak berdaya
Kehilangan penghormatan pada diri sendiri
Kehilangan percaya diri
Merasa selalu lebih kurang dari yang lain dan tak berharga
Pada kekerasan seksual masa kanak-kanak, perkembangan emosi penyintas akan berhenti di usia pertama kali penyintas mengalami kejadian/serangan pertamanya
Tidak lupa tapi selalu menemukan cara menghadapi/menghindari kenyataan (otak & otot)
Merasa konseling/terapi belum tentu menolong
Ragu dan takut menceritakan kejadian
Kalau pun berani bercerita, di awal-awal, penyintas akan mengingat dan merasakan hal yang persis sama dan kembali menggerakkan gejala-gejala awal, tapi dengan lebih seringnya penyintas mengungkap dan menerima keadaan diri, pemulihan akan terjadi secara perlahan-lahan
(lebih pada fisik)
Migren
Bulimia dan/atau anoreksia
Ketidakmampuan untuk mempercayai
(lebih pada gangguan emosi)
perfeksionis
Menghindari ikatan/keintiman emosi
Tidak mempercayai intuisi diri
Belajar mengadaptasi kejadian sesungguhnya menjadi seolah-olah itu imajinasi (penyangkalan)
Bisa saja membela pelaku
Problem mengasuh anak
Khawatir berlebihan
Kebingungan berhubungan seks, apakah karena dorongan nafsu atau cinta
Kebingungan berhubungan seks, antara mengontrol dan menguasai atau menjadi pasif
(di kutip dari bahan pelatihan konseling oleh dr.Veronica Salter, terapis kekerasan terhadap perempuan lulusan Oxford University yang kini berdomisili di Jamaica)

Patut dibedakan anatara korban dan penyintas. Korban adalah orang yang baru mengalami tindakan kekerasan dan belum bisa menjalani fungsi sosialnya, sedangkan penyintas adalah orang yang pernah mengalami tindakan kekerasan, berhasil melewati kurun waktu tertentu, dan berusaha atau berhasil menjalani fungsi sosialnya.
Sekali lagi, saat penyintas berusaha dan atau berhasil menjalankan kembali funsi sosialnya, tak berarti traumanya hilang, yang benar adalah yang bersangkutan sudah memiliki kemampuan menekan dan atau mengelola efek traumanya. Tahap ini akan lebih maksimal bila telah lebih dulu menjalani terapi trauma denganmetode dan cara sesuai dengan kebutuhan.

Kejahatan pemerkosaan di Indonesia memiliki konsukensi hukum cukup serius meski pun belum menimbulkan efek jera pada pelaku. Kitab undang-undang  hukum pidana (KUHAP) dan undang-undang perlindungan anak (UU PA) memiliki setidaknya lebih dari 2 pasal, dan pemaksaan hubungan seksual sebagai bagian kekerasan domestic dalam undang-undang  penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU PKDRT).
Kekurangan penanganan hukum di Indonesia pada umumnya adalah aparat hukum yang bermental korup sehungga kerap mudah dilemahkan dengan suap dan ketidakpahaman mereka akan kejahatan kekerasan berbasis gender dan seksual. Budaya patriarki yang kuat melekat sangat mempengaruhi sikap mental aparat hukum saat menangani kekerasan seksual khususnya. Ambil contoh kebiasaan polisi melakukan konfrontir anatara pelaku dan korban. Padahal sesuai fungsinya polisi adalah yang mengumpulkan bukti , saksi. melakukan penyelidikan serta gelar perkara, dan pengadilan yang akan mengujinya

Selain persoalan aparat hukum, penangan korban dan pelaku pasca proses pengadilan juga tidak berimbang. Bila pelaku dijatuhi hukuman dengan dibina negara dalam kurun waktu tertentu sesuai keputusan berkekuatan hukum tetap, hal yang sama tidak dilakukan negara pada korban yang jelas memerlukan rehabilitasi trauma. Pelaku dibiayai negara pembinaannya (baca: masa hukuman) namun korban tidak pernah dibiayai negara untuk terapi dan konseling berkala yang jelas akan sangat membantunya bisa kembali menjalani fungsi sosial setelah kejadian tragis yang dialaminya melumpuhkan baik fisik dan atau jiwanya.
Lagi-lagi konsentrasi penanganan hanya terpusat pada pelaku bukan pada korban yang juga butuh penanganan serius.

Tak hanya itu, media pemberitaan juga kerap merilis konten berita yang menciderai rasa keadilan bagi korban. Mulai dari pengungkapan tempat tinggal korban, penggiringan opini yang menyalahkan korban baik penampilan , perilaku dan lain-lain, sampai penulisan konten erotis detail kejahatan yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Perlu diingat, pemuatan konten dengan detail-detail yang tak pantas adalah semata penuangan imajinasi si penulis atau jurnalis, dan usaha menarik pembaca, pendengar atau penonton untuk kepentingan komersil media tanpa informasi berimbang dan nilai jurnalistik.
Nikholas D. Kristof pemenang Pulitzer,  adalah contoh jurnalis yang melalui tulisan kolomnya di New York Times mengenai pusat perawatan pasca pemerkosaan, membangkitkan kesadaran luas baik masyarakat maupun pemegang kebijakan pada upaya pencegahan dan penanganan kejahatan pemerkosaan yang lebih baik dan serius. Padahal tulisannya sama sekali tidak mengangkat detail erotis kejadian pemerkosaan, melainkan kisah duka dan efek trauma anak-ana, korban pemerkosaan yang dirawat oleh pusat perawatan tersebut.

Ketidakpedulian kita pada kejahatan pemerkosaan tidak disadari merupakan simbol ketidakpedulian kita terhadap diri dan hak-hak kita sebagai warga negara. Relasi kuasa tak seimbang antara korban dan pelaku, juga persis sama antara rakyat, dalam hal ini yang sebagian besarnya adalah kaum marjinal dan atau minoritas, dengan negara. Rakyat di lapisan ini adalah mereka yang paling sering diperkosa hak-haknya di hampir semua sendi, namun juga yang paling mudah dituntut memenuhi kewajibanannya. Orang-orang upahan, buruh, pengusaha industri rumahan, petani , nelayan, pedagang kecil dan lain-lain, beserta orang-orang di sekitarnya yang jarang atau disulitkan aksesnya untuk menggugat haknya saat tidak dipenuhi oleh negara. Yang bila bisa menggugat pun jarang bahkan hampir tak pernah dimenangkan dan atau diperlakukan dengan adil.
Rakyat yang adalah ‘tubuh’ terus-menerus mengalami berbagai bentuk kekerasan, terutama pemerkosaan lewat dominasi, kontrol dan penguasaan negara baik secara langsung amaupun secara sistemik. Menciptakan trauma-trauma sosial luas dan dalam, yang pada akhirnya melahirkan pelaku-pelaku kekerasan individual dan kelompok dari waktu ke waktu.


Tak berlebihan rasanya slogan ‘tolak pemerkosaan’ yang sering disuarakan di arena-arena aksi, karena dengan menolak pemerkosaan atas tubuh maka kita paham dan sadar untuk menolak segala bentuk dominasi dan kontrol negatif atau berlebihan oleh penguasa.

Melawanlah untuk keduanya!

http://www.indexmundi.com/blog/wp-content/uploads/2012/12/un-police-reported-rape.jpg

the moment


I

I was the rain
that fell to ease the tears in your heart
but then I became flood that sank you
I was also sunk

I was the lake
where you cooled down your tiring days
you were swimming to the middle
and drowning
I wailed, mourning on your death
I was also died

I was the wind
blowing and touching your face
but fights changed me to be storm,
 that lifted and slammed you
I was also slammed

then I totally died in my own fear
seeing you were not there anymore
 walked in the dark with sadness and anger

I looked back
recalled a moment,
when time and space were nothing
when I took the chance to grow with you
when then, we are trapped in a painful way to love

the moment and the pain are parts of our journey
also the emptiness in our wounded heart
all those, brought us to nowhere

I lost you




II

Life becomes harder
I become so mean
no heart
You took it away with you

one day in June
when the sun became so gold
I was sitting under an old big tree
yellow leaves were falling like rain
 a dramatic early evening
it painted your image every where
the moment, that always brings you back
the moment when I realize
that
I lost you